Lintas Kampus

Diskusi Ruang Alternatif: Skena Alternatif Sesungguhnya Milik Siapa?

Moderator membuka diskusi bertajuk “If I Can’t Dance, Its Not My Revolution, Skena Alternatif Sesungguhnya Milik Siapa?” di Balai RW Dago Elos, Kota Bandung, pada Rabu (26/7/2023). (Foto: Yopi Muharam).

SUAKAONLINE.COM – Festival Kampung Kota (FKK) kembali mengadakan diskusi bertajuk “If I Can’t Dance, Its Not My Revolution, Skena Alternatif Sesungguhnya Milik Siapa?” di pelataran Balai RW Dago Elos, Kota Bandung, pada Rabu (26/7/2023). Diskusi yang dipandu oleh Mario Iskandar ini, menghadirkan pembicara dari vokalis band Laxx, Sarma; dan pegiat kolektif Needle  Bitch, Tim Amsyong dan Tonki.

Diskusi kali ini didasari oleh fenomena skena atau ruang alternatif yang seharunya menjadi ruang inklusif dan aman bagi semua pihak. Namun pada kenyataannya, masih banyak ruang alternatif yang tidak ramah pada gender minoritas. Sebut saja sejumlah permasalahan yang acap kali terjadi di ruang alternatif ialah, dikesampingkannya peran perempuan hingga maraknya pelecehan seksual.

Hal tersebut disampaikan Sarma, yang mengatakan ruang alternatif dinilai belum benar-benar menjadi sebuah counter culture yang anti-dominasi. “Tapi, sampai hari ini mungkin, saya tidak pernah melihat adanya perubahan yang signifikan, bahwa di skena atau ruang alternatif itu adalah ruang yang aman,” tutur vokalis band hardcore punk saat memulai diskusi.

Lebih lanjut, ia menyampaikan perempuan di ranah skena hanya dipandang sebagai objek seksual. Hal tersebut membuat perempuan merasa tidak nyaman ketika berada di lingkup ruang alternatif. “Dan kebanyakan yang dialami perempuan juga di ruang alternatif, kita (perempuan) selalu dianggap objek seksual, kita selalu dianggap jadi pemanis,” lanjutnya.

Bagi Sarma, timbul keraguan mengenai ruang alternatif yang sedang berkembang saat ini. Ruang alternatif seharusnya menjadi kebalikan dari kondisi dominasi yang sering terjadi pada umumnya. “Di mana di dalamnya (Ruang Alternatif) kita bisa berjuang bersama dengan kaum perempuan, dengan gender minoritas yang lainnya. Semua elemen yang di sana tuh sebenernya harus bersama,” ujarnya.

Menyoal diskriminasi gender

Menambahkan pernyataan Sarma, Tonki menyampaikan bahwa selain keberadaan maskulinitas yang tinggi, agenda diskusi di ruang alternatif menurutnya jarang sekali mengangkat isu-isu terkait kesetaraan. Hal tersebut menyebabkan orang-orang dengan gender minoritas enggan ikut ke dalamnya. “Karena mereka merasa, ini hanya skena musik saja yang ada dalam Ruang Alternatif ini,” ungkapnya.

Menurut Itonk begitu sapaan akrabnya, ruang alternatif seharusnya bisa menjadi wadah bersama untuk menggerakkan isu kesetaraan. Ruang alternatif sudah sepatutnya menjadi ruang aman bagi kaum Queer. Untuk mendapatkan hak yang setara, Itong menyampaikan harus bergerak bersama-sama.

“Dan saya merasa reklame our right kita harus bareng-bareng gitu, apalagi di ruang alternatif pastinya banyak sekali identitas. Dan saya merasa ketika berjuang bareng akan semakin mudah,” tutur Itonk.

Dalam sebuah gigs, sudah seharusnya menjadi ruang yang inklusif bagi semua pihak. Terkait gender minoritas contohnya. Itonk membeberkan ceritanya ketika berada di Jogja. Ruang alternatif di Jogja menurutnya sudah mulai sadar akan isu gender minoritas, dalam sebuah gigs anti-homofobia dilarang keras berada di lingkup skena Jogja.

“Baru belakangan ini ada gigs-gigs yang mereka memunculkan bahwa anti-homofobia, daripada ‘lo homofobia mending gausah dateng sekalian’. Dan itu baru 2-3 tahun terakhir saya liat ketika di jogja. Tapi gatau kalo di ruang-ruang lain apakah itu sudah ada atau belum,” lanjutnya.

Menurutnya ruang inklusif dalam sebuah skena harusnya menghindari budaya patriarki dan maskulinitas. Tetapi, Itonk menyayangkan budaya tersebut masih melambung tinggi di ruang yang menurutnya terbuka.

“Bahwa maskulinitas masih sangat tinggi di sini (ruang alternatif) dan cenderung melambungkan tinggi budaya partriaki di dalemnya. Masih aga sedikit eksklusif menurut saya, karena banyak temen-temen queer akhirnya segan untuk masuk ke dalam ruang alternatif ini,” katanya.

Hal tersebut diamini Sarma ketika dirinya datang ke gigs. Acap kali Sarma melihat bahkan merasakan bahwa laku-laki selalu mendominasi. Terlihat, ketika perempuan datang ke gigs selalu dianggap lemah bahkan dinarasikan harus dilindungi. Menurutnya ini sikap yang berlebihan dan justru menunjukkan maskulinitas.

“Ketika berada di ruang alternatif pun, kita dikelilingi oleh mayoritas gender laki-laki yang bahkan melemahkan kita (perempuan) yang sangat maskulin atau macho,” ungkapnya.

Harus Ada Resolusi Konflik Dalam Sebuah Skena

Melihat maraknya pelecehan dan kekerasan seksual terjadi di lingkup skena, hal ini menunjukkan bahwa ruang alternatif tidak cukup aman bagi sebagian gender. Seperti yang Sarma ungkapkan sebelumnya, perempuan selalu menjadi objek seksual di lingkup skena. Tentunya bagi semua yang ambil andil di ruang alternatif harus mempunyai resolusi agar menciptakan ruang aman bagi berbagai gender.

Menanggapi hal tersebut, Tim Amsyong memberikan saran bagaimana acara-acara musik yang diselenggarakan skena alternatif dapat menyediakan rasa aman dan nilai yang berharga. Menurutnya, penting bagi organizer, panitia, dan penampil untuk dapat menyampaikan value serta aturan yang jelas kepada hadirin, baik melalui tanda, selebaran, atau disampaikan langsung di atas panggung.

“Jadi si penampil (dan) si organizer itu mengumumkan di acara, di panggung juga semua. Walaupun secara berulang itu harus dilakukan, bahwa ini adalah ruang aman, safe space, semua orang bisa moshing,” ucap Tim Amsyong.

Lalu, ketika ada pelecehan seksual terjadi, hal yang harus diutamakan adalah melindungi korban. “Jadi dipastikan dulu perempuan ini, siapa pun yang mengalami pelecehan atau mengalami kekerasan atau ada berantem itu kita tahu, ada timnya,”

Terkait penindakan kasus pelecehan seksual di gigs, sering kali laki-laki yang mendominasi untuk menghakimi pelaku. Menurut Amsyong hal tersebut dinilai bahwa perempuan dicap sebagai orang yang tak berdaya. Seharunya dalam penindakan pelaku pelecehan seksual, korban juga harus dilibatkan.

“Ini juga salah satu kritik saya, ya, kalau kayak gitu juga enggak bikin perempuannya berdaya loh. Tanya dulu sama dia (perempuannya), maunya apa. Jangan (di) semua (situasi) menganggap perempuan itu ingin diwakilin atau pengen dibantu,” ungkapnya.

Terlebih ketika ada kasus pelecehan seksual di gigs, Amsyong menegaskan untuk tidak dianggapnya sebagai drama. Sebab, kaum minoritas yang kerap jadi korban pelecehan atau kekerasan seksual merasa tidak nyaman berada di ruang alternatif.

“Itu benar-benar tolong deh ya, jangan dianggap drama dan jangan di pinggirkan kalau kayak gitu. Yang ada nanti semakin banyak teman-teman yang diminoritaskan ini cabut karena enggak percaya, enggak nyaman,” tegasnya.

Reporter : Yopi Muharam dan Kinanthi Zahra/Suaka

Redaktur : Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas