Kolom

Maskulinitas: Alasan Boyband KPop Sulit Diminati Laki-Laki

Ilustrasi: Shania Anwar/Suaka

Oleh: Abdul Azis Said*

Siapa yang tidak tahu BTS, boyband KPop yang berulang kali sukses menaklukkan tangga lagu Billboard, membawa pulang trofi musik bergengsi, dan berduet dengan sederet penyanyi kenamaan dunia. Grup musik yang digawangi RM cs ini juga berhasil masuk dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh di dunia tahun 2019, sebuah pencapaian yang cukup baru bagi industri hiburan di Korea. Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara yang basis penggemarnya paling besar.

Meski mengantongi banyak pujian dari dunia, BTS tidak sepenuhnya sukses menaklukkan pecinta musik dalam negeri, khususnya dari kalangan pria. Bakat menari dan menyanyinya kebanyakan hanya disukai wanita, langka untuk menemukan ARMY (sebutan untuk penggemar BTS) dari kalangan laki-laki, begitupun yang terjadi pada boyband lainnya.

Kalaupun ada, menjadi penggemar KPop harus pasrah dengan sentimen negatif yang terus membuntuti. Penggemar KPop laki-laki lebih rentan disudutkan daripada pengggemar perempuan, karena dianggap ‘abnormal’ jika laki-laki mengidolakan sesama gendernya. Normativitas ini selalu menempatkan perempuan lebih layak mengidolakan boyband, dan sedikit wajar jika laki-laki mengidolakan girlband.

Buktinya, lebih awam kalau laki-laki mengungkapkan kekagumannya kepada Lisa Blackpink ketimbang laki-laki yang memuji Jungkook BTS. Alasannya karena mengidolakan KPop masih saja dipahami secara sempit sebagai proses ketertarikan. Walhasil kekaguman tak ubahnya konsep binarisme seksual, yang mendisiplinkan ketertarikan laki-laki wajarnya kepada perempuan, dan sebaliknya perempuan kepada laki-laki.

Tapi kalau kamu laki-laki dan mengidolakan Ronaldo, Lorenzo , Band Noah atau Slank, patut bersyukur karena tidak ada stigma buruk sedikitpun, justru terkesan wajar. Padahal objek yang mereka kagumi antara penggemar BTS dan penggemar Ronaldo sama-sama punya kategori gender laki-laki. Tapi publik berbeda dalam memperlakukan hubungan antara penggemar dan idolanya jika itu KPop.

Pemaksaan untuk Menerima Stereotipe Maskulinitas

Perlakuan diskriminatif yang dialami boyband KPop dan penggemarnya, jadi bukti yang cukup jelas untuk mengurai sengkarutnya permasalah yang timbul karena adanya toxic masculinity. Suatu term yang merujuk pada adiksi terhadap penerapan nilai-nilai maskulin laki-laki, melalui pembatasan antara perilaku yang dianggap ‘normal’ dan ‘abnormal’.  

Tapi lebih cocok jika menyebutnya sebagai keranjingan untuk disebut paling ‘manly’. Karena standar kejantanan laki-laki tampak sangat digila-gilai banyak orang, yang ujung-ujungnya dipakai untuk memojokkan siapa saja yang tidak bersedia mengikuti normativitas yang telah dibuat. Ini yang terjadi pada Boyband KPop dan penggemarnya.

Alasannya karena bintang KPop punya penampilan yang cukup nyentrik bila dibandingkan gaya berpakaian umunya laki-laki di Indonesia. Tampilan modis dan rapih adalah hal yang penting, seperti memasukkan kaki baju ke dalam celana, melipat ujung celana atau yang model potongan menggantung, dan model-model lainnya yang kini mulai terglobalisasi. Malahan model ini dijiplak oleh penggemar-penggemar perempuannya di Indonesia, sehingga meninggalkan kesan yang berhak memasukkan kaki baju dan melipat celana hanyalah perempuan. Akan dianggap aneh jika laki-laki Indonesia meniru gaya tersebut.

Selain itu anggota boyband dalam penampilannya kerap kali memakai riasan wajah, merawat kulit, mencat rambut, hingga bertindik. Bagi mereka hal ini tampak biasa saja, tapi tidak buat laki-laki di Indonesia. Karena stereotip yang ada menempatkan make up dan perkakas perawatan wajah lainnya hanyalah kepunyaan perempuan. Kalau ada laki-laki yang berani mengaku dirinya menggunakan bedak atau lip cream, siap-siap saja dicap ‘bencong’.

Padahal kosmetik dan seperangkat perawatan wajah tidak pernah menciptakan sekat gender. Akses atas perawatan tubuh semestinya milik siapa pun, cantik dan gagah itu hanyalah omong kosong untuk mengotak-ngotakkan perempuan ideal dan laki-laki ideal. Karena itulah apa yang ditampilkan oleh bintang KPop merepresentasikan keberagaman ekspresi gender setiap manusia. Mereka memahami kediriannya sebagai laki-laki dan maskulinitas lewat serangkaian performativitasnya tersendiri, yang belum tentu sama dengan persepsi laki-laki Indonesia.

Bukan karena mereka mendekati standar cantiknya Indonesia, lalu mudahnya langsung mencap feminin atau keperempuan-perempuanan. Boyband KPop punya spektrumnya tersendiri, yang juga menduplikasi nilai-nilai maskulinitas barat, seperti berpakain jaket kulit dan sepatu bot. Sebagaimana orang-orang di Amerika memaknai maskulinitas para lelaki koboi. Tapi, lagi-lagi semuanya dibuat lebih lokal dengan kombinasi budayanya sendiri.

Sehingga, konsep maskulinitas ini sifatnya sangatlah  cair, tidak ada standar yang paling benar. Karena sosio-kultural masyarakat punya peran menciptakan normativitas kebertubuhan laki-laki dan perempuan. Bisa jadi apa yang diyakini laki-laki Amerika tentang maskulinitas punya standarnya sendiri, yang berbeda dengan Indonesia, begitupun persepsi maskulinitas laki-laki di Korea. Modernisasi dan perubahan zaman juga secara simultan ikut mempengaruhi pembentukan stereotip maskulinitas laki-laki, yang bisa jadi seabad berbeda dengan saat ini.

Kalau di Indonesia semakin gelap warna kulit cenderung lebih maskulin, lebih lagi kalau punya lengan dan perut berotot, berkumis atau berjanggut. Namun, apa daya orang-orang Korea yang secara biologis sulit berwarna kulit gelap. Pemahaman inilah yang membawa laki-laki Indonesia cenderung melihat boyband KPop tidak semaskulin orang Indonesia.

Dalam sebuah tulisan di laman yayasanpulih.org, terdapat sebuah istilah yang disebut Brannon Masculinity Scale (BM).Sebuah konsep tardisional tentang maskulinitas dengan empat karakter penting yang dimiliki. Yaitu, adanya perasaan ingin dihormati karena menganggap laki-laki memiliki privilege sebagai seorang kepala keluarga, tuntutan senantiasa kuat dan tegar membuat laki-laki tidak boleh dipengaruhi emosi, kebencian terhadap perilaku feminin dan keharusan untuk menghindarinya, serta kecenderungan bersikap memaksa.

Keempat karakter tersebut relevan untuk menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara perasaan tidak suka terhadap boyband KPop dan dorongan untuk selalu dianggap maskulin. Karena yang mereka tampilkan bisa jadi tampak tidak memenuhi prasyarat dari empat standar maskulinitas tadi. Makanya tidak heran kalau toxic masculinity cukup mengerikan, karena daya paksanya memungkinkan laki-laki yang merasa maskulin bersikap agresif. Memaksa kalau mau maskulin haruslah mengidolakan artis yang ekspresi gendernya juga maskulin sesuai standar Indonesia..

Apalagi masalah maskulinitas boyband KPop juga sering kali disangkutpautkan dengan orientasi seksual. Tom Boellstorffdalam bukunya The Gay Archipelago tentang karakteristik laki-laki gay di Indonesia, menjabarkan kalau banyak stereotip sosial bertebaran yang dianggap mampu mengidentifikasi seseorang adalah gay atau bukan. Ditunjukkan melalui cara duduknya yang khas dengan kaki rapat, juga laki-laki yang gay cenderung berpenampilan modis.

Celaka lah boyband KPop yang selalu berpenampilan fashionable dan rutin menjaga bentuk tubuhnya. Ini juga jadi alasan kenapa laki-laki yang menyukai KPop diperlakukan berbeda, sebab ada ketakutan kalau hubungan fans dan idolanya bisa jadi representasi kekaguman sesama jenis. Belum cukup dipertanyakan maskulinitasnya, malah ditambah lagi sama keragu-raguan terhadap hasrat seksualitasnya.

Namun, bukan berarti membenarkan stereotip yang menyebut bahwa semua boyband KPop dan penggemar laki-lakinya adalah gay. Caranya mengekspresikan diri tidak selalu punya hubungan dengan orientasi seksualnya. Karena gay ataupun straight merupakan orientasi seksual, sementara maskulin atau feminin itu ekspresi gender. Sterotipe tersebut tidak akurat untuk memetakan mana yang gay dan mana yang straight.

Moralitas VS Otoritas

Kurang menarik jika tidak mengaitkan antara performativitas boyband KPop dengan caranya memahami kedaulatan bagi dirinya sendiri. Sebenarnya mereka cukup  bebas mengeksplorasi dirinya, namun jaminannya ialah kesiapan mereka diperlakukan diskriminatif oleh banyak laki-laki, terutama di negara yang mengakar kuat budaya patriarki seperti.

Entah sejak kapan nilai-nilai maskulinitas itu muncul. Yang kita semua ketahui hanyalah, normativitas ini sudah dibebankan sejak lahir. Bayangkan saja, bertahun-tahun lamanya kita sudah hidup , namun tidak ada kesempatan untuk menegosiasikan apa makna menjadi laki-laki dan perempuan menurut diri sendiri. Tidak ada otoritas untuk menentukan kebertubuhan seseorang, melainkan menjadi laki-laki bergantung pada bentukan norma sosial.

Konstruksi sosial yang ada mengabaikan kemungkinan kalau siapapun –entah itu laki-laki atau perempuan– dapat bertukar peran. Hubungan antara subyektivitas gender manusia dengan caranya mengekspresikan diri punya hubungan yang lebih rumit dari sekedar pengaturan bahwa bayi yang terlahir dengan penis diajarkan berperilaku maskulin, sementara yang mempunya vagina berperilaku feminin.

Dualisme nilai maskulin dan feminin ini dilanggengkan sejak dari dalam rumah, sebagai jejak  peninggalan Orde Baru yang ikut campur dalam urusan domestik warganya, lewat penanaman ideologi bangsa berupa konsep keluarga ideal. Ini diciptakan sebagai aparatus negara untuk mewujudkan cita-cita modernisasi, yang bisa dicapai menggabungkan pengaturan reproduksi dan konsumersime masyarakat.

Keluarga ideal ini memposisikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pusat kendali rumah tangga. Sehingga dibuatlah nilai-nilai maskulinitas laki-lakian yang dibatasi oleh aspek-aspek seperti jenis pekerjaan, cara berpakaian, hobi, cita-cita hingga mengatur cara duduk. Begitupun sebaliknya, perempuan harus menjadi ibu dan dipaksa mematuhi nilai-nilai kefemininan perempuan, yang selalu ada standar supaya bisa dikategorikan feminin.

Pembagian maskulintas dan feminitas ini terus diproduksi sampai-sampai tampak wajar, dan mendikte masyarakat dalam banyak urusan, sekalipun yang sifatnya spontanitas. Pasti sering mendengar kalau warna biru identik dengan laki-laki dan perempuan warna merah muda, laki-laki mengoleksi motor atau mobil-mobilan, sementara perempuan bermain boneka. Laki-laki harus bisa menyetir mobil dan perempuan harus bisa cuci piring.

Adanya nilai-nilai yang mengatur cara berpenampilan dan mengekspresikan diri adalah bagian dari moralitas sosial, yang bermaksud menyempitkan substansi kelaki-lakian dan keperempuanan. Agar bisa dianggap bermoral, setiap orang kemudian secara terpaksa mengikuti konsensus sosial tentang perilaku yang baik. Yang dalam kaitannya dengan maskulinitas, laki-laki boyband KPop siap-siap saja dianggap tidak bermoral, karena dipandang melangkahi batas perbedaan antaran laki-laki yang maskulin dan perempuan yang feminin.

Sehingga, harus dipahami bahwa berpaku pada standar maskulinitas dan feminin yang dibentuk oleh lingkungan sosial bukanlah aturan wajib diikuti. Malah nilai-nilai itu terkesan mengekang privasi setiap orang untuk menentukan personalitasnya. Ketimbang diatur hanya bisa memilih maskulin atau feminin, setiap orang harusnya berhak mendefinisikan spektrumnya tersendiri, apakah keluar dari dua pilihan tersebut atau tampil dengan keduanya sekaligus.

*penulis adalah mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam semester 6, dan pengurus LPM Suaka bidang Riset, Data dan Informasi

1 Comment

1 Comments

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Ke Atas