Buletin

Buletin Momentum Edisi Mei 2001

Buletin Momentum Edisi Mei 2001

Editorial

Pemilu

momentum-edisi-mei-2001Mencermati perjalanan waktu menjelang Pemilu Raya Mahasiswa yang di penuhi gejolak, diawali dari aksi Forum Demokratisasi Kampus (FDK) (21/5/2001) yang menyatakan penolakan terhadap pelaksanaan pemilu raya, disusul Aliansi Jurusan ‘mengacak-acak’ pelaksanaan Dialog Calon Presiden mahasiswa (23/5/2001). Pangkal pemicu dari semua ini adalah adanya kontroversi dlam memahami mekanisme pemilihan peserta Kongres KBMI (3/2001). Hal ini menjadi sebuah perdebatan pula diantara peserta kongres perwakilan HMJ itu sendiri. Pernyataan sepihak bahwa dirinya legitimate, walaupun tanpa melalui pemilu distrik, karena memilliki mandat ketua HMJ. Dan ini sesuai dnegan semangat otonomisasi HMJ. Namun pihak lain menyatakan sebaliknya, yakni meski dirinya dimandati oleh ketua HMJ, tetaoi mereka menyatakan bahwa dirinya tidak legitimate. Karena tidak melalui pemilu distrik sebagaimana diatur dalam ART pasal 23.

Walaupun perdebatan tidak mencapai titik temu, kongres tetap dirampungkan sekalipun diikuti segelintir orang. Karena dalam perjalanannya banyak peserta yang walk out. Rampungnya kongres, ternyata tidak menjadikan rampungnya kontroversi ini, bahkan terlihat terkotak-kotakkan kedalam beberapa varian yang diwarnai perseteruan. Hal ini tampak pasca kongres dengan sempat munculnya isu kongres tandingan.

Menjelang Pemilu Raya Mahasiswa (PRM), gugatan terhadap keberadaan DLM dan juga Pemilu Raya Mahasiswa yang telah melewati beberapa tahapan, beberapa kali menggeliat kepermukaan. DLM dan pemilu raya dipandang cacat hukum karena dihasilkan dari kongres yang cacat hukum, atau istilah yang lebih banyak muncul adalah Unligitmate.

Akan tetapi tampaknya, sekalipun pemilu raya mendapat gugatan dari beberapa pihak, DLM dan penitia akan tetap melanjutkan PRM ini. Terlihat dari langkah-langkah yang dilakukan oleh keduanya. Entah karena tanggung langkah, atau mungkin karena berpegang pada keyakinan awal bahwa mereka legitimate. Nampaknya tidak ada pilihan yang paling baik ketika disodorkan pada dua opsi. Pertama, pemilu dilanjutkan atau kedua, pemilu malah dibubarkan (baca:dipending). Dilematis memang. Karena keduanya sangat membutuhkan cost (biaya) yang cukup mahal.

Tanpa bermaksud mengesmapingkan perbedaan pandangan atas kontroversi Pemilu Raya Mahasiswa dari kedua belah pihak , saya melihat sekalipun ini kecil adanya kesamaan dalam niatan, yakni sama-sama berkeinginan untuk mengusung perubahan kearah yang lebih baik. Dan dalam kasus Pemilu Raya, saya melihat, yang dominan dimunculkan kepermukaan justru malah perbedaan, tanpa pernah mencoba memunculkan persamaan yang mereka miliki. Entah karena persamaannya itu hanya sebatas lipstik, atau mungkin karena kekhawatiran an syakwasangka dari kedua belah pihak, jangan0jangan niatan untuk mengusung nilai-nilai kebersamaan itu dipecundangi oleh satu diantara keduanya atau justru malah kedua-duanya.

Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi ketika perbedaan pandang terhadap pemilu, lebih sering dikedepankan dibanding rasa kebersamaannya. Organisasi kemhasiswaan (baca; KBMI) yang hari ini masih tergolong kanak-kanak dan masih dalam proses pencariam bentuk ini akan semakin carut-marut. Pertama, karena banyak ditinggalkan oleh sebagian mahasiswa yang sama-sama memiliki keinginan ‘Murni’ untuk mebangun lembaga kemahasiswaan. Kedua, bahwa perbedaan ini tidak hanya akan selesai disini, perbedaan ini akan terus muncul dalam setiap pentas, terlebih dalam masalah peka seperti sekarang ini yakni pemilihan para kandidat presma. Dan ini akan menjadi sebuah perseteruan yang dahsyat secara turun temurun. Ketiga, konflik horizontal, yang tidak bisa dielakan sekalipun hanya terjadi pada sebagian kecil mahasiswa.

Yang dikhawatirkan sebagai akibat lain dari kondisi ini adalah menjadikan mahasiswa IAIN semakin apatis terhadap kelangsungan hidup lembaga kemahasiswaan, karena mereka alrgi terhadap hal-hal yang bersifat politis. Ini sangat berbahaya.

Terlepas dari keputusan yang dihasilkan, berawal dari pemahaman yang seperti itu, nampaknya dialog merupakan cara yang paling efektif untuk dilaksanakan kedua belah pihak. Mereka yang selam ini menyatakan kongres unlegitimate harus bersedia untuk berdialog dan harus bersedia untuk berdialig dan menerima dengan lapang dada. Dan juga mereka yang tetap mempertahankan kongres karena merasa ke-legitimat-annya harus siap duduk bersama dan berbesar hati untuk menrima dan mematuhi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Sambil menundukkan kepala dan berpikir jernih. Memilih dan memilah keputusan yang terbaik untuk kebaikan mahasiswa IAIN. Dan semua ini akan terlaksana jika semua mahasiswa peka mendengarkan suara nuaraninya. Tidak lagi membawa kepentingan kelompok atau solidaritas kolektif hampa yang tak berkesudahan. Karena semua atribut itu hanyalah pembawa malapetaka belaka. Jangan korbankan tunas-tunas cerdas itu oleh arogansi keduniawian yang tak berbatas. [Redaksi]

 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas