Kampusiana

Menyoal Payung Hukum Pers Mahasiswa

Diskusi Pers Mahasiswa

Dari kiri: Ketua AJI Bandung Adi Marsiela, Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Suaka UIN SGD Bandung Faisal Alanshori, dan Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Ridlo Eisy saat mengisi Diskusi Payung Hukum Pers Mahasiswa yang digelar oleh LPM Suaka di Auditorium UIN SGD Bandung, Selasa (20/10/2015). (Dok. Suaka).

SUAKAONLINE.COM — Saat melakukan proses jurnalistik, para pegiat Pers Mahasiswa acap kali dihadapkan pada posisi yang sulit. Misalnya intimidasi dari narasumber, pelarangan terbit dan perampasan produk setelah terbit. Berangkat dari persoalan itu, Lembaga Pers Mahasiswa Suaka UIN SGD Bandung menggelar Diskusi Payung Hukum Pers Mahasiswa, Selasa (20/10/2015).

Dalam diskusi itu, Pemimpin Umum LPM Suaka, M. Faisal Alanshori mengatakan, payung hukum terhadap pers mahasiswa menjadi perbincangan yang menarik saat ini. Karena dewasa ini banyak terjadi kasus terhadap pers mahasiswa. Seperti yang baru baru ini terjadi yakni pemboikotan Majalah Lentera dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga oleh Polisi.

“Sementara di lain sisi, dalam UU no 40 tahun 1999, tidak disebutkan nama pers mahasiswa. Lalu kemanakah kita harus berlindung,” kata Faisal membuka diskusi yang dihadiri oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Dewan Pers.

Faisal menilai payung hukum terhadap pers mahasiswa amat penting. Karena sebagai perlindungan jika terjadi masalah saat proses jurnalistik berlangsung. “Bahkan meskipun kita (pers mahasiswa) sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik dalam melakukan proses kejurnalistikan selalu ada intimidasi dan pelarangan terbit,” ucapnya.

Menanggapi berbagai persoalan itu, Ketua AJI Bandung, Adi Marseila menyatakan bahwa sebenarnya tidak hanya pers mahasiswa yang belum jelas payung hukumnya. Bahkan beberapa kasus yang menimpa jurnalis media massa pun sampai saat ini belum tuntas. “Misalnya kasus Udin, yang kasusnya sangat lama sekali belum selesai-selesai,” kata Adi yang juga wartawan Suara Pembaharuan itu.

Menurutnya persoalan itu muncul karena negara belum bisa memberikan kepastian hukum secara penuh. “Ketika ada pembredelan, sebenarnya yang harus rugi bukan jurnalis, tapi masyarakat karena informasi terhambat,” katanya. Untuk itu, menurut Adi, semua media, termasuk pers mahasiswa harus bisa membangun kepercayaan publik dengan menyajikan liputan-liputan yang berkualitas.

Dirinya juga mengatakan bahwa sampai saat ini ada empat AJI di Indonesia yang terus mengupayakan agar pers mahasiswa masuk menjadi bagian AJI. Antara lain AJI Bandung, AJI Surabaya, AJI Jogja dan AJI Malang. “Namun dalam keputusan kongres, pers mahasiswa tetap tidak bisa masuk, karena ada syarat dan ketentuan yang belum bisa terpenuhi,” ujarnya.

Adapun menurut Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Ridlo Eisy mengatakan Dewan Pers tetap memerhatikan kehadiran pers mahasiswa. Namun belum bisa memberikan perlakuan secara penuh seperti halnya media massa pada umumnya. “Karena ada syarat yang mesti dipenuhi, misalnya konsistensi penerbitan apakah setiap hari atau tidak, standar perusahaannya bagaimana, kompetensi wartawannya harus jadi penilaian,” ucapnya.

Kendati tidak terdapat dalam UU tentang pers, pers mahasiswa masih tetap dilindungi oleh UU no 39 tentang keterbukaan informasi publik. Juga oleh UU Sisdiknas tentang Kebebasan Mimbar Akademik. Ia juga memberikan saran kepada setiap pers mahasiswa agar melakukan kegiatan jurnalistik sesuai kode etik jurnalistik.

“Lakukan pula secara profesional, jika ragu-ragu tanyakan, jika terdapat ancaman baik fisik maupun psikis, adukan ke dewan pers,” katanya di akhir diskusi.

Reporter : Adi Permana

Redaktur : Robby Darmawan

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas