Kampusiana

Dokumenter “Dago Elos Never Lose”, Kisah Bertahan Hidup dari Rezim Penggusuran

Warga Asli Dago Elos, R. Kusnady sedang memaparkan kronologis terjadinya sengketa tanah Dago Elos oleh keluarga Muller di tanggal 14 Agustus silam pada Diskusi Publik di Aula Student Centre, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Kota Bandung. Selasa (7/11/2023). (Foto: Akhmad Ridlo Rifa’i/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) menggelar diskusi publik di Aula Student Center lt. 1, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Selasa (07/11/2023). Bertajuk “Upaya Mempertahankan Ruang Hidup di Tengah Rezim Penggusuran” menceritakan perjuangan warga Dago Elos mempertahankan ruang hidup dengan berbagai tindak kekerasan.

Dimulai dengan penampilan hiburan solo vokal dan penayangan film dokumenter bertajuk “Dago Elos Never Lose”. Film tersebut memaparkan aspirasi serta kehidupan warga Dago Elos setelah mengetahui tanahnya ingin digusur oleh dua pihak, yakni keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha. Solidaritas warga tergambar jelas dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan tanah mereka.

Salah seorang warga Dago Elos, Kusnady, menceritakan mengenai peristiwa yang terjadi di Dago Elos 14 Agustus 2023 kemarin. Pada awalnya, munculnya kerusuhan berakar dari warga Dago Elos yang ingin mengajukan pelaporan ke Polrestabes Bandung terkait dugaan pemalsuan ahli waris yang dilakukan oleh keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha. Namun sayangnya, pelaporan oleh perwakilan 4 warga Dago Elos tersebut tidak diidahkan oleh pihak kepolisian.

Akibatnya, warga Dago Elos merasa bingung, pelaporan mereka sulit sekali untuk menempuh jalur hukum. “Jangankan memproses, menerima saja Polres itu tidak mau, itu cukup alot, kita datang dari jam 10 pagi, selesai-selesai itu jam setengah 8 malam tanpa hasil sama sekali,” ungkap Kusnady dengan kecewa, Selasa (07/11/2023).

Salah satu tim advokasi Dago Elos dari LBH Bandung, Heri Pramono juga mengatakan alasan dibalik kemarahan warga Dago Elos, sehingga ada pembakaran ban dan berorasi di sekitar Polrestabes Bandung adalah karena kekesalan kumulatif dari beberapa laporan dan bukti-bukti yang dibawa oleh warga ke kepolisian. Kendati begitu, laporan tidak pernah diterima lagi sejak Peninjauan Kembali (PK) kepemilikan tanah Dago Elos bagi keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha diakui.

“Karena bagi kami, kami melihat ada, sudah terang benderang, sudah jelas ada bukti-bukti bahwa ya ini adalah melakukan tindak pidana penipuan, makanya tanggal 14 kemarin kenapa itu kita semarah itu ya karena kita kurang apalagi, warga udah beberapa kali melapor, bukti-bukti udah ada,” jelas Heri.

Heri manambahkan, tim advokasi Dago Elos juga merasa aneh dengan PK Maret 2023 yang menyetujui hak tanah Dago Elos seluas 6,9 hektar dimiliki oleh Keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha. Padahal pada tahun 2019 majelas hakim sudah menilai bahwa Eigendom Verponding keluarga Muller sudah tidak berkekuatan hukum, karena sudah tidak berlaku jika tidak dikonversikan paling lambat pada 24 September 1980.

Ia menilai, ini merupakan suatu kerancuan, “Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah menguasai secara fisik itu bisa mengklaim lahan yang luasnya 6,9 hektar, bagaimana mungkin dia hanya mengakui klaimnya atas dasar kepemilikan yang diakui waktu zaman kolonial Belanda,” jelasnya.

Merespons pernyataan Heri, Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI, Vatov menilai bahwa sengketa tanah di Dago Elos ini hanya beralaskan untuk investasi saja, tanpa memikirkan nasib warga yang tinggal dan menggantungkan hidup di dalamnya. “Ketika warga Dago Elos itu digusur, diihilangkan hak hidupnya, lantas kemana mereka, emang negara se-bertanggung jawab apa sih,” ungkapnya.

Warga Dago Elos hanya ingin keadilan, hak-hak atas hidupnya dipenuhi oleh negara. Berbagai macam tindak represif yang membuat luka fisik dan psikis sudah dialami oleh warga Dago Elos pada peristiwa 14 Agustus lalu. Rumah didobrak secara paksa, penembakan gas air mata yang sudah kadaluwarsa, perusakan barang-barang yang dilakukan oleh polisi di kediaman mereka menjadi suatu peristiwa yang tidak akan dilupakan oleh para warga.

“Dengan perlengkapan mereka (polisi) dari atas sampe bawah yang fully shield, saat itu saya berpikir, ini mau diapain ya, mereka mau ngapain kesini, sampe segininya, emang kita melakukan apa, satu hal yang kita mau, hanya pelaporan aja kok,” kata Kusnady.

Warga Dago Elos sangat menyayangkan sikap kepolisian yang kurang manusiawi tersebut, terlebih polisi-polisi tersebut tidak membawa surat perintah pada saat datang ke Dago Elos dan melakukan tindak represif.

Semenjak kerusuhan yang terjadi pada 14 Agustus tersebut, warga Dago Elos beserta tim advokasi berangkat ke Jakarta untuk melaporkan kejadian tersebut ke lembaga-lembaga terkait demi menegakkan hak-hak dan mempertahankan tanahnya. “Alhamdulillah kita bawa angin segar, ada kata-kata manis yang bisa kita pegang dari para pejabat-pejabat di Jakarta ini,” ungkap Kusnady.

Lebih lanjut, Heri mengungkapkan bahwa tim advokasi Dago Elos akan terus memperjuangkan hak warga Dago Elos atas tanah tempat tinggalnya dan terus berupaya untuk mengadili keluarga Muller terkait dugaan penipuan hak tanah. “Keluarga Muller ini pertama dia penipu, terus nipunya juga di pengadilan, terus hasil nipunya tuh dia mengklaim tanah itu adalah tanahnya dia sehingga menurut posisi warga ini adalah praktek perampasan ruang hidup,” jelasnya.

Reporter: Nadia Ayu Iskandar/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas