SUAKAONLINE.COM – Amnesty Internasional Indonesia mengadakan diskusi panel bertajuk “Kritis Boleh, Kritik Gak Boleh: Ngobrolin Ke(tidak)bebasan Akademik” dalam kegiatan Rightsfest 2023 di South Great Hall, Posbloc, Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2023). Rangkaian kegiatan berlangsung selama dua hari dengan diskusi, live mural, pameran, pemutaran film dan konser musik.
Diskusi ini merupakan kolaborasi Amnesty Internasional Chapter UIN Jakarta dengan beberapa organisasi kampus di seluruh Indonesia dalam rangka pembuatan buku berjudul “Pelanggaran Hak Asasi Mahasiswa”. Koordinator Amnesty Internasional Chapter UIN Jakarta, Firda Amalia Putri menjelaskan alasan pembuatan buku tersebut karena tulisan adalah media paling ampuh untuk melawan atas tidak terpenuhinya hak asasi mahasiswa.
“Ada salah satu penulis dari Universitas di Semarang itu menuliskan dan menyampaikan bahwa di kampusnya ada banyak mahasiswa yang terpaksa mengundurkan diri dari kampus karena biaya pendidikan yang tinggi. Begitupun salah satu mahasiswa di perguruan tinggi Medan hal yang sama gitu, dia menggelisahkan dan meresahkan karena penggolongan UKT (Uang Kuliah Tunggal -red) itu tidak sesuai dengan pendapatan ekonomi keluarganya,” tuturnya, Sabtu (2/12/2023).
Sementara itu, pemimpin redaksi LPM Suaka, Yopi Muharam menyoal masalah Pers mahasiswa (Persma) seringkali disamakan dengan humas kampus. Menurutnya, Persma adalah profesi yang bergerak di bidang jurnalistik kampus dan menggunakan kode etik dewan pers dan Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Lebih lanjut, kerentanan Persma secara hukum menjadi masalah karena tidak diatur oleh Undang-Undang Pers sehingga banyak represivitas terjadi.
“Sedikit cerita, 10 tahun kebelakang, tahun 2013, LPM Suaka pernah meliput kecurangan atau korupsi ya bahasa jelasnya oleh rektorat sebesar 1,81 miliyar. Dan laporan itu Suaka tuangkan dalam majalah berjudul ‘Yang Tersangkut di Gedung Rektorat’, impact-nya pimred dan 6 reporter Suaka diintimidasi dan diancam Drop Out (DO) dari kampus,” jelasnya.
Di sisi lain, aktivis Amnesty Internasional Chapter Universitas Papua, Marselino Pigai menyampaikan bahwa aktivisme mahasiswa Papua masih dalam ruang pembatasan kebebasan berekspresi. Ruang pembatasan itu telah terjadi sejak penggabungan Papua dan Indonesia di bawah New York Agreement 1962. Ia juga membeberkan pembatasan pemikiran ada sejak pemerintah Orde Baru (Orba) dengan penempatan militer berkelanjutan sampai sekarang.
Bahkan stigma aktivisme mahasiswa Papua baik di dalam dan di luar kampus menjadi pembatas mereka. “Aktivisme kami di luar kampus itu, kami dicap sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang -red) oleh kepolisian tapi kalau di kampus orang-orang yang tanda merah mendapatkan DO. Waktu itu kita aksi memperjuangakan orang-orang yang mau masuk universitas namun ada kebijakan yang dikhsusukan,” jelasnya.
Saat diwawancarai Suaka, aktivis yang akrab dipanggil Pigai menjelaskan stigma nama mahasiswa Papua selalu disematkan sebagai lawan negara. Hal ini sering dirasakan mahasiswa Papua saat melakukan aksi merespons kondisi di luar kampus, seperti rasisme dan otonomi daerah. Menurutnya, orang-orang di luar Papua juga kerap memandang aktivisme Papua sebagai gerakan yang mengganggu keamanan negara.
Melawan stigma tersebut, Pigai dan teman-temannya sering mengadakan kolaborasi untuk membangun pemahaman publik terhadap aktivisme Papua. Namun begitu, ia juga menyinggung media mainstream yang tidak mempersoalkan masalah Papua, hanya dukungan organisasi independen non-pemerintah menjadi bantuan untuk menyebarluaskan kondisi Papua.
Ia berpesan kepada para aktivis di luar Papua atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia untuk membantu menyelesaikan persepsi yang salah terhadap aktivisme Papua. “Misalnya coba BEM – BEM yang ada di Indonesia untuk coba meng-clear kan cara pandang luar terhadap masyarakat Papua, pergerakan-pergerakan kebebasan,” tutupnya.
Reporter: Mohamad Akmal Albari/Suaka
Redaktur: Fitri Nur Hidayah/Suaka