
Para pemateri dan peserta tengah diskusi bertajuk “Cerita Mereka Menghadapi Diskriminasi” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Kota Bandung, pada Sabtu (15/3/2025). (Foto: Nabila Rahma Hidayat/Magang).
SUAKAONLINE.COM – Komunitas Bandung Bergerak menggelar diskusi bertajuk “Cerita Mereka Menghadapi Diskriminasi” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Kota Bandung, pada Sabtu (15/3/2025). Acara ini bertujuan menjadi wadah bagi kelompok yang mengalami diskriminasi untuk menyuarakan keresahan mereka dan mencari solusi bersama.
Dalam diskusi ini, pemateri Iis Rosilah menyampaikan bahwa diskriminasi merupakan bagian dari ujian kehidupan yang harus dihadapi dengan keteguhan dan kesadaran kolektif. Menurutnya, pengalaman diskriminasi seharusnya menjadi pemicu bagi kelompok minoritas untuk memperjuangkan hak dan kesetaraan di masyarakat. “Diskriminasi adalah ujian kehidupan yang harus dihadapi dengan penuh keteguhan,” ujarnya Sabtu (15/3/2025).
Iis menjelaskan bahwa pola diskriminasi dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yang berbeda hanyalah bentuknya. Salah satu bentuk diskriminasi yang masih terjadi adalah pembatasan akses, terutama dalam kebebasan beragama. Ia mencontohkan bahwa kelompok Ahlul Bait pernah mengalami pelarangan dari pemerintah dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. “Jadi kita sudah beberapa tahun ini tidak melaksanakan kegiatan Asyura secara rutin,” jelasnya.
Salah satu peserta diskusi, Meisya menilai bahwa masyarakat berada dalam dilema saat memilih pemimpin. Di satu sisi, mereka menginginkan satu sosok yang bisa merangkul semua kalangan. Namun di sisi lain, kecenderungan sosial membuat mereka tetap memilih berdasarkan identitas keagamaan. Ia menilai bahwa politik identitas yang menguat dapat memperburuk diskriminasi terhadap minoritas.
Menanggapi hal ini, Iis membenarkan bahwa kelompok minoritas kerap dijadikan komoditas politik. Menurutnya, setiap tahun politik, kelompok minoritas selalu menaruh harapan kepada calon pemimpin agar keberadaan mereka dihargai. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, dimana minoritas sering digunakan sebagai alat politik untuk menyerang lawan. “Terasa banget kaum minoritas dijadikan komoditas politik untuk melakukan serangan-serangan,” tegasnya.
Menurut pemateri dari Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, diskriminasi terhadap minoritas masih terjadi akibat proses pembentukan bangsa yang belum tuntas. Ia menilai negara cenderung berpihak pada mayoritas, sementara perlindungan bagi kelompok minoritas masih lemah. Baginya, untuk menjaga dukungan mayoritas, negara kerap menekan minoritas, meskipun seharusnya dalam negara yang beradab, kelompok paling rentan justru harus mendapatkan perlindungan lebih dulu.
Wirya juga menyoroti bahwa bentuk diskriminasi yang paling sering terjadi di Indonesia adalah penyulitan bagi minoritas keagamaan dalam menjalankan ibadah mereka. Ia menyebutkan bahwa pelarangan terhadap tempat ibadah dan perayaan keagamaan tidak hanya dilakukan oleh negara, tetapi juga oleh kelompok masyarakat tertentu. “Di Indonesia, diskriminasi yang paling banyak terjadi adalah penyulitan terhadap minoritas keagamaan dalam beribadah. Baik pelarangan membuka tempat ibadah maupun pembatasan perayaan ibadah,” ungkapnya.
Selain itu, Ida Rosida menyoroti bahwa diskriminasi juga marak terjadi di sektor pendidikan. Menurutnya, praktik diskriminatif kerap dialami oleh siswa maupun tenaga pendidik dalam berbagai bentuk, mulai dari perlakuan tidak adil, stereotip negatif, hingga pembatasan akses terhadap fasilitas pendidikan. Ia menegaskan bahwa kondisi ini berdampak signifikan terhadap pendidikan karakter anak bangsa.
Di akhir diskusi, Wirya menekankan bahwa diskriminasi tidak hanya terjadi dalam satu sektor, tetapi mencakup banyak bidang kehidupan. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya peran aktif pemerintah dalam membuat regulasi yang memberikan perlindungan hukum bagi kelompok minoritas. “Yang perlu kita kejar adalah perlindungan untuk semua minoritas, jadi kita tidak perlu pusing menentukan yang mana yang harus didahulukan,” tutupnya.
Reporter: Muhammad Seha/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka