SUAKAONLINE.COM – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengadakan diskusi terbuka terkait RUU Cipta Kerja, bertajuk Tolak Omnibus Law. Diskusi tersebut mengusung tema “Iklim Baik Bagi Investasi, Mimpi Buruk Bagi Ekologi” di EduPlex Cafe Bandung, Jumat (21/2/2020). Kemudian diskusi ini juga menghadirkan pemateri dari Agrarian Resource Center (ARC), Dianto Bachriadi , Wahana Lingkungan Hidup Jawa barat (Walhi Jabar), Meiki W Paendong, dan Indonesian Centre of Environmental Law (ICEL), Adrianus Ervan.
Diskusi dimulai dengan membedah poin-poin dalam RUU Cipta Kerja yang dirasa janggal dan merugikan masyarakat. Dianto Bachriadi memaparkan, terkait kewenangan izin tercatat, pada Pasal 39 ayat (2) UU 32 Tahun 2009, pengumuman keputusan kelayakan lingkungan diubah dari “Dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat” menjadi “Dilakukan melalui sistem elektronik atau cara lain yang ditetapkan oleh pemerintah pusat”. Sehingga membuat tidak semua unsur masyarakat Indonesia dapat mengakses informasi secara online, dan berpotensi semakin membatasi partisipasi publik.
Selain terkait kewenangan izin, Dianto pun menyampaikan tentang Kearifan Lokal, dalam Pasal 69 ayat (2) UU 32 Tahun 2009, terkait pertimbangan kearifan lokal dalam larangan buka lahan dengan cara bakar dihapus, itu menyebabkan resiko kriminalitas terhadap petani atau perkebunan akan meningkat. Kemudian terkait kehutanan yang terdapat pada Pasal 49 UU Kehutanan yang diubah, pemegang izin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan yang terjadi di area kerjanya, hanya diwajibkan melakukan pencegahan dan pengendalian.
Untuk menyikapi Omnibus Law, menurut Dianto, harus ada pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, dan partisipasi masyarakat. Selain itu, sosialisasi yang luas dan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang transparan dan memperhatikan masyarakat dari berbagai pihak, juga mempertimbangkan jangka waktu keefektifan berlakunya UU tersebut, dan mempertimbangkan keberlakuan UU yang berdampak selanjutnya.
Tak hanya itu, Dianto juga menjelaskan, terkait proses pembentukan UU dan pasal-pasal yang bermasalah, hal yang harus dilakukan adalah laporan ke Ombudsman untuk administrasi dalam proses pembentukan UU, menyelenggarakan diskusi Raising Awareness, melakukan audiensi ke DPR, melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi apabila sudah disahkan menjadi UU, dan terakhir adalah aksi. “Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini pemerintah lebih mendengarkan aspirasi dari mahasiswa. Maka tentu besar harapan untuk teman-teman mahasiswa, ikut serta mengadakan diskusi dan kajian terkait Omnibus Law ini,”jelasnya.
Kemudian penolakan terhadap Omnibus Law bukanlah hanya terfokus kepada satu klaster tertentu saja, karena dalam polemik Omnibus Law ini berdampak kepada semua klaster. “Perlu adanya gerakan kolektif dari semua klaster, tidak hanya kelas buruh. Tapi perlu diingat bahwa Omnibus Law ini juga menyangkut tentang lingkungan. Ada juga mengenai hak-hak perempuan, maka perlu kiranya kita membangun gerakan yang tersentralisasi supaya upaya kita ini tidak mudah untuk digembosi,” tutur pemateri dari Agrarian Resource Center (ARC) ini.
Menurut Walhi Jabar, Meiki W Paendong, dalam proses pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) harus adanya pelibatan partisipasi publik, sehingga masyarakat yang terkena dampaknya adalah masyarakat yang telah dipilih dan berpotensi terhadap dampak yang telah dilibatkan tersebut. Sedangkan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKL) diproses, untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan dan berpotensi untuk memberikan dampak pada lingkungan, karena merupakan bentuk upaya perjuangan.
“Pada kasus sebelumnya kami merasa ada satu proses yang cukup ampuh sebagai alat untuk memperjuangkan hak lingkungan yang sehat, jadi banyak gugatan terkait lingkungan oleh warga dan didampingi oleh kami,”tambah Meiki. Ia pun mengatakan bahwa organisasi lingkungan mempunyai legal standing, sehingga pernah mengalami keberhasilan ketika mengatasi masalah yang terjadi di Cirebon dan Indramayu.
Meiki juga berharap, semoga ancaman kedepannya tidak ada lagi dan pengawasan yang diberikan kepada dinas terkait memberi dampak pada kondisi lingkungan itu sendiri, dan izin tambang kembali lagi ke pusat yang berlaku untuk seumur hidup. Karena kebutuhan batu bara semakin meningkat dan terus naik disetiap tahunnya, sehingga kebutuhan untuk listrik pun diperbaharui dari tahun 2020 hingga 2024.
Diakhir sesi Dianto Bachriadi mengatakan, bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar menolak Omnibus Law, tapi bagaimana kita merubah pola pikir dan karakter penjajah khas kolonial dari para pejabat pemerintahan.
“Sejatinya kalau kawan-kawan ketahui, poin-poin yang ada di dalam Omnibus Law ini sebenarnya adalah pasal-pasal yang pernah diajukan dan telah ditolak. Kemudian diajukan kembali kedalam bentuk yang berbeda. Maka yang terpenting adalah bagaimana kita mengubah otak dari para pejabat yang rakus. Kalau tidak bisa merubah pola pikirnya, lebih baik turun dari jabatannya.”Tutupnya.
Reporter : Anisa Nurfauziah, Fadhilah Rama
Redaktur : Hasna Fajriah