Ikratul Akbar
Dunia pendidikan tinggi, seharusnya bukan hanya sekadar lembaga formal yang tugasnya membagikan selembar ijazah atau transkip nilai yang isinya subjektivitas para “pendidik” dalam melihat kualitas anak didiknya.
Dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, harus menjadi lembaga yang mencerdaskan, lembaga yang mampu membekali anak didiknya agar menjadi manusia yang utuh, manusia yang mampu bersaing dengan manusia lainnya, manusia yang siap menantang zamannya, manusia yang siap mengangkat derajat bangsanya.
Amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, versi amendemen, Pasal 31 Ayat 3, disebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang”.
Kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang No 20 Tahun 2003, pasal 3, disebutkan,”pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Untuk mencapai cita-cita bangsa yang tertuang dalam UU di atas, tentu saja tidak mudah, dan tidak bisa direalisasikan secara instan, terutama dalam kurun waktu yang sangat singkat. Untuk menjadi manusia yang cerdas, beriman dan bertakwa kepada Tuhannya, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.
Tentu saja, tidak cukup hanya dengan berguru kepada pendidik di dalam ruang kelas. Peserta didik harus berinovasi dan berkreasi sendiri untuk menemukan jati dirinya, mencari bentuk lain dari apa yang dipelajari di dalam kelas. Dengan cara apa?
Tentu saja, dengan cara yang inovatif, berorganisasi, membaca buku, menulis, terlibat dalam berbagai forum diskusi, serta terlibat dalam kegiatan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Tapi, jika kembali pada permasalahan awal, yaitu adanya tekanan-tekanan dari kampus, atau tuntutan tenaga pendidik untuk lulus cepat, inilah produk kampus melahirkan mental prematur , yang tidak memiliki kompetensi apa-apa.
Pada 18 Mei 2015, sejumlah mahasiswa yang mewakili Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menghadap Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan aspirasinya. Salah satu poin yang mereka sampaikan adalah protes terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 49 Tahun 2014, pasal 17, yang isinya mengatur tentang batas maksimal studi S1 dan D4, masing-masing 5 tahun.
Perwakilan BEM ini menuntut, agar masa studi S-1 dan D-4 dikembalikan menjadi 7 tahun karena Permendikbud 49 tersebut dianggap membatasi ruang gerak mahasiswa. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Joko Widodo langsung mengiyakannya.
Sebagai seorang yang pernah bergelut di dunia kemahasiswaan, penulis sangat mengapresiasi perjuangan teman-teman BEM se-Indonesia di atas. Namun, dalam hal ini, penulis berpikir lebih tegas lagi bahwa yang seharusnya diatur bukan pada batas maksimal, tapi batas minimal studi S-1 dan D-4, dengan asumsi, apabila yang diatur batas minimal studi, misalnya 4,5 tahun, pola pikir yang terbangun pada diri mahasiswa bukan “cepat-cepat lulus”, melainkan bagaimana caranya memanfaatkan waktu yang tersedia selama menjadi mahasiswa.
Sementara, aturan batas maksimal, seharusnya ditiadakan, biarkan para mahasiswa itu bereksplorasi dengan status kemahasiswaannya, sampai mereka benar-benar siap terjun ke dunia di luar kampusnya, dengan perbekalan yang cukup. Artinya “Mahasiswa yg bukan mencari nilai tapi mahasiswa yang bernilai”
*Penulis adalah ketua umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi 2016-2017 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN SGD Bandung