Opini

Dituntut Kehadiran, tetapi Penuntut Tidak Hadir dalam Perkuliahan

Ilustrasi: Selinda Jauza/Suaka

Oleh: Azri Syahrul Fazri*

Sebuah fenomena yang acapkali mahasiswa alami, melakukan kontrak perkuliahan dengan dalih menjalin kesepakatan. 75% toleransi kehadiran seringkali digaungkan oleh dosen-dosen agar mahasiswa bisa terus mengikuti mata kuliah yang ia ampu. Sebagai tenaga pendidik, dosen berkewajiban tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menuntun mahasiswanya agar bisa memahami konteks keilmuan yang disampaikan (Tasbih, 2021).

Sebagai objek sekaligus subjek yang dijadikan fokus penerima pemahaman dan pengetahuan dalam perkuliahan, mahasiswa memiliki kewajiban untuk senantiasa berpartisipasi dalam dinamika tersebut. Tidak hanya memiliki kewajiban, mahasiswa pun memiliki hak untuk menyampaikan dan menerima berbagai kajian keilmuan yang para dosen sampaikan. Mengingat, esensi dinamika yang dibangun perlu juga ditempa oleh perspektif dan sudut pandang pendidik (dosen) agar membuka cakrawala mahasiswa dalam memahami kajian keilmuan yang diampu.

Kembali pada kontrak perkuliahan, melalui poin dalam unsur kehadiran seringkali menjadi tuntutan tersendiri bagi mahasiswa. Jika dikaji secara intens memang aturan tersebut memiliki landasan rasional yang bertujuan mengikat keseriusan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan. Poin mengenai kehadiran ini secara tidak langsung menuntut mahasiswa agar bisa memprioritas perkuliahan di atas kepentingan lain dan mahasiswa bisa berlanjut (continues) tingkatan ke semester berikutnya.

Setelah komisariat mahasiswa (kosma) menandatangani kontrak perkuliahan, itu artinya serangkaian peraturan yang disepakati harus dipatuhi, termasuk tuntutan kehadiran bagi mahasiswa. Namun, selaku mahasiswa kita sering melupakan salah satu hal yang membuat jengkel. Sadar atau tidak, kita sedang bertaruh dengan kesepakatan dan tuntutan kehadiran dari para dosen pengampu mata kuliah.

Jika kita pahami secara seksama, kesepakatan itu hanya bersifat simbiosis parasitisme (merugikan salah satu pihak). Mahasiswa menjadi objek yang dirugikan, mengingat aturan mengenai kehadiran hanya ditekankan pada mahasiswa saja, tetapi tidak dengan sebaliknya. Dosen justru hanya memberikan warning kepada mahasiswa agar bisa terus hadir di mata kuliah yang ia ampu, dengan dalih jika ingin mendapat nilai A harus hadir sesuai aturan yang berlaku.

Bagi mahasiswa UIN SGD Bandung, hal semacam ini sudah menjadi fenomena dan realita sosial. Tuntutan kehadiran seolah menjadi kekhawatiran mahasiswa tidak lulus mata kuliah yang diampu dosen tertentu (Savitri & Swandi, 2023). Perlu diketahui, mahasiswa tidak hanya terdiri dari mahasiswa yang hanya fokus akademik di kelas saja, ada pula mahasiswa yang aktif dalam organisasi-organisasi kampus. Begitu pun dosen, ia tidak hanya bertugas memberikan pengajaran di kelas, lebih dari itu dosen-dosen pun memiliki banyak kesibukan lain baik itu sebagai pejabat di kampus maupun stakeholder di eksternal kampus.

Sangat disayangkan jika aturan yang dibuat hanya mengikat dan menuntut mahasiswa saja. Ketika mahasiswa sering tidak masuk kelas, dosen memberikan warning dengan tuntutan beragam, seperti tidak bisa ikut Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), ataupun dipastikan mendapat nilai Cukup atau kurang dari itu. Dalam benak penulis muncul pertanyaan, bagaimana bisa mahasiswa dituntut hadir dalam perkuliahan, tetapi dosen bisa dengan seenaknya tidak hadir dalam perkuliahan?

Mahasiswa yang tidak hadir dalam perkuliahan terancam dengan berbagai konsekuensi, sedangkan dosen yang jarang hadir dalam perkuliahan adalah hal yang patut di wajari? Padahal dalam per-Tahun Studi (TS), dosen diwajibkan membuat Laporan Kinerja Dosen (LKD) dan Beban Kerja Dosen (BKD) yang nantinya dilaporkan ke pihak jurusan, program studi (prodi), atau fakultas. Salah satu yang dilaporkan dalam laporan-laporan tersebut adalah kehadiran dosen itu sendiri.

Maka muncul sebuah pertanyaan kembali, lalu bagaimana dosen yang jarang hadir, bukankah seharusnya laporan kinerjanya buruk? Atau apakah ada tindakan non-etis yang dilakukan untuk mengakali kehadirannya? Jika hal demikian terjadi, apa memang hal tersebut lazim di lingkungan civitas akademika UIN SGD Bandung?

Perlu ditekankan, bahwa mahasiswa tidak hanya berkewajiban menaati peraturan berupa kehadiran, akan tetapi mahasiswa pun memiliki hak menerima pengajaran, pemahaman, dan bimbingan dari dosen-dosen pengampu mata kuliah di kampus tercinta ini. Jadi bagaimana bisa mahasiswa dituntut kehadiran, tetapi penuntut tidak hadir dalam perkuliahan?

Berbagai pertanyaan kritis muncul di pikiran kita sebagai mahasiswa. Sebuah keresahan mengendap dalam tanah gambut dengan pemandangan sistem yang semrawut. Menyaksikan ketimpangan konsekuensi di mana salah satu masih bisa diakali pemilik regulasi (Glaeser, 2005). Dituntut dan diikat dalam kesepakatan tanpa prinsip keadilan. Regulasi yang disepakati memiliki kerentanan di politisasi.

Miris memang, tetapi hal ini perlu menjadi refleksi. Konsistensi dalam regulasi dan kesepakatan mesti menjadi tanggung jawab moral yang mesti dievaluasi (Ripanti, 2020), sehingga apa yang menjadi hak dan kewajiban mahasiswa, dosen, maupun pemangku kebijakan bisa berkorelasi dan menguntungkan antar sisi. Sebagai realisasi prinsip keadilan dan kesetaraan di kampus, kesepakatan dan konsekuensi menjadi value yang mesti di pegang oleh masing-masing (Izzati & Affa, 2023). Dengan demikian, demi terciptanya lingkungan akademik yang sehat, inklusif, dan merata sudah semestinya kritik mahasiswa diterima sebagai kerangka dalam membentukan kebijakan yang berkeadilan.

*Penulis merupakan Mahasiswa UIN SGD jurusan Sosiologi semester lima yang merupakan Juara 1 lomba menulis Opini dalam lomba kejurnalistikan yang diadakan oleh LPM Suaka dalam rangkaian Milad ke-37 Tahun

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas