SUAKAONLINE.COM – Kala itu, di dataran tinggi Bandung Barat, matahari mulai terbenam, cahaya langit mulai gelap. Keramaian mulai memenuhi sepanjang Jalan Cicalung, Wangunharja, Lembang. Baik warga yang berdagang hingga tamu acara memadati Bale Pasewakan Waruga Jati. Terlihat para perempuan mengenakan kebaya putih, merah, dan biru bersiap untuk pentas pada penyelenggaraan ‘Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata ke-96 Taun’.
Kegiatan ‘Pangeling Pamendak’ merupakan ketekunan tahunan para penghayat kepercayaan Budi Daya untuk mengingat turunnya ‘wangsit’ atau wahyu yang diterima Mei Kartawinata. Sesaat usai adzan Isya berkumandang. Jam di tangan menunjukkan pukul 19.10 WIB. Kegiatan selanjutkan akan dimulai dengan Tutunggulan oleh lima perempuan paruh baya berkebaya biru. Bernamakan Wanoja Budi Daya, kelima perempuan tersebut resmi membuka kegiatan pada Sabtu, (16/9/2023).
Selepas itu, 13 wanita berkebaya putih membawa sesajen, satu memegang bendera merah putih, dan di depan seorang lelaki di tanganya membawa parukuyan. Perlahan iring-iringan itu keluar dari Bale sebagai tanda dimulainya prosesi kirab sesajen. Bau kemenyan menyebar di sekitar Pasewakan. Kecapi mulai dipetik. Gendang mulai dipukul dan lantunan pupuh oleh gadis muda berkacamata, Kiranti mulai dinyanyikan.
Salah seorang penghayat sekaligus panitia acara, Cakra Agranata sedikit menjelaskan proses upacara adat tersebut kepada Suaka. “Prosesi kirab itu kami juga begitu mengagungkan hasil karya kersa (kuasa) Tuhan, sesajen itu bukan sebagai alat komunikasi dengan gaib, itu bentuk tulisan Tuhan, ada yang nyebut ti ‘sastra jendra hayuningrat’, tulisan yang maha agung untuk keselamatan,“ tuturnya, Sabtu (16/9/2023).
Sesajen mulai ditaruh di hadapan foto Mei Kartawinata. Sesajen tersebut berisikan buah pisang, nanas, jeruk dan pir. Tak lupa, sayur-sayuran ditempatkan melingkari tiang, dari bawang putih, tomat, kacang panjang, kol dan terong.
13 wanita itu bersimpuh, dilanjutkan dengan amitsun atau memohon izin kepada orangtua, leluhur, ibu agung (tanah kelahiran), rama agung (langit) dan Tuhan Yang Maha Esa. Bagi penghayat, tata cara seperti kirab adalah bentuk terima kasih atas segala tulisan Tuhan melalui sumber daya alam.
Setelah amitsun, pembacaan rajah untuk menghilangkan dan melindungi dari hal buruk menjadi akhir momen sakral para Penghayat Budi Daya. Kemudian, lagu kebangsaan Indonesia Raya mulai dilantunkan, disusul dengan pembacaan Pancasila dan sambutan-sambutan. Hal ini tidak lepas dari paham kuat para Penghayat terhadap Pancasila.
Memakai tema ‘Pancasila Dasar Hidup Berbangsa dan Bernegara’, menurut Cakra, Mei Kartawinata selalu erat dengan “Pancasila Dasar Salira” selama perjalanan kebatinan dan spiritualitasnya. Apa yang Cakra katakan pernah ditelusuri oleh Ilim Abdul Halim dalam studinya ‘Nilai-Nilai Aliran Kebatinan Perjalanan Dan Dasar Negara’ pada 2016. Ilim membahas perjuangan Mei Kartawinata dan aliran kebatinan di tatar Sunda yang memperjuangkan nilai-nilai dasar hidup.
“Karena Pancasila ini hasil perasan para pendiri bangsa yang paham betul dengan keanekaragaman negara ini, jadi kami ingin mengingatkan kembali, bukan saja kami, tetapi warga dan tamu yang datang,” jelas Cakra.
Ratusan warga dan tamu undangan mulai menikmati jajanan dan hidangan. Kegiatan ini menjadi ladang meningkatkan perekonomian warga dan peran karang taruna menjaga lahan parkir. Jarum jam tangan menunjukkan pukul 21.00 WIB, 20 wanita dengan kebaya merah dan biru melakukan rampak sekar, lagu Gentra Pancasila dinyanyikan. Tanpa alas kaki, mereka bergerak dari kanan ke kiri di depan para pengunjung.
Selanjutnya, enam senjata golok disimpan di depan keris yang ditancapkan ke meja. Terlihat golok tersebut diselimuti kain berwarna oranye. Dari Bale, dengan cepat enam perempuan muda memakai kostum berwarna hijau dan emas dominan bersiap melakukan tarian ‘Bedog Lubuk’. Tari khas Karawang itu menyimbolkan ikut serta warga dalam penampilan kesenian.
9 Tahun Terpaksa Mengaku Islam
Di tengah acara yang dilanjutkan pergelaran wayang, Suaka mewawancarai salah satu pemudi penghayat, Canisa di ruang perpustakaan Bale. Ia yang bertugas among tamu dengan berkebaya hitam, memberitahu jika dirinya sebagai penghayat perlu banyak menutup diri tentang agama yang dianut.
Canisa bercerita, di bangku Sekolah Dasar (SD), ia mengaku beragama Islam kepada teman-temanya dan mengikuti kegiatan ibadah salat di sekolah. Hal ini terus ia lalui hingga usai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pernah sekali, ia memberanikan mengaku sebagai penganut kepercayaan, karena capek harus memenuhi yang bukan kewajibannya. Namun, tak ada yang percaya, ia yang bersemangat, kembali takut membuka diri.
“Udah beres kelas, orang-orang mau salat zuhur, aku tuh nyoba, ‘aku mah bukan Islam, gak akan solat’. Aku bilang lah penganut kepercayaan. Emang itu agama apa ceunah? Emang itu ada agama itu?” kata Canisa kepada Suaka.
Memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), Canisa mengambil Paket C sembari kerja di tempat konveksi. Berangkat dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU/XIV/2016 tentang kepercayaan masuk ke dalam agama, ia mulai melihat harapan atas pemenuhan hak penganut kepercayaan.
Saat bergabung di organisasi Budi Daya, Canisa mulai membuka diri untuk mengungkapkan identitasnya ke masyarakat. Apa yang membuatnya berkeyakinan kuat seperti itu, berasal dari ajaran ‘Jembar‘ atau mengikhlaskan apapun yang terjadi selagi memperjuangkan hak dan kebenaran. Setiap sebulan atau dua minggu sekali, organisasi menyelenggarakan diskusi lalampahan, wadah perbincangan ajaran dari sesepuh dan antar anak muda.
Tantangan penghayat bukan saja takut membuka diri, tetapi label yang selalu dikaitkan dengan penyembah hal-hal gaib. Para penghayat yang bersekolah, terkadang perlu dibantu oleh penyuluh berkonsultasi, namun tetap rentan diskriminasi.
“Penyuluh datang ke sekolah, buat ngobrol. Kadang udah ada yang ngejelasin, tapi guru itu kayak benci aja,” ujar pemudi yang kini tengah kuliah di Sekolah Tinggi Desain Indonesia.
Labelisasi dan Dikotomi
Putusan MK tidak sepenuhnya mengembalikan keadaan para penghayat. Kenyataan pahit dalam administrasi masih dibedakan, khususnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kolom agama di KTP penghayat diganti dengan kata kepercayaan. Hal ini dikeluhkan Cakra karena istilah agama sudah digunakan sejak dulu di tatar Sunda.
“Leluhur kita itu sudah pakai istilah agama dari zaman kuno, Sunda kuno, bahasa kawi, dalam buku Siksa Kandang Karesian atau dari amanat Galunggung, itu ada nyebutin soal agama. Bahkan bukan hanya agama, ada sebutan Hana-Gama, Parigama, itu leluhur kita sudah pakai itu. Jadi kata agama itu asli Nusantara,” jelas penghayat yang berusia 37 tahun itu.
Cakra mengakui pemerintah memfasilitasi penganut kepercayaan, menerima kebijakan itu adalah jalan berjuang tanpa harus memaksa pemerintah. Dengan tegas, ia berpandangan negara hanya mengakui golongan agama yang diakui saja, seperti; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Diskriminasi dari Zaman Kolonial
Pukul 00.00 WIB, para penghayat yang dipimpin ketua organisasi Budi Daya, Engkus Rusnawa melangsungkan hening panggalih. suasana hening dan senyap seketika. Hening panggalih menjadi momen penghayat untuk berdoa sebagai perwujudan rasa terima kasih pada Mei Kartawinata. Mereka menunduk dan menutup mata, dibarengi pemanjatan doa masing-masing penghayat.
Selesai hening panggalih, Engkus bercerita kepada Suaka dengan sangat antusias, mulai dari sejarah hingga dinamika perjuangan Mei kartawinata. Engkus mulai menggeluti organisasi Budi Daya sejak tahun 1978, dan pria yang berumur 68 tahun itu juga dipercayai sebagai Ketua Presidium I Majelis Luhur Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI).
Menyinggung perihal kepercayaan dan agama, ia menyadari dan merenungi, diskriminasi yang dialami penghayat itu dampak paham dominasi agama dan label sejak kolonial. Para penghayat yang kental dengan ajaran leluhur selalu dikaitkan dengan animisme-dinamisme. “Dari zaman kolonial, nenek moyang Indonesia itu animis-dinamis dalam Antropologi, dan diajarkan turun-temurun,“ lanjutnya, Minggu (17/9).
Engkus menganggap kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi hak dasar dan penghayat juga seharusnya mendapatkan hak untuk diakui agama dalam administrasi. Kegiatan pangeling-pangeling yang terbuka umum bagi warga menunjukkan bahwa penghayat Budi Daya juga meluruskan kesalahpahaman masyarakat.
“Ada yang jualan, parkir, sampai parkiran juga dipegang warga sini, bahkan kesenian juga ada dari warga. Kami itu penghayat bukan sosok yang menakutkan, yang dipikirkan orang itu ajaran sesat, pemuja setan, dan segala macam gitu,” tutup Cakra.
Reporter: Mohamad Akmal Albari/Suaka
Redaktur: Yopi Muharram/Suaka