Jurnalisme investigasi banyak dibicarakan dalam setiap perbincangan dan diskusi, tapi jarang sekali dilakukan secara praktik. Karena itu, saat ini ia masih jadi barang mewah di negeri ini. Demikian yang diungkapkan Dhandy Dwi laksono dalam acara Diskusi dan Bedah Buku yang diselenggarakan Jurusan Jurnalistik, Sabtu (06/11). Diskusi berlangsung di ruang sidang lantai II Al-Jamiah dengan menghadirkan dua pembicara, Dhandy Dwi Laksono selaku penulis buku Jurnalisme Investigasi, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik AS Haris Sumadiria serta Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Enjang Muhaimin sebagai pembanding.
Menurut Dhandy, buku tersebut dibuat atas permintaan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) yang risau karena setelah 15 tahun, belum ada buku panduan mengenai jurnalisme investigasi untuk wartawannya. “Lalu saya yang saat itu sedang menganggur ditawari untuk menyusun modul,” tuturnya mengawali diskusi.
Dandy memaparkan kondisi media saat ini. Menurutnya, produk berita jenis investigasi di negeri ini sudah sangat langka. Kebanyakan wartawan hanya ingin cari aman dengan cara kerja berangkat pagi pulang malam sehingga pada akhirnya masyarakat hanya mendapat informasi, tapi tidak mendapatkan pelajaran di dalamnya.
Kasus-kasus pemberitaan di Indonesia, kata Dandy, tidak pernah ada yang selesai. Kasus Bank Century belum selesai tiba-tiba saja media beralih ke masalah terorisme, lalu kasus video porno Ariel Luna, kemudian terakhir bencana Merapi. Terus menerus seperti itu. Bahkan, kasus-kasus terdahulu seperti lumpur Lapindo atau pelanggaran HAM Munir pada akhirnya hanya jadi peringatan dan acara tabur bunga belaka.
Menurut Dhandy, kebanyakan wartawan lebih memilih bekerja sebagaimana biasa, pergi pagi pulang malam mengejar deadline, sedangkan dalam liputan investigasi sifatnya menggantung. Proyek berita bisa jadi tidak berhasil sedangkan risiko jiwa dan materi dipertaruhkan. Deadline tidak jelas karena sebuah investigasi berakhir jika permsalahan terkuak. Wartawan senior tidak pula mengisi kekosongan menulis laporan investigasi. Kebanyakan mereka memilih jadi penulis atau dosen.
Dalam diskusinya, Dhandy juga menjelaskan, hal yang tak jauh berbeda terjadi pada para calon jurnalis yang terdiri dari mahasiswa dan pemuda-pemuda yang diarahkan ke dunia kejurnalistikan. Telah terbentuk anggapan bahwa wartawan sukses adalah mereka yang bisa tampil di layar kaca menjadi presenter. Sehingga setelah selesai studi, kebanyakan mereka langsung terjun ke hadapan layar kaca. Padahal, para presenter semisal Najwa Shihab pada awalnya menempuh perjalanan kejurnalistikan yang tidak mudah.
Haris selaku panelis dua juga tak menampik terjadi degradasi di kalangan wartawan. Menurutnya, salah satu penyebab adalah adanya konvergensi media, moralitas masih jadi persoalan dan media telah bergeser dari idealisme mengarah pada komersialisme, dipenuhi banyak kepentingan. Berita sekarang sifatnya situasional.
Haris juga mengungkapkan harapan agar para mahasiswanya bisa banyak mengambil pelajaran dari diskusi ini. ”Tujuan diadakan acara ini agar mahasiswa jurnalistik pada khususnya memperoleh nilai-nilai edukasi dan inspirasi dalam rangka mencari dan menerapkan ilmu kejurnalistikan.”
Beberapa hal menarik terjadi saat diskusi. Saat giliran Haris berbicara, ia langsung mengutarakan kritikan tentang harga buku yang dinilai tidak sesuai dengan kantong mahasiswa UIN Bandung. Kritikan itu ia tujukan pada pihak Mizan yang saat itu menjadi sponsor acara. Tak diduga, pihak Mizan tanggap. Pukul 10.59, saat Haris tengah memaparkan tanggapannya tentang buku, Mizan mengumumkan memberi diskon 25% sehingga harga menjadi 45ribu saja. Pengumuman yang tiba-tiba itu disambut sorak audiens.
Hal kedua, saat sesi tanya-jawab. Lima penanya yaitu Toni, Nurma, Siti, Indra dan Dhani terpilih. Dandy sedikit membuka fakta dibalik beberapa kasus yang pernah booming di Indonesia, yang ternyata banyak hal yang disembunyikan berkaitan dengan kepentingan penguasa. Sayangnya, audiens diminta kerjasamanya untuk tidak merekam dalam bentuk suara atau gambar. []Sonia Fitri/Suaka