Fokus

Diskriminasi Terhadap Penghayat Kepercayaan, Masih Dilanggengkan?

Beberapa anak Penghayat Kepercayaan Budi Daya melakukan kirab sesajen dalam upacara pembukaan kegiatan Young Leader Interfaith Camp (YLIC) di Pasewakan Waruga Jati, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (28/6/2024). (Foto: Nia Nurfadillah/Suaka)

 

Oleh: Nia Nur Fadillah

SUAKAONLINE.COM – Diskriminasi dan perundungan ternyata masih kerap dialami siswa penghayat kepercayaan, dari tingkat dasar hingga menengah atas. Bentuknya mulai dari ejekan teman sebaya,  perlakuan berbeda dari guru,  sampai pemaksaan untuk mengikuti ajaran agama sang guru. Hal ini antara lain dialami oleh pelajar Penghayat Kepercayaan Budi Daya di daerah Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Eka (bukan nama sebenarnya) saat ini sedang menempuh pendidikan jenjang Sekolah Dasar (SD) negeri di Cimenyan. Ia merupakan seorang Penghayat Kepercayaan Budi Daya. Namun, saat kegiatan belajar mengajar khususnya saat santri kilat (sanlat) Ramadhan tahun lalu, Eka diharuskan oleh guru untuk memakai jilbab.

“Pernah disuruh sama guru buat pake kerudung. Katanya buat menghargai teman-teman yang Muslim,” ujar Eka saat ditemui Suaka di kediamannya, Senin (29/7/2024).

Tak hanya itu, Eka juga pernah dipaksa gurunya untuk mengikuti kegiatan mengaji di sekolah yang dilakukan sekali dalam seminggu. Eka yang hadir di kelas diharuskan ikut menulis huruf Arab. Eka hanya bisa manut karena tidak bisa menjawab dan melawan perintah gurunya.

“Disuruh ikut. Disuruh nulis (huruf hijaiyah) sama guru,” katanya.

Candaan dari beberapa teman kelas juga harus diterima oleh murid penghayat kepercayaan. Tak jarang Eka disebut sebagai seorang Kristen dengan nada melecehkan. Mayoritas siswa sekolahnya merupakan pemeluk agama Islam.

“Ada beberapa temen sering meledek ‘Kristen! Eka Kristen!’  aku jawab, aku mah Kepercayaan bukan Kristen,” tegas Eka.

Berdasarkan catatan penyuluh penghayat kepercayaan Budi Daya di Cimenyan, Deti Kurniasih,  setidaknya sejak 2019 kasus perundungan kerap dilakukan beberapa guru dan teman sekelas. Tahun 2020 Deti bersama Direktorat Kepercayaan mendatangi sekolah untuk menyelesaikan masalah ini. Belum membuahkan hasil, diskriminasi masih terus terjadi hingga pergantian Kepala Sekolah (Kepsek).

Pada 2024 penyuluh dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) mendata kasus perundungan dari 2019 hingga Mei 2024. Tercatat ada 16 kejadian perundungan yang dilakukan oknum guru terhadap 5 orang siswa penghayat kepercayaan di SD tersebut. Setelah memperoleh data, pada Juni, Deti dan tim kembali menyambangi sekolah yang kemudian ditindaklanjuti dengan undangan bermediasi dengan para guru terduga pelaku perundungan.

“Kami melakukan kunjungan ke direktorat itu 2020 awal. Nah, setelah itu, Kepala Sekolah berkomitmen  tidak akan ada lagi diskriminasi ke siswa penghayat. Tapi 2020 itu kan pandemi, siswa memang enggak belajar di sekolah, jadi aman. Ternyata di 2023, empat siswa penghayat terus-terusan mengalami diskriminasi. Terakhir kami dan MLKI Jabar, melakukan teguran ke sekolah. Didata secara rinci nama siswanya dan pelaku gurunya,” ungkap Deti (29/7/2024).

Dari musyawarah itu, pihak sekolah berjanji kejadian serupa tidak akan terulang kembali. Namun yang membuat Deti geram adalah respon yang diberikan pelaku. Para guru ini berdalih, perkataan dan perlakuan yang diberikan kepada murid penghayat kepercayaan hanya sebatas candaan belaka tanpa maksud melakukan perundungan.

“Pas melakukan sosialisasi, kebetulan kan guru ngajinya ada, guru agamanya ada. Jadi mereka tuh nganggapnya sepele hal itu. Mereka berdalih hanya bercanda. Kalau memang iya, enggak mungkin siswa sampai nangis ketika bercerita. Tapi mereka bilang anak itu cuman melebih-lebihkan saja,” tutur Deti.

Sebagaimana banyak kasus serupa, detil perundungan ini memang sulit dibuktikan dan hanya menjadi adu kata-kata dan adu interpretasi antar pihak berlawanan. Ditinjau dari sisi relasi kuasa, posisi guru ke murid saja jelas tak setara sehingga wajar jika murid merasa tertekan.

Perbup Bandung Menjerat Siswa Penghayat

Bupati Bandung, Dadang Supriatna mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No.78 Tahun 2021 Tentang Pembelajaran Pendidikan Keagamaan menggantikan Perbup No.51 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pemberian Insentif Bagi Guru Ngaji. Dalam regulasi tersebut, setiap satuan pendidik tingkat SD dan SMP di Kabupaten Bandung harus menyelenggarakan sekolah mengaji.

Kegiatannya dilakukan minimal satu kali dalam seminggu dengan mendatangkan secara langsung guru ngaji yang sudah disetujui oleh pemerintah daerah. Adapun pengajaran yang diberikan yaitu pendalaman Al-Qur’an. Hal ini merujuk pada pasal 4 (1) yang berbunyi, “Materi yang diberikan dalam Program Sekolah Ngaji yaitu pengenalan dan pendalaman Al-Qur’an melalui kegiatan baca, tulis dan hafal Al Qur’an.”

Harapan mendapatkan pembelajaran yang inklusif dari pemerintah semakin terjal setelah adanya regulasi sekolah untuk kelas ngaji. Eka bersama murid penghayat kepercayaan Budi Daya lainnya semakin kencang mendapatkan diskriminasi. Diharuskan ikut kelas gaji, menulis huruf hijaiyah, hingga ucapan bernada sindiran yang diberikan guru ngaji. Bukan sekali dua kali, mereka disuruh memakai hijab dan belajar Islam.

Deti sebagai penyuluh sering mendapatkan pengaduan dari para muridnya perihal perlakuan berbeda yang diberikan gurunya. Deti menilai, regulasi yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Bandung menjadi momok diskriminasi yang terus dialami anak penghayat kepercayaan Budi Daya di daerahnya. 

“Di Kabupaten Bandung juga ada kurikulum ngaji. Jadi terpisah antara jadwal pelajaran agama Islam sama pelajaran ngaji. Siswa penghayat juga harus ikut nulis huruf Arab. Terus kalau yang lain sedang mengucapkan surat-surat seperti Al-Fatihah itu harus ngikutin gitu. Jadi guru mengharuskan, padahal kita sebagai penyuluh sudah memberikan tugas. Selain itu ada perbedaan perlakuan.  Ketika bertanya sesuatu kepada guru agama Islam, seringkali tidak dijawab, padahal pertanyaan umum saja, tidak ada hubungan dengan kepercayaan penghayat,” keluhnya.

Deti kembali melakukan mediasi dengan pihak sekolah pada Juni 2024, tepatnya sebelum pembagian raport. Disepakati murid penghayat kepercayaan tidak dilibatkan saat Pendidikan Agama Islam (PAI) dan sekolah ngaji. Dalam upaya menghilangkan diskriminasi terhadap murid penghayat, Deti meminta izin kepada kepsek untuk mengajar di sekolah kepada siswa penghayat kepercayaan saat jam ngaji. 

Awalnya, pihak sekolah menyanggupi permintaan Deti. Namun, setelah tahun ajaran baru 2024-2025, kepsek belum bisa memenuhi permohonan penyuluh itu dengan alasan sekolahnya belum mendapat izin dari Dinas Pendidikan (Disdik).

“Sebelum pembagian raport, kepala sekolah menyanggupi. Tetapi pas kemarin tahun ajaran baru itu, pihak sekolah belum bisa menyediakan ruangan untuk siswa penghayat agar penyuluh datang ke sekolah untuk mengajar. Katanya kepsek harus laporan dulu ke dinas,” kata Deti. 

Hak Pembelajaran Direnggut dari Penghayat?

Hak pembelajaraan sebetulnya wajib diberikan secara merata kepada seluruh warga negara, tak terkecuali penghayat kepercayaan Budi Daya. Adapun pemberian muatan pelajaran kepada siswa penghayat sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan. 

Pada pasal 3 Permendikbud No.27 Tahun 2016 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan dapat bekerja sama dengan organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha  Esa. Lalu pada pasal 4, pendidik memberikan pelajaran pendidikan kepercayaan sesuai dengan ajaran kepercayaan peserta didik. Dalam pemberian ilmu kepercayaan, anak-anak mendapat pengajaran hanya dari penyuluh penghayat.

Nyatanya, di sekolah, Eka tidak bisa mendapatkan pendidikan kepercayaannya dan justru diharuskan mengikuti pelajaran Islam. Buku pendidikan kepercayaan juga tidak disediakan pihak sekolah dan Disdik. Hanya dari Deti, Eka bersama murid penghayat lainnya memperoleh pengajaran kepercayaan. Dengan bermodalkan buku yang diberikan dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, setiap hari Minggu, Deti membekali pendidikan kepercayaan kepada anak-anak.

“Belum ada dari Disdik, Buku paket yang kami miliki baru kurikulum 2013, padahal kan sekarang sudah era kurikulum Merdeka Belajar,” ujar Deti.

Diskriminasi juga terasa ketika murid kelas 6 penghayat kepercayaan Budi Daya tidak mendapat lembar jawaban saat Ujian Sekolah (US) untuk mata pelajaran pendidikan kepercayaan.

“Jangankan buku, lembar kertas jawaban US saja tidak dikasih.  Siswa penghayat hanya bisa mengerjakan ujian di kertas soal yang dikasih sama penyuluh,” keluh Deti.

Ketidaktahuan Alasan Diskriminasi Berjalan

Pihak manajemen sekolah tampaknya masih gagap dalam mengelola keberagaman dan kegiatan belajar mengajar yang melibatkan siswa dari kelompok minoritas beragama.

Enok, Kepala Sekolah di sekolah Eka menyatakan tidak mengetahui adanya murid selain Muslim, khususnya penghayat kepercayaan Budi Daya karena baru menjabat pada 2022. Demikian pula guru PAI dan guru ngaji menyatakan tak tahu menahu tentang murid beragama lain.

Hal itu menjadi awal adanya perlakuan berbeda yang didapatkan murid penghayat kepercayaan di salah satu SD Negeri di Cimenyan. Tak hanya itu, setelah mengetahui adanya murid selain Muslim, ia dan guru agama Islam mengaku kebingungan memperlakukannya saat pelajaran agama.

Saat diwawancara Suaka, Enok mengatakan pihak sekolah khususnya guru PAI dan guru ngaji menjadi serba salah ketika jam pelajaran Agama Islam dan ngaji. Ia menyatakan, baik murid non-Muslim diminta keluar maupun tetap berada di kelas, pihak sekolah tetap saja bisa dituding melakukan diskriminasi.

“Kami (guru) bingung treatment-nya ke mereka. Disuruh keluar kesannya diskriminasi, tapi tetap di dalam kelas juga sama. Teman kelasnya bisa menganggap ‘ih si itu kenapa keluar?’ Tapi kalau di kelas mereka diam saja, sementara yang lainnya belajar agama Islam dan ngaji. Bingung kan?” katanya, Rabu (31/7).

Setelah adanya kunjungan dan musyawarah dari penyuluh penghayat kepercayaan Budi Daya, sekolah membuat kesepakatan bahwa saat pelajaran PAI dan ngaji, murid penghayat kepercayaan tidak diikutsertakan. Adapun usaha memfasilitasi penyuluh melakukan pembelajaran kepada murid penghayat di sekolah belum ditepati. Enok mengatakan belum adanya instruksi dari atasannya untuk menyediakan sarana khusus bagi pelajar penghayat mempelajari kepercayaannya.

“Kesimpulan terakhir, saya mau kasih tempat di perpustakaan. Setelah dipikir-pikir yang namanya memberikan prasarana itu kan berarti menyangkut birokrasi ya bukan pribadi. Saya belum lapor ke atasan. Kalau misal sudah ada surat perintah, saya juga pasti langsung memberikan tempat. Tapi kan belum ada. saya enggak mau sok tau aja memfasilitasi tanpa ada perintah dari atas,” jelas Enok.

Setiap ujian sekolah pendidikan kepercayaan memang tidak ada lembar jawaban yang diberikan kepada murid penghayat kepercayaan. Buku pendidikan kepercayaan pun belum disediakan dari sekolah. Pihak sekolah mengatakan bahwa kedua hal tersebut belum diberikan dari pihak Disdik.

“Belum, belum ada. Saya nunggu dari atas. Karena dari Dinasnya juga belum ada,” ujar Enok.

Diskriminasi Siswa Sunda Wiwitan di Cimahi

Pemaksaan dan diskriminasi yang dilakukan tenaga pendidik juga harus dialami Kamelia (bukan nama sebenarnya) salah satu penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan di Kota Cimahi. Ia mencoba kembali mengingat kejadian yang menimpanya saat duduk di bangku menengah pertama (SMP). Pada 2015 Kamelia bersekolah di salah satu SMP swasta Cimahi. Gurunya memaksanya membaca Al Quran dan melarangnya pulang sebelum bisa membaca dengan benar.

“Dulu pas aku sekolah SMP tuh dipaksa untuk membaca Al Quran. Kalau misalnya enggak bisa itu, enggak boleh pulang,” ujar sarjana olahraga ini kepada Suaka, Minggu (21/7/2024).

Di tahun yang sama, Kamelia pernah mendapat kekerasan secara fisik dari gurunya di sekolah yaitu dicubit oleh guru agama karena tidak bisa membaca Al Quran. Karena merasa sudah di luar batas, ia melaporkan kejadian tersebut pada pengurus organisasi Sunda Wiwitan. Setelah adanya laporan, pihak pengurus mendatangi pihak sekolah dengan memberikan teguran serta peringatan agar perundungan dan diskriminasi tidak terjadi lagi.

Salah satu warga juga pengurus setempat yang ikut membantu kasus Kamelia, Tri menyampaikan bahwa kejadian Kamelia bukan kali pertama terjadi. Perundungan dari guru maupun teman sekelas sering dialami pelajar-pelajar Sunda Wiwitan dan tak jarang membuat mereka tidak mau melanjutkan sekolah.

Tri menceritakan bahwa anaknya pun mengalami kejadian tak menyenangkan saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Anak sulungnya yang bersekolah di salah satu SMA swasta di Cimahi dibuat takut dan trauma oleh salah satu pembicara yang dihadirkan sekolah pada hari ketiga (17/7) MPLS. Waktu itu hadir pemateri untuk membahas mengenai toleransi dan kebhinekaan. Sayang, pembicaraan di dalamnya yang membuat anaknya merasa dipojokkan.

“Pas hari ketiga, anak Akang malam ngobrol. “Pak, tadi ada pemaparan tentang toleransi dan kebhinekaan. Katanya di dalamnya itu Kanggo naon nganggo ageman nu sanes ari tiasa ngadamel nyalira mah (Untuk apa menganut agama lain kalau bisa membuat sendiri)’. Perkataan itu katanya dia lihat dari televisi dan katanya orang sini yang bilang. Nah dari situ, temennya jadi banyak yang nanya ‘Bener gak agama kamu seperti ini?’” ujar Tri, Minggu (21/7/2024).

Ia mengaku geram dengan kalimat yang diujarkan oleh sang pemateri, terlebih informasinya tidak benar dan mengklaim pernyataan itu di keluarkan oleh orang kepercayaan Sunda Wiwitan yang satu daerah dengannya. Saat itu, pernyataan tersebut dikeluarkan dalam forum besar yaitu MPLS yang melibatkan satu angkatan, anaknya sebagai seorang minoritas menjadi tidak enak hati.

“Informasi yang belum dikonfirmasi kebenarannya langsung disebar luaskan. Narsumnya ngobrol ke anak-anak kelas 10 di acara MPLS, kan banyakan tuh, kalau misalkan untuk satu kelas anak saya akan beda ya. Tapi ini semua satu angkatannya tau dan informasinya kurang tepat tanpa konfirmasi seperti apa kepercayaan itu. Karena di forum besar, ya anaknya merasa disudutkan,” katanya.

Kata Tri selama di SMP, sang anak tak pernah menyampaikan keluhan apapun meski bukan berarti bebas sepenuhnya dari perisakan. Jika sampai mengadu bisa jadi memang karena sudah sedemikian terganggunya. Saat ini, anaknya menjadi satu-satunya siswa penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan angkatan 2024 di sekolah tersebut.

Sebagai seorang ayah dan pernah mengalami perundungan dari teman dan guru, Tri tidak mau hal itu terus dialami anaknya dan anak penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan lainnya. Ia tidak ingin sampai anaknya terus-terusan bergulat dengan ketakutan karena kepercayaannya, sebagaimana yang pernah dialaminya dulu.

“Ini tuh mengulang kejadian saya dulu. Kenapa saya berani menghadap ke sekolah anak?  Dulu mental saya down, sampai disuruh sekolah enggak mau. Saya pikir, anak lain bisa leluasa memikirkan mata pelajaran yang lain, sedangkan anak saya masih berkutat di masalah agama. Jadi enggak akan bisa berkembang, enggak akan bisa setara dengan yang lain,” kisah Tri.  

Setelah bermediasi, pihak sekolah menjamin tidak akan terulang kembali kejadian yang menimpa anaknya. Wakil Kepala Sekolah yang menjadi wali kelas anaknya memberikan penjelasan ke setiap kelas agar dapat menghargai orang dengan kepercayaan berbeda.

Buku Pendidikan Kepercayaan Belum Tersedia

Upaya menghilangkan tindakan diskriminasi dan kekerasan dalam lingkup sekolah terus dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan dikeluarkan Permendikbud No. 46 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Dalam peraturan itu, satuan pendidikan harus membangun lingkungan sekolah yang ramah, aman, inklusif, setara, dan bebas dari tindakan diskriminatif dan intoleransi. Tak hanya itu, sekolah pun membentuk Tim PPKS untuk mencegah diskriminasi.

Kepala Pengembangan Sekolah Dasar (PSD) Disdik Kota Cimahi, Ana Julia menyampaikan apabila terjadi diskriminasi, pihak sekolah harus menjamin dan mengatasi segala bentuk tindak kekerasan. Pemaksaan memakai hijab bagi semua agama dan keharusan ikut membaca Al Quran merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan. Maka dari itu, penting baginya membentuk TPPKS guna menyelesaikan kekerasan di sekolah.

“Enggak ada. Tidak ada harus memakai hijab. Semua sekolah di Kota Cimahi enggak (diwajibkan memakai hijab). Kalau itu terjadinya di sekolah. Mereka itu kan ada TPPKSP itu tadi. Karena yang disebut kekerasan itu. Bukan hanya masalah verbal. Tapi ada kekerasan di dalamnya juga masalah diskriminasi. Bisa diskriminasi karena suku, ras, gender. Bisa juga diskriminasi masalah agama. Jadi ditangani oleh pihak sekolah terlebih dahulu,” jelas Ana (12/8).

Namun Ana sebagai penanggung jawab sekolah tingkat SD di Kota Cimahi memang menyatakan  belum ada buku pendidikan bagi murid penghayat kepercayaan yang difasilitasi Disdik  dan bisa dibagikan.

Miris, masih panjang jalan bagi para siswa-siswi penghayat untuk dapat kesetaraan fasilitas pendidikan dengan rekan-rekannya yang beragama mayoritas. ***  

 

Tulisan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas