Oleh Fikri Fauzan
Sederhananya demokrasi mahasiswa adalah tonggak dimana mahasiswa dapat berperan aktif dalam mengembangkan diri, mengeluarkan aspirasi dan mengasah kemampuan intelektualitasnya di ranah pemikiran. Sebagai salah satu pijakan langkah ke depan mengisi kemerdekaan Indonesia agar mampu berbenah dari keadaannya kini dinilai carut-marut. Ide-ide pembaharuan diciptakan oleh mahasiswa seyogyanya bisa mumpuni sesuai dengan stereotip yang selama ini melekat pada diri mahasiswa yakni sebagai agent of change.
Kampus bisa menjadi replika negara untuk membuat gerakan-gerakan perubahan sekaligus menjadi titik awal bagi para mahasiswa belajar untuk bangkit. Dimana, mahasiswa sebagai generasi muda harus bisa berperan aktif dalam perjuangan bangsa yang mampu membentuk hasrat kebangkitan nasional.
Seperti halnya DEMA sebagai salah satu lembaga tertinggi dalam tataran pemerintahan mahasiswa adalah lingkup awal untuk memulai sebuah gerakan perubahan. Yang diharapkan mampu menampung aspirasi serta menyalurkannya.
Sistem DEMA yang dikenal sejak tahun 66’, sebagai peralihan dari BEM nampaknya mulai menampakan hasil. Pembantu Rektor III Endin Nasrudin melihat perubahan corak gerakan mahasiwa dari BEM ke DEMA mengalami perkembangan. “Lebih banyak kegiatan mahasiswanya,” tukasnya. Bahkan PR III ini sangat berharap banyak pada DEMA, untuk lebih mengasah kemampuan yang dimiliki mahasiswa baik di bidang akademik maupun keahlian lainnya, seperti bisnis, politik dan jurnalistik.
Namun sangat disayangkan sistem DEMA belum dirasakan perubahan dan perbedaannya oleh sebagian mahasiswa. Salah satunya Nining, mahasiswi Bahasa dan Sastra Inggris. “Bagi saya perubahan BEM menjadi DEMA hanya sekedar perubahan nama saja tanpa berefek terhadap etos kerja dan eksistensisnya, lagian selama saya kuliah disini tidak merasakan perbedaan antara ada dan tidaknya baik itu BEM maupun DEMA,” ujarnya saat ditemui wartawan SUAKA.
Senada dengan Nining yang merasa masih janggal dengan peran DEMA. Cep Sopian, mahasiswa Fakultas Syari’ah semester 8 pun memandang bahwa sejauh ini kinerja DEMA belum tampak, ditambah lagi tak ada yang mengawasi kinerja mereka. Mahasiswa seolah-olah dikekang oleh tirani birokrasi kampus, “DEMA itu kurang bisa mengakomodir mahasiswa, jadi kebebasan mahasiswa terkerangkeng,” ungkapnya. Selain itu Sopian menjelaskan bahwa kinerja DEMA tidak jelas. Acak-acakan. “tidak bisa apa-apa, Cuma cengar-cengir aja.” Tambahnya.
Hal yang sama diungkapkan Aries Chaeruddin, Mahasiswa Muamalah. Menurutnya, sistem DEMA lebih buruk daripada BEM, karena pemilihan yang tidak demokratis, struktural yang tidak jelas, dan kinerjanya yang tidak diketahui karena kurang sosialisasi. Selain itu, program kerjanya pun tidak menyentuh mahasiswa secara khusus.
Namun, Rizal Laelani, salah seorang mahasiswa Dakwah dan Komunikasi justru mengatakan bahwa kinerja DEMA sudah cukup bagus. Hanya saja, Rizal berharap DEMA bisa lebih memosisikan diri, lebih terbuka, dan mengakomodir seluruh masyarakat kampus.
Menyikapi permasalahan ini, ketua DEMA, Ali Santosa mengeluarkan pendapatnya. “Sebenarnya DEMA sudah menjalankan program-program seperti semestinya. Namun, tidak semua program itu langsung melibatkan mahasiswa secara keseluruhan karena program-program DEMA terbagi pada kegiatan internal pengurus, kegiatan eksternal yang masih dalam lingkup kampus, dan kegiatan eksternal ke luar. Karena itu, wajar jika tidak banyak mahasiswa yang tahu,” ujar Ali.
Ali tidak memungkiri DEMA masih memiliki kekurangan. Hal ini karena DEMA masih beradaptasi dengan sistem baru ini, sehingga tidak memiliki pegangan kecuali merujuk pada SK Dirjen 205-207/2007 dan SK Rektor. “Selain itu, kerja sama antara DEMA dengan senat dan UKM pun tidak berjalan lancar,” lanjutnya.
Untuk masalah pemilihan, Ali mengakui bahwa sistem DEMA memang tidak demokratis. Dengan berlakunya sistem pemilihan yang dilakukan oleh parlemen, otomatis mahasiswa tidak bisa memilih langsung siapa saja anggota DEMA. “Hal ini juga merupakan kelemahan sistem DEMA,” tambah Ali.
Manusia meski memiliki harapan. setidaknya harapan itu akan memberi keyakinan xx1toto, dengannya sesuatu yang dianggap biasa akan berubah menjadi luar biasa. Segala hal yang dianggap mustahil bisa saja terjadi. Dengan mimpi yang besar, maka cita-cita yang luhur akan terwujud. Sebaliknya ketidakpercayaan dan sikap pesimis dapat membuat orang menjadi jatuh dan tidak dapat mengembangkan dirinya.
Menyoal demokrasi kampus yang disikapi pesimis dari kalangan mahasiswa sangat disayangkan oleh Lusi, mahasiswi psikologi yang masih duduk di semester dua ini, ketika ditemui di sela-sela aktivitas kuliahnya ia mengungkapkan bahwa dirinya merasa bingung dan heran. Padahal jika menilik lebih jauh DEMA pun pasti memiliki cita-cita yang sama dengan mahasiswa pada umumnya untuk memajukan kampus tercinta.
“Saya bingung dan heran, kenapa mahasiswa UIN ini tidak memiliki optimis sedikitpun dengan kinerja DEMA? Padahal kalau kita tengok lebih cermat keringat anggota DEMA yang terkucur untuk kita, maka saya yakin, sikap kita akan berubah sembilan puluh sembilan persen dari sikap yang dulu, yang kerap mencibir DEMA dengan sebutan tak punya peran,” tuturnya menyayangkan.
Di tempat terpisah, Tita Fatimah, mahasiswi PAI semester enam mengungkapkan “Apa pun yang dilakukan oleh DEMA saat ini adalah bukti keseriusannya terhadap cita-cita luhur mahasiswa untuk terus menata harapan indah di hari depan. Meskipun memang dalam perjalanannya tidak akan selalu mulus, tetapi setidaknya mereka (DEMA_red) sudah berusaha memperjuangkan nasib kita,” katanya.
“Teruslah berjuang !” ungkapnya dengan penuh keyakinan bahwa DEMA suatu saat akan berubah ke arah yang lebih baik. “Optimislah…,” ucapnya mengakhiri percakapan.[]
[] Kru Flash & News