Aspirasi

Menyaksikan Kekurangan PON XIX dari Berbagai Sisi

Dok. Suaka

Dok. Suaka

Oleh Isthiqonita

Jawa Barat boleh bangga dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan PON XIX dan Peparnas XV 2016, sejak akhir Tahun 2011, Jabar mulai berbenah memantaskan diri untuk menjamu tamu-tamu dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia. Jabar dibebani persiapan ganda, menjadi penyelenggara juga berusaha menjadi juara. PON telah usai digelar dari 17 hingga 29 September 2016.

Panitia Pengurus Besar (PB) Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX di Jawa Barat, dilantik pada 11 November 2013 dengan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan sebagai ketua umum. Kala itu prioritas pertama dari PB PON Jabar adalah menyiapkan gelanggang arena pertandingan olahraga, baik dengan membangun tempat pertandingan baru maupun memperbaiki yang sudah ada. PB PON juga bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung untuk mempercepat penyelesaian pembangunan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GLBA) di Gedebage, yang digunakan untuk pembukaan dan penutupan PON XIX/2016.

PON Jabar menghabiskan anggaran yang tidak sedikit, bahkan untuk membantu pendanaan PON XIX/2016 yang telah menghabiskan biaya Rp 2,3 triliun, Aher mengeluarkan kebijakan mengalihkan dana bantuan desa masing-masing sebesar Rp 100 juta untuk 5.319 desa di Jabar dengan total Rp 531,9 miliar untuk PON XIX/2016. Setelah mendapat reaksi penolakan dari sejumlah kepala desa se-Jawa Barat, pengalihan dana dilakukan dengan tetap membayar dana desa sebesar Rp 50 juta untuk tahun 2016 dan Rp 50 juta digunakan untuk membantu pembiayaan PON XIX/2016, dan akan dibayarkan ke masing-masing desa pada tahun 2017.

Selayaknya, dengan kucuran dana yang tidak sedikit tersebut penyelenggaraan PON Jabar 2016 dipersiapkan dengan maksimal dan melibatkan orang-orang yang kompetitif di bidangnya. Namun berbagai persoalan mengenai penyelenggaraan bermunculan, bahkan dari berbagai kalangan. Bukan hanya beberapa kontingen yang menyatakan bahwa Jabar tengah melakukan berbagai cara supaya menjadi juara.

Pada akhirnya Jabar berjaya di tanah legenda, Jabar mengumpulkan 531 medali dengan perincian 217 emas, 157 perak, dan 157 perunggu. Di tempat kedua, kontingen Jawa Timur mengumpulkan 404 medali dengan rincian, 132 medali emas, 138 medali perak, dan 134 perunggu. Di posisi ketiga, DKI Jakarta mengumpulkan 374 medali dengan rincian 132 emas, 124 perak, dan 118 perunggu. Namun Jabar keluar menjadi juara dengan banyak cibiran, utamanya mengenai kecurangan dari perilaku wasit, juri, tim keamanan hingga panitia pelaksana. Bagaimana bisa kontingen Jabar diperlakukan khusus dalam penyediaan pelayanan ketimbang kontingen-kontingen lainnya.

Media banyak menyoroti kejanggalan perihal tindakan kecurangan yang dilakukan oleh wasit dan juri mengenai betapa memperlihatkannya keberpihakan mereka terhadap tuan rumah, di balik penyelenggaraan pertandingan ada banyak lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Penyedia layanan penginapan (hotel, vila, atau wisma), penyedia layanan konsumsi (hotel atau catering), dan penyedia layanan transportasi.

Penyedia layanan penginapan dan konsumsi dipusingkan dengan data dari PB PON yang tidak selaras dengan data yang ia terima, sehingga terjadi pembengkakan anggota kontingen. Kontingen merasa dirugikan karena telah membayar sesuai jumlah yang mereka daftarkan kepada PB PON, sayangnya PB PON tidak mengupdate data sehingga memberikan data lama kepada penyedia layanan penginapan dan konsumsi.

Penyedia layanan transportasi dirugikan dengan fasilitas yang mereka terima. Awalnya mereka mengaku akan diberi fasilitas penginapan dan konsumsi selama terikat kontrak dengan panitia pelaksana, namun pada nyatanya penyedia layanan transportasi tidak mendapatkan fasilitas tersebut. Dampaknya konsumsi yang disediakan untuk kontingen (atlet dan official) terbagi dengan penyedia layanan transportasi. Jika pengaduan akan diajukan, petugas kebingungan pengaduan tersebut kepada siapa harus diajukan.

Konflik-konflik yang terjadi di lapangan tersebut tidak berimbang dengan beberapa petugas yang terlihat tidak melakukan tugas dan fungsinya. Beberapa di antaranya menyadari bahwa keberadaan atau ketidakberadaannya tidak berpengaruh terhadap berlangsungnya kegiatan PON XIX 2016, bahkan mengakui jika dirinya hanya bagian dari penyelesaian penggunaan anggaran.

Penyelenggaraan PON XIX ternodai dari berbagai lini, berbagai pendapat menyatakan bahwa perhelatan PON tersebut sangat minim persiapan. Beberapa kontingen tidak hanya mengeluhkan sportifitas saat pertandingan, tetapi juga pelayanan yang dilakukan oleh tuan rumah. Bahkan ada kontingen yang merasa dirugikan karena pelayanan dirasa tidak sesuai dengan anggaran yang telah mereka keluarkan (ternyata setiap Koni Provinsi membayar untuk mendapatkan pelayanan ketika PON tersebut).

Atlet dianggap menjadi pahlawan pada zaman sekarang, keberadaannya setara dengan para pejuang yang dulu harus maju ke medan perang. Memiliki tugas yang sama untuk mengharumkan nama bangsa di hadapan negara lainnya dengan cara yang tidak sama. Sayangnya bangsa ini sudah terlalu banyak konflik hingga pekan olahraga pun terkena imbasnya.

Persoalan-persoalan yang diutarakan di atas hanyalah permukaan, sama sekali tidak menyentuh persoalan pelik lainnya yang ‘barangkali’ lebih besar. PON mestinya menjadi ajang bergengsi untuk menyeleksi kualitas atlet-atlet bangsa yang kedepannya akan mewakili Indonesia berlaga di kelas dunia.

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Suaka, yang sempat bertugas menjadi relawan PON XIX/2016

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas