Fokus

Menangkap Paham Birokrat

Rabu, 14/3/2018

Oleh Yosep Saepul Ramdan

Ilustrasi. Memahami paham birokrat kampus. (Ang Hidayat/ Suaka)

Publik berhak mendapatkan informasi tentang apa saja yang dilakukan oleh badan publik. Termasuk mahasiswa sebagai pemilik ‘saham’ di kampus hijau ini.

SUAKAONLINE.COM — Di penghujung tahun 2015, UIN SGD Bandung mendapat penghargaan dari Komisi Informasi (KI) Pusat tentang Keterbukaan Informasi Publik kategori Perguruan Tinggi Negeri. Kampus hijau termasuk dalam sepuluh besar perguruan tinggi dengan penilaian terbaik dan satu-satunya perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama yang memperoleh penghargaan tersebut.

Ketua Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Barat, Dan Satriana menuturkan, mendapatkan penghargaan dari KI Pusat tidak menjamin UIN SGD Bandung baik dalam pelayanan informasi. Karena sejauh ini penilaiannya hanya baru pada pemenuhan kewajiban internal seperti aspek kelengkapan administrasi dan kelengkapan-kelengkapan yang diamanahkan oleh Undang-Undang.

Karena penilaiannya belum pada tahap penerapan standar layanan informasi kepada publik. “Sehingga jangan heran kalau ada badan publik yang dapat peringkat itu pada kenyataannya di kaca mata pemohon itu tidak cukup terbuka,” papar pria yang selalu penuh semangat itu, ketika ditemui Suaka di ruangannya, Rabu (28/2).

Suaka pun mengonfirmasi terkait sejauh mana kampus mematuhi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) kepada Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan (AUPK), Akhmad Lutfi. Dia mengatakan bahwa hal itu bukan ranahnya. “Saya hanya akan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan jabatan yang saya emban saja,” ujarnya, Jumat (2/3).

Lutfi menjelaskan, kampus merupakan lembaga di bawah Kemenag memiliki kewajiban melaporkan keuangan kepada Kemenag saja. Lalu laporan tersebut dihimpun dan dijadikan laporan di Kemenag yang kemudian akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Menyoal keterbukaan informasi yang belum optimal penerapannya, Lutfi mengklaim bahwa kampus sudah menjalankan kewajibannya. “Bukan belum, kewajiban kita hanya ke BPK aja, itu aja titik,” ucapnya dengan tegas.

Senada dengan Akhmad Lutfi, Kepala Bagian Keuangan dan Akuntansi, Suhaemi mengatakan, laporan keuangan itu hanya dipublikasikan menggunakan media Kementerian Keuangan yaitu BLU Integrated Online System (BIOS). Namun secara rutin setiap tahun laporan pertanggungjawaban kampus diperiksa dan diaudit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal (Irjen).

Ia pun mengakui bahwa media ini masih memiliki kekurangan karena hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu saja. Namun, saat ini sedang diusahakan agar data tersebut bisa diakses publik.

“Tapi kita belum tahu berapa lamanya. Cuman yang mengelola sudah mengajukan, tinggal kita menunggu jawaban bisa diakses nggak oleh semua,” papar pria ramah itu, Kamis (22/2).

Saat ditanya mengenai prosedur pengajuan informasi, Suhaemi mengakui bahwa sejauh ini kampus masih belum memiliki mekanisme baku soal prosedur pengajuan informasi, karena mekanisme  semacam petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) masih belum ada. Namun, sejauh ini prosedur yang ada hanya pengajuan surat yang kemudian diproses.

“Ya paling surat, surat nanti ke rektor, rektor memberikan disposisinya seperti apa. Kita mengikuti disposisi itu paling,” paparnya.

Ia pun selama menjadi kepala di bagian keuangan, mengaku belum pernah menerima surat permohonan informasi. Padahal, Suaka pernah mengajukan informasi terkait data alokasi dana pembangunan kampus 2 UIN SGD Bandung dan rincian data kategori UKT/BKT UIN SGD Bandung tahun ajaran 2017/2018.

 

 

Terjebak pada Keterbukaan Informasi Prosedural

Mendengar tanggapan dari kepala biro AUPK seperti itu, Dan merasa bahwa perlu adanya edukasi kepada birokrat. Edukasi kepada birokrat adalah suatu yang penting, agar birokrat menyadari kewajibannya kepada publik.  “Sekarang ini akuntabilitas sudah bergeser, dari akuntabilitas administrasi, akuntabilitas politik ke akuntabilitas pada publik,” papar sarjana Antropologi Unpad itu.

Maka dari itu, publik seharusnya mendapatkan informasi seperti laporan keuangan kampus. Karena dijelaskan pula dalam pasal 9 UU KIP, badan publik wajib mengumumkan informasi secara berkala, salah satu informasi tersebut adalah laporan keuangan.

Dan pun menyanggah pernyataan Suhaemi, sejauh pengamatannya, birokrat sering kali mengalami masalah prosedural, dari mulai kop surat, format pengajuan, sampai belum adanya juknis dan juklak. Tapi itu bukanlah masalah besar, Dan mengingatkan, jangan sampai badan publik mengulur atau menolak permohonan informasi hanya karena masalah prosedural.

“Nah, kita terjebak. Kita tersandera pada hal-hal yang prosedural pada badan publik. Kita terjebak pada keterbukaan informasi prosedural,” paparnya dengan tegas. “Masalah tersebut menghilangkan esensi dari keterbukaan informasi”.

Kultur yang Harus Diubah

Kesulitan dalam mengakses informasi disebabkan karena kultur birokrasi yang merasa tidak pernah diawasi oleh publik. Selama ini, badan publik merasa sudah cukup dengan pengawasan internal seperti BPK, KPK, dan Irjen. Berbeda ketika publik yang mengajukan informasi, seketika yang diterima adalah penolakan.

“Yang paling sulit untuk mengubah dari badan publik adalah soal kultur ketertutupan. Mereka sudah terlalu lama berada dalam era ketertutupan,” ungkap Dan.

Publik yang mengajukan informasi akan terganjal dengan kultur birokrasi yang tertutup. Karena badan publiknya belum terbiasa dan belum siap diawasi oleh publik. “Ini persoalan inti dari penerapan UU KIP dari sekedar persoalan teknis,” kata Dan menyimpulkan.

Selanjutnya, Dan menambahkan, mahasiswa sebagai publik juga berkontribusi langsung melalui bayaran uang kuliah dan iuran lainnya. Karena di perguruan tinggi mana pun mahasiswa adalah yang memberikan sumbangan lebih besar daripada sumbangan dari APBN atau APBD.

Jika ada kesadaran baik dari badan publik atau pemohon, komunikasi atau pertukaran informasi akan lebih mudah. Karena termohon, dalam hal ini pejabat kampus, harus menyediakan data dan informasi kepada mahasiswa. “Karena banyak badan publik yang tidak rela jika diawasi oleh publik,” kata Dan.

“Dalam UU KIP mahasiswa atau masyarakat harus dipandang sebagai orang yang punya saham (hak-Red) untuk mengetahui pemanfaatan kewenangan dan keuangan yang telah diberikan oleh mahasiswa,” ujarnya. “Paradigmanya harus diubah”.

 

Redaktur  : Muhammad Iqbal

Baca Fokus lainnya di bawah.

Fokus 1          : Sulitnya Mengakses Informasi di Kampus Sendiri

Fokus 2         : Menangkap Paham Birokrat

Fokus 3         : Website Kampus Cermin Ketertutupan

Riset Suaka : Mari bantu isi Riset Suaka tentang keterbukaan informasi di UIN SGD Bandung

 

 

 

 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas