Oleh: Elsa Adila Rahma*
Jika kau bertanya bagaimana rasanya menjadi musafir di tanah sendiri? Maka nyalang mata seorang pemuda dugal berusia 15 tahun adalah sebuah jawab. Tidak ada yang berani mengorbankan raganya untuk mati terbakar ke dalam lautan bola mata legam nan penuh dendam, lagi pantang khianat untuk melepaskan titik koordinatnya dari pria paruh baya yang tengah masyuk menyuap sendok demi sendok lauk pauk.
Bahkan gemeletuk taring sang anak yang mulai melampaui irama sumbang kunyahan demi kunyahan tersebut, tidak mampu mengusik ketenteraman makan malam pria buncit berkaus oblong dengan dahi yang terus mengerut sebab terlampau sibuk menelanjangi tiap-tiap sudut kediaman Mark Zuckerbeg.
Sendok garpu masih setia berdentang tak tahu nada bak seorang prajurit yang kehilangan arah, menunggu salah satu dari mereka melayangkan gencatan senjata. Wanita paruh baya yang tampak tak kuasa lagi berada di antara bara yang tak kunjung padam, akhirnya mulai berdecak pelan dan berlaga menjadi seorang mediator berkepala dingin.
“Sudahlah nak, tak usah kau pedulikan apa pekerjaan bapakmu. Toh, selagi kita bisa makan enak seperti ini. Apa yang perlu kau risaukan?” Raka melirik acuh tatkala mendengar nasehat yang dilayangkan oleh juru bicara ayahnya tersebut, sebelum kembali memusatkan pandang bersiap menangkap seluruh kata yang keluar dari bibir hitam khas perokok yang masih enggan angkat bicara terhitung sejak teman-teman dimasa kanaknya mulai membanggakan profesi ayah mereka.
Sungguh, semenjak saat itu Raka benci berada dalam situasi dimana dia harus berhadapan dengan formulir sekolah, basa-basi busuk perihal keluarga, hari pengambilan raport, dan apapun yang berkaitan dengan ayahnya. Bahkan ia sempat berpikir konyol, untuk melakukan demonstrasi menyuarakan penghapusan hari ayah. Sebab dia kadung dikutuk menjadi seorang musafir dungu yang tidak tahu menahu tentang apa dan bagaimana rumah ini tetap berpijak melawan arus inflasi. Pun Raka tidak mungkin mengambil kesimpulan dari kabar burung yang terhembus di antara gerobak sayur atau pos ronda, bahwa ayahnya melakukan ritual babi ngepet untuk memperkaya diri. Sebuah kekonyolan, dan Raka benci tidak mempunyai data untuk membela.
Namun lagi dan lagi, pemuda bergaya rambut fringe itu hanya mendapati sendawa dan tawa pelan sebagai jawaban atas keingintahuannya mengenai seluk beluk pencairan dana keluarga. “Kau mau apalagi nak? Kemarin kan bapak sudah belikan motor listrik dan HP IPhone seperti teman-temanmu. Masih kurang toh?” Raka mendelik tak suka, lalu berujar dengan penuh tekanan “Aku hanya ingin kebenaran,”
Pria yang akrab disapa Suryanto itu tergelak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, tak menyangka anak semata wayangnya kian hari kian dramatis. “Bicaramu itu nak-nak, sudah melebihi aktris sinetron saja. Lihat anakmu ini bu, mulai pandai berlakon,” Haryanti, sang pembela utama Suryanto hanya mengulum senyum tipis, wanita dengan helaian rambut putih yang mulai mengintip malu itu lebih memilih untuk mengatur siaran televisi dibanding harus turut bersuara. Dia hanya tidak ingin menjadi kayu di antara percikan api.
“Aku serius pak, darimana bapak mendapatkan semua uang ini?” Ujar Raka mencoba untuk menghentikan lelucon yang tak pernah berhasil mengocok perutnya. Suryanto memijat pelipisnya sejenak lalu berujar dengan raut yang barangkali Raka harapkan. “Bapak lebih serius dengan pekerjaan ini, yang penting kan bapak bisa menghidupi kalian dengan uang halal bukan dari uang rakyat seperti bibit-bibit tikus bersepatu docmacrt itu,” Suryanto menunjuk ke arah siaran televisi yang menampilkan pemberitaan terkait seorang calon pejabat negara yang baru terungkap pernah melakukan penggelapan dana sebesar 7 Miliyar rupiah di tahun 2019 silam.
“Naikkan volumenya Bu,” titahnya membuat perhatian Raka terpusat sepenuhnya ke arah seorang pria berjas hitam dengan borgol yang melingkari nasib dan kewarasannya, pria berjambang tipis itu tengah berusaha menyembunyikan takdir muramnya dari kilat-kilat cahaya dan suara-suara keingintahuan.
“Loh nak, itu Pak Rahmat bapaknya si Sarah teman sekolahmu yang mau nyalon jadi bupati itu kan?” Aliran darah Raka terhenti sejenak mendengar tanya yang terlontar dari bibir Haryanti. Pasalnya, Sarah merupakan sahabat karib Raka sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Sebuah kemustahilan jikalau Raka tidak mengenal Rahmat, pria tersebut tidak pernah absen memberinya petuah untuk fokus mengejar pendidikan demi bisa duduk di kursi serupanya sebab Rahmat yakin betul bahwa nalar kritis Raka akan mengantarnya menuju jalan yang tengah ia tempuh.
Pria paruh baya yang acap kali membuat uang saku serta perutnya mengembang itu juga sempat bercerita bahwa dia adalah seorang politisi sekaligus pemilik pabrik tekstil dan Sarah tidak perlu bergerak gelisah bak seorang siswa yang ketahuan mencurangi lembar ujian jika ditanya terkait pekerjaan ayahnya, tentu dia dapat berlaga angkuh mengetahui fakta gemilang tersebut.
Namun kali ini, Raka lah yang makin bergerak gusar, dia bingung harus berbuat apa. Terlebih lagi, Sarah telah menjauh darinya tanpa sebab terhitung sejak 14 hari yang lalu. Gerbang rumah berlapis karat yang terlampau berat menyimpan kenangan masa kecil mereka menjadi saksi, bahwa di hari terakhir ia menyimpan raut pucat dan suara gemetar perempuan yang adalah cinta monyetnya itu. Sebuah kalimat misteri terlontar dari bibir merah mudanya “Kau akan tahu jawabannya, barangkali 5 atau 10 tahun lagi.”
…
Kini, di tahun-tahun yang kian senja. Haryanti terduduk lemas dengan perasaan gundah. Air matanya mengalir deras bak bendungan yang kehilangan anggaran perbaikan infrastruktur. Genangan netranya masih setia menampilkan senyum getir seorang pria muda dengan jas hitam kebanggaan, borgol yang melingkar di antara nasib dan kewarasan, serta kilat-kilat cahaya yang terus mencoba menelisik takdir muram. Haryanti tahu, ketika waktu berhasil menyingkap misteri menjulangnya benteng komunikasi antara Raka dan Sarah. Mau tidak mau, dia juga harus siap untuk kembali berperan menjadi seorang juru bicara demi menjawab seluruh tanya tentang massa yang berhasil menggerogoti kursi yang mati-matian diperjuangkan oleh anak semata wayangnya itu.
Suryanto juga tak kalah risau, namun dia hanya dapat bergeming di tempat dengan ponsel yang terus berdering tak karuan menampilkan ratusan pesan dari nomor tak dikenal:
“Wah seperti biasa, kerja bagus Mas Suryanto, klient puas. Makasih udah posting berita hoaks di akun gedemu itu heheheh. Nanti saya transfer uangnya, masih ke rekening yang sama kan? Tapi ini lho Mas, kurang banyak cuitannya. Masa cuman 5 cuitan? Biasanya bisa sampe 10 lebih.”
“Hebat Mas, targetnya langsung dibekuk polisi. Saya mau pesen lagi, tolong bikin 15 postingan dengan narasi yang sudah saya siapkan ya. Nanti saya transfer.”
“Udah meluncur belum Mas pesenan saya yang kemaren? Tolong diupload jam 18.00 ini yaa.”
“Memang Mas Suryanto ini buzzer politik ter-the best, saya janji deh bakal jadi langganan.”
Tugas kelompok sekolah membawa Sarah pada sebuah fakta mengejutkan, bahwa Suryanto adalah pembunuh yang berkeliaran di taman maya. Kebetulan sekali, cahaya ponsel Suryanto yang amat terang benderang membuat mata nakalnya menangkap laku seseorang yang tengah menyulap uang menjadi sebuah kuasa yang mampu menggerakkan jemari Suryanto untuk membidik letak nadi Rahmat. Tentu, Perlu waktu yang banyak untuk Sarah mencerna apa yang tengah dilakukan oleh pria yang sudah dia anggap sebagai ayahnya sendiri.
Namun pada akhirnya asuhan teknologi sedari dini membuat Sarah dapat membuat sebuah konklusi, bahwa Suryanto adalah pembunuh amatir yang tak pandai membaca dan bahkan tidak ragu untuk menjadi alasan kehancuran sang anak. Pria berkepala empat itu hanya mampu tunduk pada instruksi rupiah sembari terus mengasah pisau agar tetap mengkilap sedemikian rupa demi memburu dengan buta arah pada nadi-nadi atas nama kuasa. Hingga nurani pun tidak mampu berkutik di bawah ketajaman dan keraguan dosa yang tak pernah merasa salah.