SUAKAONLINE.COM, Infografis – Tanggal 21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini. Di Indonesia sendiri, hal itu sudah sangat lumrah untuk dirayakan setiap tahunnya. Beragam kegiatan pun dilakukan sebagai bentuk peringatan untuk hari nasional tersebut. Diantaranya, dengan memasang poster-poster, mengenakan baju kebaya di sekolah maupun instansi, mengadakan lomba-lomba, dan lain sebagainya. Lantas, mengapa harus Kartini yang hari lahirnya dirayakan? Mengapa tidak ada Hari Dewi Sartika atau Hari Cut Nyak Dien?
Hari Kartini ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Seokarno. Pada tanggal 2 Mei 1964 dengan mengeluarkan Kepres No.108 tahun 1964 tentang penetapan R. A Kartini sebagai pahlawan nasional. Di hari itu pula Presiden Soekarno menetapkan tanggal 21 April, yang mana merupakan hari kelahiran Kartini, sebagai Hari Nasional Kartini.
Namun, dibalik hingar-bingar perayaan Hari Kartini, tak sedikit pula orang yang mempertanyakan akan penokohan sosok Kartini sebagai pahlawan emansipasi. Hal tersebut menciptakan teori-teori yang mendukung persepsi bahwa sebenarnya sosok Kartini ini memang sengaja ditokohkan oleh seseorang.
Pada tahun 1970-an, Guru Besar Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R. A Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Gugatan itupun akhirnya menemukan fakta bahwa Kartini adalah orang yang dipilih oleh orang Belanda, untuk ditampilkan di depan publik sebagai tokoh emansipasi wanita.
Adanya campur tangan Belanda dalam penokohan Kartini ini, pada akhrinya dijadikan sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia. Indonesia tidak serta merta menciptakan lambang tersebut, meskipun pada akhirnya Indonesialah yang mengembangkanya. Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia.
Selain itu, dalam artikel di Jurnal Islamia dengan judul “Mengapa Harus Kartini?” , Sejarawan, Tiar Anwar Bahtiar bahkan menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung atau Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini merupakan para pejuang wanita Indoneisa lainnya dan apa yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini.
Jika Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Rohana Kudus berhasil menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri. Bahkan Dewi Sartika juga berhasil mendirikan Sekolah Kautamaan Isteri di Bandung.
Meskipun memiliki banyak kontroversi, peringatan Hari Kartini ini harus tetap diperingati dengan penuh refleksi. Dengan surat-surat yang ditulis oleh Kartini, memperlihatkan bahwa sebenenarnya Kartini berjuang dengan caranya sendiri, yaitu dengan menulis. Sesederhana apapun kata yang dituliskan, pasti bermanfaat bagi yang sedang membutuhkannya. Maka dari itu, betapa pentingnya sebuah pengarsipan karena tulisan mampu tersimpan hingga bertahun-tahun lamanya.
Seperti kutipan Pramudya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Sumber : Berbagai Sumber
Peneliti : Zahra Siti Syahida/Magang
Desain : Arie R Prayoga/Magang