Infografik

Mendefinisikan Kejahatan Apartheid di Bumi Al-Aqsha

 

SUAKAONLINE.COM, Infografis – Apartheid memiliki arti pemisahan ras dibawah kekuasaan rezim melalui kebijakan suatu negara. Hal ini pernah dilakukan oleh pemerintah Afrika Selatan yang menciptakan sistem pemisahan antara kaum kulit putih dan kulit hitam sedari tahun 1948 hingga 1990-an. Tembok Israel di Tepi Barat juga salah satu cara Israel memisahkan kaum Yahudi dari warga Palestina dan Arab. 

Istilah Apartheid dalam masyarakat Internasional dikenal sebagai kejahatan institusional yang mengakibatkan diskriminasi dan penindasan antar ras, etnis dan kelompok. Apartheid juga dikatakan serupa dengan tindakan Nazi Jerman yang mengkampanyekan anti-Semitism (kebencian terhadap kaum Yahudi) dan Holocaust (pembantaian kaum Yahudi) di kamp Auschwitz, Polandia. Hukum Internasional telah mengatur kejahatan Apartheid pada Konvensi Apartheid (1973) dan Statuta Roma (1998). 

Lebih lanjut, kondisi Palestina yang terus didominasi kaum Yahudi dan pembentukan negara Israel di tahun 1948, membuat warga Palestina terusir dari ibu pertiwinya. Human Right Watch memandang Israel sudah melanggar batasan kemanusiaan dalam menduduki Palestina. Dari hasil investigasi HRW berjudul “The Threshold Crossed” (2021), kejahatan Israel mencakup pembatasan Jalur Gaza, penyitaan lahan, perizinan yang ketat, penolakan hak tinggal, pembongkaran rumah dan pengabaian hak-hak sipil.

Bukan hanya itu, Pemerintah Israel juga membuat Undang-Undang dengan kecenderungan isinya menargetkan kesejahteraan kaum Yahudi, yang secara efektif berbanding jauh terhadap alokasi anggaran ke warga Palestina. Setelah 1948, 40 hingga 60 persen lahan warga Palestina telah berubah status menjadi milik warga Israel. 700.000 penduduk Palestina melarikan diri dan lebih dari 400 desa dihancurkan. Pada 1967, Israel menguasai Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Gunung Sinai dan Bukit Golan. 

Kemudian, saat Hamas merebut Gaza yang dipimpin oleh organisasi Fatah pada 2007, Israel melarang perjalanan masuk – keluar dari Gaza dengan pengecualian tertentu. Selain itu, Israel telah menolak jutaan warga Palestina untuk mendapatkan tempat tinggal dan kewarganegaraan melalui kontrol pencatatan sipil juga izin masuk ke Israel atau Wilayah Pendudukan Palestina Occupied Palestinian Territory (OPT). 

Penjagaan pos OPT mengharuskan warga Palestina memperlihatkan kartu identitas kepada tentara Israel baik ke sekolah, tempat kerja, rumah sakit dan kunjungan keluarga. Perampasan hak sipil seperti bebas berbicara, berpendapat dan berserikat dilakukan turun-temurun. Warga Palestina yang melawan banyak dipenjarakan, organisasi non-pemerintah dan politik dilarang, puluhan media dibredel. 

Praktik-praktik Israel serta kebijakan tersebut sudah berlangsung lama dan sistematis, bentuk kejahatan Apartheid karena tindakan yang tidak manusiawi. Hal ini tercantum dalam pasal 2 Konvensi Apartheid yang berbunyi, “Inhuman acts committed for the purpose of establishing and maintaining domination by one racial group of persons over any other racial group of persons and systematically oppressing them.

Dan Statuta Roma pasal 7 ayat 2 (h) yang berisi, “Inhumane acts…committed in the context of an institutionalized regime of systematic oppression and domination by one racial group over any other racial group or groups and committed with the intention of maintaining that regime.” Keberlanjutan sistem ini akan sulit dihentikan jika International Criminal Court (ICC) tidak cepat menyelidiki kasus Apartheid. 

Sumber: A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution Report & Human Right Watch

Peneliti: Mohamad Akmal Albari/Suaka
Redaktur: Nisa Nurul Khaida/ Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas