
Ilustrasi: M. Shibgoh Kuncoro P/Suaka
SUAKAONLINE.COM- Langit Bandung masih berselimut kabut tipis ketika Suaka melangkah ke gedung rektorat, Selasa pagi (4/3/2025). Udara di sekitar Kampus I UIN SGD Bandung terasa lebih lengang dibanding hari-hari biasa. Suara gema Gedung Rektorat yang mulai sepi turut menjadi latar bagi pertemuan dengan Wakil Rektor Bidang Akademik, Dadan Rusmana.
Di ruangannya yang berisi tumpukan berkas akademik, Dadan baru saja selesai berbincang dengan perwakilan Klinik Pratama UIN SGD Bandung. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tetap menyambut dengan hangat. Pembicaraan langsung mengarah pada surat edaran rektor yang ramai diperbincangkan mahasiswa.
Kebijakan ini, katanya, bukan kewajiban. Surat bertanggal 10 Februari 2025 itu hanya memberi kelonggaran bagi dosen dan mahasiswa untuk menyelenggarakan kuliah daring hingga 30 persen dari total pertemuan semester. Dalam rentang 27 Februari hingga 8 April, mereka boleh memilih lima dari 16 sesi perkuliahan untuk dilakukan secara online.
Lanjunya, kampus mempertimbangkan berbagai faktor sebelum menerapkan aturan ini. Tidak hanya soal efisiensi penggunaan fasilitas, tetapi juga fleksibilitas bagi mahasiswa yang terlambat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Bulan Ramadan yang jatuh di tengah semester juga menjadi alasan di balik kebijakan ini. Kampus ingin memberikan ruang bagi mahasiswa untuk tetap belajar tanpa harus terlalu sering bolak-balik ke kelas.
Namun, perkuliahan daring bukan satu-satunya opsi. Mahasiswa dan dosen bisa memilih dari tiga skema: kuliah tatap muka penuh, sistem hybrid dimana sebagian mahasiswa hadir di kelas dan sebagian lainnya mengikuti dari layar, atau kuliah online sepenuhnya. Tetapi, ada syaratnya. Setelah minggu pertama, semua sistem harus kembali ke perkuliahan luring untuk memastikan efektivitas pembelajaran, terutama bagi mata kuliah praktik.
Fleksibilitas yang Meninggalkan Ruang Abu-Abu
Matahari siang mulai menyengat dari balik jendela ruangan, cahaya keemasan menembus kaca, menerangi kalender yang berada di meja Dadan. Ia melanjutkan pembicaraan tentang mekanisme kontrol perkuliahan daring.
Tidak ada sistem pemantauan ketat dari tingkat universitas. Pengawasan diserahkan kepada fakultas dan program studi. Artinya, keputusan akhir ada di tangan dosen dan mahasiswa. Mereka bisa berunding di dalam kelas, mencari kesepakatan apakah kuliah akan berlangsung daring atau luring.
Namun, kebebasan ini justru melahirkan tafsir yang beragam. Ada dosen yang patuh pada batasan 30 persen, ada pula yang tetap meminta mahasiswa hadir penuh di kelas. Bagi sebagian mahasiswa, terutama yang tinggal jauh dari Bandung, keputusan ini bisa menjadi persoalan pelik.
“Pada prinsipnya, mahasiswa tetap harus memenuhi kewajiban akademik,” ujar Dadan seraya menatap Suaka di hadapannya. “Jika mereka belum daftar Kartu Rencana Studi (KRS) atau belum melunasi UKT, meskipun ada kebijakan fleksibel, secara administrasi mereka belum resmi terdaftar sebagai mahasiswa.”
Pernyataan itu menyiratkan bahwa, kendati kebijakan ini menawarkan kelonggaran, ada batasan yang tidak bisa dinegosiasikan. Mahasiswa tetap harus mengikuti sistem yang sudah berjalan, sementara dosen harus mempertimbangkan beragam kondisi mahasiswa. Lantas, apakah kebijakan ini berguna untuk mahasiswa yang belum membayar UKT? Nampaknya kampus belum bisa menjawab hal tersebut.
Dilema Mahasiswa Rantau
Sore hari setelah Ashar pada Selasa (11/3/2025), Suaka menghubungi Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir semester empat, Al Fikru Syamil, yang sedang berada di kampung halamannya di Bangka Belitung. Suara motor yang berlalu-lalang terdengar dari seberang telepon, memberi gambaran suasana kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk Bandung.
Fikru memanfaatkan kebijakan ini untuk pulang dan menghabiskan Ramadan bersama keluarganya. Baginya, kuliah daring adalah keuntungan bagi mahasiswa rantau. Ia tidak perlu merogoh kocek lebih dalam untuk biaya kos dan transportasi.
Namun, ada ganjalan yang membuatnya ragu. Kebijakan ini, menurutnya, tidak tegas. Redaksi dalam surat edaran hanya menyebutkan bahwa perkuliahan “dapat dilakukan secara daring”, bukan “wajib dilakukan daring”. Akibatnya, beberapa dosen tetap bersikukuh mengadakan perkuliahan offline, bahkan menolak sistem hybrid.
“Kalau kebijakan pusat ingin efisiensi, seharusnya perkuliahan online lebih dipertegas,” ujarnya. “Tapi di lapangan, ada dosen yang tetap meminta mahasiswa datang ke kelas. Jadi, mahasiswa yang di luar kota seperti saya, mau tidak mau harus absen.”
Bagi Fikru, fleksibilitas ini seperti dua sisi mata uang. Ia bisa belajar dari rumah, tetapi juga menghadapi konsekuensi jika dosen menafsirkan aturan dengan cara berbeda.
Beban Jaringan dan Motivasi yang Turun
Di sudut lain Bandung, mahasiswa jurusan yang sama dengan Fikru, Sherly Afiyani, menerima panggilan dari Suaka yang berada di salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi pada Sabtu siang (22/3/2025). Suasana ramai, suara musik lembut bercampur obrolan pelanggan yang datang silih berganti turut menemani obrolan Suaka dengannya.
Bagi Sherly, kuliah online adalah berkah sekaligus tantangan. Ia bisa menghemat ongkos transportasi, tetapi harus menghadapi kendala jaringan yang tidak selalu stabil. Di sisi lain, ia merasa lebih mudah kehilangan fokus saat belajar dari rumah.
“Kalau offline, kita lebih punya tanggung jawab moral untuk tetap fokus,” katanya. “Kalau online, godaannya lebih banyak. Bisa sambil tiduran, buka media sosial, bahkan ada yang sekadar hadir buat absen tanpa benar-benar mendengarkan materi.”
Menurutnya, dosen juga memiliki sikap beragam terhadap kebijakan ini. Ada yang tetap mengizinkan kuliah daring, ada pula yang “memaksa secara halus” untuk hadir di kelas.
“Tidak ada yang secara terang-terangan mewajibkan, tapi ada yang bilang, ‘Ah, Bekasi mah masih dekat, kuliah offline aja’,” ujarnya, menirukan dosennya. Kondisi ini membuat mahasiswa yang berada di perbatasan antara jauh dan dekat merasa dilematis.
Dosen: Antara Digitalisasi dan Keefektifan Tatap Muka
Di sudut Fakultas Ushuluddin, siang terasa lebih terik pada Rabu (19/3/2025). Seorang dosen senior, Irma Riyani, duduk di salah satu ruangan laboratorium ushuluddin yang dipenuhi rak buku tebal. Ia menyambut Suaka dengan senyum, lalu mulai mengisahkan pengalamannya dalam mengajar secara daring.
Ia memahami alasan di balik kebijakan ini. Kampus ingin memberikan fleksibilitas, terutama bagi mahasiswa rantau dan mereka yang menghadapi kendala ekonomi. Namun, ia secara pribadi lebih memilih perkuliahan tatap muka.
“Pertemuan pertama sangat penting,” katanya. “Di sana, konsep perkuliahan dijelaskan, ekspektasi dosen dan mahasiswa disamakan. Kalau dilakukan secara online, sering kali pemahaman jadi lebih lemah.”
Menurutnya, tantangan utama adalah keterlibatan mahasiswa yang rendah. Banyak yang hanya bergabung dalam kelas tanpa menyalakan kamera atau bahkan meninggalkan perangkat mereka tanpa memperhatikan materi.
Meski begitu, ia tidak menolak digitalisasi sepenuhnya. Menurutnya, sistem hybrid adalah solusi yang bisa diterapkan lebih luas. Dengan teknologi yang ada, mahasiswa tetap bisa mengikuti perkuliahan dari jarak jauh tanpa kehilangan esensi pembelajaran.
Pada akhirnya, fleksibilitas adalah kunci, tetapi tatap muka masih menjadi metode terbaik untuk memastikan efektivitas pendidikan. Kampus perlu memperjelas kebijakan ini agar tidak menjadi ruang abu-abu yang membingungkan. Sebab, dalam pendidikan, kejelasan aturan sama pentingnya dengan fleksibilitas.
Reporter: Guntur Saputra/Suaka
Redaktur: Rafi Taufiq/Suaka