Epaper

Majalah Suaka Tahun 2012

MAJALAH SUAKA TAHUN 2012

EDITORIAL

Berkaca Diri

Majalah Suaka Edisi 2012

Sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, sampai hari ini, sangat sukar bagi kita menentukan diri Indonesia yang sesungguhnya. Sulit membedakan Indonesia dengan Korea atau membedakan Indonesia dengan Amerika. Kita hampir serupa. Hanya saja, mental kita tak cukup mampu untuk menemukan jati diri sebenarnya, tak bisa mengilhami karifan lokal dan belum menjadi bangsa yang mandiri.

Sadar atau tidak, bangsa kita memang sedang sepenuhnya rapuh dan tersesat. Pancasila sebagai pilar utama bangsa ini belum dapat dimaknai penuh sebagai baris-baris filosofis hidup bernegara dan bermasyarakat. Generasi kita diperbudak dengan cara yang lain, seperti terhipnotis, terasuki dan hilang kesadaran. Barangkali lagu kebangsaan tinggal omong kosong, dan kibar-kibar merah putih hanya hiasan. Tak lebih, karena seringkali kita lupa dimana kita dilahirkan.

Jika ditilik lebih jauh, generasi muda di Indonesia ini memang terhitung generasi yang labil. Konsumerisme, pragmatisme dan hedonisme menjadi kerangka perwujudan Pancasila yang sebenarnya. Memang tidak keliru, namun cara berfikir tersebut yang pada akhirnya membuat kita semakin terpuruk dan jauh dari cita-cita mulia yang termaktub sejak pasca kemerdekaan.

Kepedulian kita pada negara dan bangsa ini mestilah dipertanyakan, karena boleh jadi kita tidak pernah mengabdikan diri. Jangan lupa, peran kita, generasi saat ini adalah menjaga penuh warisan terbaik kekayaan Indonesia; budaya ketimuran, akhlak yang mulia, kepedulian terhadap sesama dan menghargai perbedaan dalam simbol kebhinekaan.

Gambaran seperti ini, harusnya memberi kesadaran lebih tentang akan dibawa kemana bangsa ini melangkah. Kebobrokan yang diwarisi oleh para pendahulu kita, mau tidak mau harus diselesaikan oleh generasi yang ada saat ini dan sesudahnya. Karena siapa lagi jika bukan kita sendiri dan memulainya dari diri. Memanglah tidak mudah, tapi niscaya, keberhasilan didapat melalui sebuah keyakinan yang dalam. Karena bagaimana mungkin kita akan mau berubah jika tidak didasari oleh sebuah keyakinan akan keberhasilan.

Bisa atau tidaknya sebuah bangsa untuk beranjak bangkit adalah sebuah keyakinan hasil
dari sebuah pembelajaran yang tekun. Bisa kita tengok bangsa-bangsa lain yang kini mampu bangkit meranjak maju adalah hasil dari perenungan suci dari noda sejarah masa silam.

Salah satu petuah sakral yang sempat digaungkan Soekarno “Jangan Sampai
Melupakan Sejarah!” adalah titik penting dari sebuah bangsa belajar dan kembali merenungkan sejarah untuk berbenah diri menatap masa depan yang cemerlang. Ya, bangsa kita harus terus melangkah sebagaimana bangsa-bangsa lain yang sudah mendahului kita.

Ketertinggalan bukanlah sebuah keputusasaan, melainkan sebuah
cerminan bagi diri kita untuk berbenah diri. Kesalahan-kesalahan pemimpin kita tidaklah lain sebagai cerminan dari rakyatnya. Berhentilah bersikap menuntut dan berteriak histeris “Kapan bangsa ini berubah?” karena sejatinya bangsa ini menuntut kepada kita semua untuk berkaca diri atas apa yang pernah kita lakukan dan sumbangkan. Jangan-jangan, kita secara tidak sadar adalah bagian dari sampah masyarakat.
[] Redaksi

 

DOWNLOAD DI SINI

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas