Oleh: Abdul Azis Said*
Saya masih ingat betul ketika ramainya kabar pelecehan di kampus tahun lalu, tidak hadirnya lembaga Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dalam masalah ini luput disadari banyak mahasiswa. Sekilas mendengar namanya, lembaga ini mestinya yang paling bertanggung jawab terhadap masalah tersebut, sayangnya mereka entah kemana.
Meski begitu saya pun kurang paham, entah mereka berhak atau tidak ikut campur dalam masalah ini. Pasalnya, PSGA dalam pernyataannya di tabloid LPM Suaka edisi April 2018 dengan judul ‘Dibalik Diamnya Korban Pelecehan Seksual’, membela diri kalau objek kerja mereka hanya dosen, bukan mengedukasi mahasiswa. Kalau sudah begini, mungkin saya sudah terlalu berharap kepada PSGA.
Bagaimana Kampus tidak gelagapan saat dikepung banyak laporan pelecehan, langkah pencegahan saja tidak dilakukan. Perlu mengungkit kondisi tersebut biar tidak ada yang lupa, karena faktanya kampus tidak pernah memberikan edukasi seksualitas kepada mahasiswanya secara layak. Sehingga jangan kaget apabila pelecehan verbal terjadi dimana-mana, baik sesama mahasiswa maupun yang melibatkan oknum dosen.
Yang terjadi di UIN SGD Bandung hanyalah sebagian kecil contohnya, ini adalah masalah sistemik dalam pendidikan kita saat ini. Absennya kampus menyediakan ruang diskusi menyangkut seksualitas, membuat wacana ini lebih mudah didapatkan lewat praktek-praktek otodidak. Karena tidak bisa dipungkiri semenjak hadirnya pornografi melalui daring, justru menjadi fasilitator yang memberi banyak pengetahuan baru tentang seksualitas. Meski begitu secara bersamaan bisa jadi menjadi preseden buruk, selama terus-terusan hanya mengandalkannya sebagai medium edukasi.
Sekalipun perkara seksualitas merupakan urusan privat, tapi membicarakannya untuk kepentingan edukasi dalam pendidikan formal menjadi penting. Apalagi tujuannya untuk membuka perspektif baru, mempersilakan kemungkinan masuknya sudut pandang yang berbeda. Jika edukasi seks di keluarga mustahil lepas dari kekangan norma-norma sosial, baiknya di kampus sedikit lebih bebas dari campur tangan moralitas sosial, membiarkan seksualitas dibicarakan seadil-adilnya.
Tapi masih ada harapan sebab masih ada segelintir mahasiswa yang peduli terhadap wacana ini. Beberapa teman juga masih tertarik ketika saya ajak bicara perihal konsep homoseksualitas, stigma terhadap Orang dengan HIV AIDS (ODHA), atau yang sedikit sarkas mengenai BDSM. Sebenarnya wacana ini tidak benar-benar kering-kerontang tanpa peminat, hanya saja mahasiswa masih malu-malu lantaran takut dianggap cabul jika membicarakannya secara blak-blakan.
Seksualitas Tidak Melulu Legalisasi LGBTIQ
Kalau kata Hendri Yulius dalam bukunya ‘’Tidak semua Seks Itu Jorok” menyebut pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat cabul yang sangat obsesif menyangkut seks. Meski dijauhi karena dipenuhi stigma negatif, nyatanya siapa yang tidak tahu Porn-Hub. Selain itu, video porno di media sosial baik yang mempraktikan hubungan kelamin lawan jenis maupun sesama jenis masih ramai peminat. Meski terkesan direpresi, seksualitas nyatanya terus digali dan dipelajari masyarakat secara diam-diam.
Padahal sangat penting untuk disadari bahwa setiap dari kita pasti punya fantasi seks berbeda-beda. Supply-demand dalam pornografi menunjukkan, banyaknya gaya hubungan ranjang dalam video pornografi, menjadi pemenuhan atas kesukaan masyarakat terhadap erotisisme seks yang juga beragam.
Dengan memahami wacana ini, semoga saja bisa mengurai masalah diskriminasi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer (LGBTIQ) sebagai wujud keberagaman seksualitas manusia. Kesenangan seks yang beragam seharusnya bisa disikapi lebih baik, dan tidak ada yang mengklaim bahwa dirinya lah yang punya fantasi paling benar. Sebab One size fit all tidak cocok jika berbicara seksualitas manusia.
Persoalannya ialah sebagai kelompok minoritas, selamanya LGBTIQ akan menjadi bagian terpisah dari kelompok masyarakat secara umum, apabila ruang pendidikan tidak terbuka terhadap mereka. Mengetahui fakta LGBTIQ tidak serta merta akan merubah individu yang tadinya heteroseksual seketika jadi homoseksual. Alih-alih menyudutkannya, pendidikan seharusnya mengaplikasikan nilai-nilai keberagaman seksualitas. Karena membicarakan kehidupan seorang gay, tidak semata menguliti bagimana proses mereka mencapai orgasme, tapi ada hubungan yang lebih kompleks.
Histeria LGBTIQ hanya buang-buang tenaga, lebih baik menyatroni para penjahat kelamin yang memperlakukan seksualitas sebatas senggama saja. Perlu diketahui bahwa impresi konsep biner gender membatasi orang-orang tertentu untuk memperoleh haknya berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Inilah diskriminasi yang dialami kelompok homoseksual, berkamuflase untuk memenuhi tuntutan masyarakat agar dianggap ‘normal’.
Padahal jauh sebelum seksualitas menjadi bulan-bulanan Saintifik, Colin Spencer dalam bukunya ‘Sejarah Homoseksualitas’ bahkan menyebut praktek hubungan seksualitas sejenis sudah jadi praktik umum masyarakat Asia di zaman lampau. Hanya saja saat itu Ilmu Kedokteran dan Psikologi belum hadir mengkotak-kotakkannya menjadi istilah yang kita kenal sekarang sebagai LGBTIQ.
Hubungan pederastik hadir melengkapi keragaman praktik seksualitas pada peradaban manusia kuno di Yunani, Tiongkok hingga suku Marinddi pedalaman Papua Nugini. Lebih dari sekedar untuk berkembang biak dan kenikmatan, seksualitas dalam kebiasaan pederastik masyarakat kuno punya tempatnya sendiri sebagai proses memingit anak laki-laki demi maskulinitas.
Tapi siapa yang peduli dengan fakta sejarah, toh yang ilmiah sekalipun tidak berguna selama bertentangan dengan apa yang menjadi kesepakatan sosial. Justru kondisinya makin bias dengan banyaknya kontroversi menyebut LGBTIQ sebagai impor budaya asing, lantas entah yang mana sebenarnya yang kita jiplak dari Barat.
Agaknya terlalu lebay apabila masih menggunakan istilah ‘budaya kebarat-baratan’ sebagai narasi pihak-pihak yang tidak terima dengan konsep keberagaman seksualitas. Karena pada nyatanya, homophobic dan ketakutan terhadap keberagaman tersebut justru salah satu budaya peninggalan dari kolonialisme Eropa di Indonesia. Gereja-Gereja di Eropa lah yang lebih dulu terang-terangan memproklamirkan kebencian terhadap hubungan sesama jenis.
Tapi kalau masih saja takut sama LGBTIQ, tenang saja karena seksualitas itu punya bahasan yang sangat banyak dan rumit sebab bersilang sengkarut dengan wacana lainnya. Yang mana, memahami seksualitas manusia tidak sebatas perjuangan untuk legalisasi hubungan sesama jenis, tetapi juga kepentinga kelompok heteroseksual pada umumnya.
Konsep Biopolitik Michel Foucault bisa menjawab keadaan ini, yakni bagaimana negara mengatur konsep keluarga ideal adalah pasangan heteroseksualual yang mampu berprokreasi. Tapi tetap saja yang katanya ‘normal’ sekalipun masih ditertibkan. Negara ikut mendisiplinkan tingkat kelahiran warganya lewat program batasan jumlah anak. Termasuk apa yang masih kita yakini sampai sekarang mengenai hubungan ranjang suami istri yang selalu memposisikan seksualitas perempuan tampil pasif dibanding laki-laki.
Kampus jadi Tempat Perebutan Wacana
Menampung banyak mahasiswa yang punya latar belakang berbeda-beda, sangat wajar bila kampus ikut menjadi medan perebutan wacana bagi banyak kepentingan berbeda. Masing-masing berebut atensi, yang ambisius terhadap akademik tentu ingin kampus cukup fokus membicarakan perkuliahan saja, sehingga wacana seksualitas akan timbul-tenggelam mengikuti momentum.
Apalagi perguruan tinggi keagamaan seperti UIN, sulit untuk mengelak adanya tendensi religiusitas pada nyatanya cukup dominan untuk menindih wacana lainnya. Mau tahu buktinya? Mana pernah kampus kita ini mau terbuka soal isu seksualitas sedikitpun, entah itu perkara edukasi kesehatan reproduksi, seks yang aman, bahkan kasus pelecehan seksual saja dibiarkan begitu saja. Beda cerita kalau banyak yang berlomba-lomba bikin seminar nikah muda.
Selain itu, baik dosen maupun mahasiswa masih terjebak dalam konstruksi sosial tentang kepatutan seks untuk dibicarakan secara terbuka. Kampus secara tidak langsung mengakui mereka yang tidak inovatif. Bukannya menyediakan ruang paling aman untuk berani mengutarakan argumen yang berbeda, yang ada justru mejiplak normativitas yang dibuat oleh masyarakat sosial di luar kampus.
Bicara seksualitas di kampus terlebih dengan dosen juga terbentur masalah kepatutan. Ketabuan membahas seksualitas dipersepsikan sebagai hal naluriah manusia, sehingga yang berani membicarakannya pun niscaya distigma tidak sopan atau cabul. Padahal masalah krusial seksualitas saat ini ialah ketidakadilan yang dibangun lewat prinsip heteronormativitas dalam konstruksi sosial masyarakat. Diskusi-diskusi ilmiah bisa menjadi posisi tawar cukup kuat terhadap masalah tersebut.
Selain itu, relasi yang terbangun antara dosen dan mahasiswa pun tidak lebih dari sekedar perasaan segan karena sekat usia. Sisi konservatif dosen menyikapi wacana ini memposisikan urusan seksualitas melulu pembahasan orang dewasa. Kemudian muncul Konsensus tentang batasan siapa yang layak dan tidak layak membicaraka hal ini. Paling tidak jangan buat anak muda mati penasaran lantaran terus-terusan dilarang tapi tidak sekalipun diajari dengan baik.
Mengesampingkan urgensi hadirnya edukasi seks bagi mahasiswa, kampus pada kenyataannya hanya agenda dosen untuk mencetak ahli-ahli kerja ketimbang mempersiapkan generasi penerus yang ideal. Ideal dalam maksud masyarakat yang inklusif, peka terhadap perbedaan dan menanggapinya lebih bijak. Lembaga pendidikan “hanya” disiapkan untuk belajar, mengerjakan tugas, menyusun skripsi, lulus, dan bekerja. Jebolannya sudah tentu hanya akan ikut memperparah kehidupan sosial yang kian diskriminatif.
Wacana seksualitas di mahasiswa juga kalah pamor dibanding kesibukan organisasi, yang kebanyakan hanya jadi hamba proker dan rapat himpunan siang-malam. Tetapi sebagai konsekuensinya, tidak heran jika dengan sangat mudah menjumpai banyaknya candaan seksis dalam tongkrongan, kelas perkuliahan atau rapat.
Kalaupun seks diposisikan sebagai hasrat intuitif dan pengalaman yang didapatkan dari proses mengalaminya bertahun-tahun, harusnya baik dosen maupun mahasiswa yang sudah hidup selama lebih dari 20 tahun ini sudah sangat khatam. Apalagi dosen dan mahasiswa juga insan akademisi loh, sudah bertahun-tahun mengenyam pendidikan. Kalau dipikir-pikir semestinya kejadian leceh-melecehkan sudah tidak ada lagi, dan kampus harusnya lebih aman untuk jadi ruang berekspresi mahasiswa. Tapi faktanya tidak, berpendidikan sekalipun tidak menjamin mahasiswa ataupun dosen bisa memposisikan hasrat seksualnya lebih baik.
*Mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Semester 6 dan pengurus LPM Suaka bidang Riset, Data dan Informasi