Oleh: Ibnu Fauzi
“Sebagai pedagang dan orang kecil kita keberatan, segala bahan-bahan naik semua,” Sepenggal kata itu membuktikan betapa naik dan turunnya BBM sangat berpengaruh terhadap Yani. Ia yang setiap hari berdagang nasi kuning secara keliling merasakan dampak kenaikan BBM yang mengakibatkan naik pula harga sembako untuk bahan berdagang atau sekadar memenuhi kebutuhan pokok.
Yani merasa terkejut ketika membeli beras yang semula berharga 9.500 rupiah menjadi 10.500 rupiah, baginya kenaikan tersebut membuat kesulitan untuk berdagang. Akhirnya, ia memutar otak untuk mensiasati masalah tersebut dengan mengurangi porsi dagangan.
Ia yang terbiasa menjajakan dagangannya didaerah Manisi tersebut menambahkan bahwa ketika BBM turun pun tidak ada perubahan atau sama saja. Ia pun berharap agar pemerintah mengerti dengan keadaan masyarakat saat ini. Dia juga menyarankan agar pemerintah tidak menaik-turunkan BBM, lebih baik tetap dengan harga stabil. “Jangan dinaik-naikin, kasihan orang kecil,” keluh Yani, Minggu (3/4).
Hal serupa juga dialami oleh pemilik kedai bakso dan mie ayam di Jalan Cipadung, Herry mengatakan bahwa saat BBM dinaikan secara tidak langsung penjualannya pun naik. Namun, ketika BBM turun harga jualnya malah tidak turun. “Engga, sama saja. Contohnya sekarang bikin pusing pedagang,” keluhnya, Senin (25/3). Dirinya mengaku kesal dengan sikap pemerintah yang tidak mengerti keadaan masyarakatnya.
Dari keluhan yang terjadi di masyarakat bukan tanpa alasan. Awal April 2016 lalu masyarakat Indonesia kembali diberi pernyataan oleh pemerintah dengan menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan solar sebesar Rp 500 per liter. Penurunan harga BBM ini diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said di Istana Kepresidenan, Rabu (30/3/2016). Setelah Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas.
Selanjutnya harga premium dari Rp 6.950 per liter menjadi Rp 6.450 ribu per liter. Sedangkan untuk Solar turun menjadi Rp 5.150 per liter dari sebelumnya Rp 5.650 per liter. Sudirman menjelaskan bahwa penurunan tersebut disesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku dan juga untuk merefleksikan penurunan harga minyak dunia.
“Dalam regulasi memang meminta pemerintah untuk tidak melepas harga BBM sepenuhnya ke pasar. Maka tugas dari pemerintah untuk menjaga sehingga tercipta kestabilan, naik atau turun tidak tinggi,” ungkap Sudirman. Pemerintah pun akan tetap konsisten dalam mengevaluasi harga BBM setiap tiga bulan sekali.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Sistem Politik Indonesia UIN SGD Bandung, Indira Sabet Rahmawaty menilai bahwa penyebab pemerintah dalam menaik-turunkan BBM terdapat dua alasan. Pertama, kebijakan politik. Menurutnya, kebijakan politik tidak bisa lepas dengan kebijakan energi itu sendiri. Terkadang naik turunnya BBM menjadi kepentingan berbagai pihak untuk menarik atau menurunkan simpati masyarakat kepada pemerintah.
“Bayangkan kalo Presiden baru terpilih menurunkan harga BBM itu popularitasnya akan naik, dan sebaliknya Presiden terpaksa menaikan harga BBM itu sangat sulit untuk menjaga popularitasnya,” ujarnya, Selasa (29/3).
Selain kebijakan politik, kebijakan energi internasional pun menjadi alasan kedua naik dan turunnya BBM. Rujukan harga BBM Indonesia menurutnya harus mengikuti harga di Singapura. Karena Singapura dipilih sebagai negara yang disepakati oleh organisasi penghasil minyak dunia untuk menjadi acuan dalam menentukan harga. Dapat disimpulkan bahwa ada faktor nasional dan internasional yang mempengaruhi naik dan turunnya BBM.
Mengikuti pernyataan mantan Menteri Ekonomi era Megawati, Kwik Kian Gie bahwa sebenarnya Indonesia dapat menentukan harga BBM yang stabil dan terjangkau oleh masyarakat. “Dia punya hitung-hitungannya walaupun banyak debatable dengan data yang ia ditawarkan,” ujar dosen yang sedang studi S3 di Unpad itu.
Jika seperti itu, menurutnya pemerintah harus mengambil keputusan siap atau tidaknya dalam mengambil resiko dan bertentangan dengan pasar dunia. Bisa jadi pemerintah tidak lagi menerima bantuan-bantuan akibat tidak menyepakati perjanjian internasional. “Saat ini Indonesia menjadi tidak berdaya, saya melihatnya banyak tekanan internasional.” jelasnya.