Oleh: Aida Kania Lugina
Perjuangan heroik Bung Tomo beserta para pejuang lain pada 10 November 1945 menjadi momen bersejarah yang dikenal sebagai hari Pahlawan. Kini, peringatan Hari Pahlawan Nasional ke-64 menjadi peristiwa sakral untuk mengenang kembali jasa-jasa mereka sebagai sosok teladan untuk para generasi penerusnya.
“Peringatan 10 November sebagai pengingat bahwa kita generasi muda harus berjuang seperti para pendahulu kita. Bukan dengan perang, tapi dengan cara yang kondisional pada zaman sekarang,” ujar Irfan Firdaus, mahasiswa jurusan Bahasa Sastra Inggris.
Menurut dosen Ekonomi di Fakultas Syari’ah UIN Sunan Gunung Djati Bandung Setia Mulyawan, makna leksikal pahlawan adalah orang yang secara gagah berani berkorban membela kebenaran. “Pertanyaannya, kebenaran menurut versi siapa? Kalo pertanyaan SUAKA dikaitkan dengan hari Pahlawan 10 November, itu berarti makna kata. Pahlawan terkait dengan Nasionalisme, maka pahlawan bisa jadi adalah mereka yang secara gigih berjuang melawan penjajah (Belanda, Jepang). Jadi, dalam contoh ini, pahlawan menurut Bangsa Indonesia bisa jadi menjadi penjahat menurut versi orang Belanda atau Jepang pada masa itu. Namun, dalam konteks sekarang saya lebih suka memaknakan kata pahlawan sebagai orang yang rela berkorban untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang banyak,” kata Setia.
Setia menambahkan, dalam terminologi Islam pahlawan sama dengan mujahid yang dengan kesungguhan berjuang untuk menjadikan masyarakat yang lebih baik. “Jadi kriterianya ada dua, berjuang dengan sungguh-sungguh dan perjuangannya itu untuk kebaikan atau kemaslahatan ummat,”
Saat ditanya mengenai sosok pahlawan yang dikagumi, Setia Mulyawan menuturkan rasa kagumnya terhadap figur Nabi Muhammad SAW. “Saya mengagumi figur Nabi Muhammad yang menurut catatan sejarah Islam telah berjuang pantang menyerah untuk kemaslahatan ummatnya, tidak hanya bagi ummat pada masanya, tapi bahkan sampai akhir zaman. Beliau Pahlawan paling nyata dalam keyakinan religi saya,” jelasnya.
“Terkait dengan 10 November, selain saya mengagumi founding father Bung Karno dan Bung Hatta. Saya juga mengagumi Bung Tomo sebagai Pahlawan. Perannya paling sentral dalam penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan, walapun gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo baru diberikan pemerintah pada 2008 yang lalu,” lanjut Setia.
Nanat Fatah Natsir, pahlawan?
Selain itu, menurut pandangan Setia, rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung Nanat Fatah Natsir pun merupakan pahlawan. “Dalam pengetahuan saya yang terbatas tentang personality beliau, saya meyakini ada ghiroh perjuangan dalam figur pak Nanat. Dalam sudut pandang saya, dalam kapasitasnya sebagai rektor, beliau berjuang untuk menjadikan UIN menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Artinya, ada jiwa pahlawan dalam diri beliau.”
Namun, Nanat sendiri tidak sependapat dengan pandangan tersebut. “Jangan sebut saya pahlawan! Rektor saja, karena pahlawan biasanya orang yang sudah meninggal. Kalau saya berarti masih pejuang,” ujar Nanat.
Sedangkan menurut Dian, jika rektor diartikan sebagai guru, maka Nanat bisa disebut pahlawan xx1toto . Namun, ada faktor lain yang ikut menjadi indikator kepantasan Nanat Fatah Natsir disebut pahlawan. “Contohnya, hingga saat ini rektor belum dapat merealisasikan janji-janjinya. Karena itu jika ditinjau dari pertanggungjawaban dalam memenuhi janji-janjinya, Pak Nanat belum bisa disebut pahlawan,” kata mahasiswa jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi ini.
(Kru Liputan : Aida, Tina, Iqmah, Wicak, Dewi, Husna, Agus, Lina, Hilmi, Nora)**