SUAKAONLINE.COM – Dalam rangka memperingati hari lahir yang ke-5, Community of Santri Scholars of Ministry of Religius Affairs (CSSMoRA) menggelar acara seminar nasional dan bedah buku Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam pada Rabu, (10/10/2018) di Aula Abdjan Soelaeman UIN SGD Bandung. Dengan tema “Manifestasi Tasawuf Dalam Keberagaman Nusantara”, acara ini dihadiri oleh penulis buku Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam, Nursamad Kamba, Pakar Neurosains Jalaludin Rakhmat, dan Bapak Psikoterapi Islam, Hanna Djumhana Bastaman dengan moderator dari alumni CSSMoRA Muhammad Naufal Waliyuddin.
Dimulai dengan bedah buku karyanya, Nursamad Kamba memaparkan bahwa buku Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam ini dibuat untuk konstruksi pembenahan dari karakter mahasiswa di zaman sekarang yang hanya bungkam dengan keputusan dari pemerintah tanpa melakukan penolakan.
“Seperti, lembaga Islam terbesar di Indonesia mengeluarkan fatwanya untuk mengharamkan satu perbuatan, yang seharusnya mahasiswa lakukan adalah menganalisis apakah fatwa itu benar atau tidak bukan malah langsung menuruti fatwa itu,” ungkapnya.
Dalam buku ini, ia juga menjelaskan bagaimana seharusnya mahasiswa dalam bersikap. Karena ilmu tasawuf akan semakin meningkat, maka kekuasaan Allah SWT juga akan semakin meningkat. Benahi diri dengan tetap menghadirkan sikap dan sifat yang eksklusif, melakukan sesuatu sesuai dengan syari’atullah, juga tetap mengunggulkan akhlak rahmatan lil’alamiin. Dengan begitu terciptalah karakter mahasiswa yang sesungguhnya tanpa merugikan orang lain.
Dalam topik pembicaraan berikutnya Pakar Neurosains, Jalaludin Rakhmat menyampaikan Tasawuf versus Mentalitas Keberagaman Millineal. Tasawuf dalam masyarakat milenial seperti sekarang adalah masyarakat yang mudah menilai sesuatu yang akan menimbulkan banyak gangguan. Yaitu Narcissistic Personality Disorder (NPO), dimana orang akan semakin merasa narsis atau percaya diri terhadap sesuatu. Secara personal merasa dirinya spesial hingga bisa memanfaatkan orang lain untuk kepentingannya dan memiliki sifat iri hati.
Menurut pria yang akrab disapa Kang Jalal itu, orang NPO ini cenderung ortodoks merasa paling benar dan sempurna bahkan merasa dirinya adalah manusia pilihan yang diciptakan Tuhan. Dan biasanya mereka memiliki kebiasaan beragama yang heboh, menunjukkan hal kecil menjadi besar hingga suka dengan keramaian karena disana mereka yang kecil terlihat besar. Hal itu berbanding terbalik dengan Tasawuf yang lebih memilih keheningan dengan hanya ditemani Tuhan yang Maha besar.
“Narsistik ini cenderung ortodoks, karena merasa menjadi manusia pilihan Tuhan yang paling sempurna. NPO suka dengan keramaian karena mereka yang tidak memiliki kemampuan apa-apa menjadi besar dengan omongan mereka yang merasa paling benar, contohnya di kegiatan aksi. Sementara Tasawuf itu ketenangan dan keheningan bersama Tuhan. Kalian menitihkan air mata kalian karena letihnya hati saat keheningan tercipta,” Jelasnya.
Ia juga mengklasifikasikan keberagaman Tasawuf dalam era digital saat ini, Creed (kepercayaan), Code (kode) dan Compassion (kasih sayang). Salah satunya dengan membandingkan perbedaan antara sifat beragama intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik adalah cara beragama dengan Creed karena melakukan penghayatan agamanya berdasarkan agama itu sendiri.
“Sedangkan ekstrinsik itu sebaliknya, mereka menggunakan agama untuk kepentingan mereka saja. Dan menurut saya terdapat dua jenis Shufi dalam hidup, pertama Ujung-ujungnya Duit (UUD) dan Ujung-ujungnya Seks (UUS),” paparnya.
Terakhir giliran Bapak Psikoterapi Islam Hanna Djumhana Bastaman yang menyampaikan materi Logoterapi Indonesia ”Menemukan Hidup dan Membangkitkan Hidup Bermakna”. Ia beranggapan bahwa Tasawuf adalah sebagai motor dalam psikologi, begitu cepat dan mudah seimbang. Psikologi tanpa Tasawuf menurutnya kurang pas karena dalam Tasawuf, Psikologi diperkuat dengan perintah dari Allah SWT dalam ketenangan disertai kehadiran-Nya dihati manusia.
Dalam analoginya, manusia adalah penyair yang memamerkan syair tidak bernilainya dihadapan Kong Huchu. Sehebat apapun penyair itu, akan tetap tidak berharga dimata Kong Huchu karena semua syair telah disampaikannya. “Dalam sejarah cina kuno, Kong Huchu adalah manusia serba tahu. Dan saya merasa seperti penyair yang memamerkan syairnya didepan mereka. Tak ada arti apa-apa meskipun saya susah payah menciptakannya.” pungkas Hanna.
Reporter : Lia Kamilah
Redaktur: Elsa Yulandri