Kampusiana

Menyampaikan Paradigma Melalui Karya


Seorang pengunjung sedang melihat pameran foto cerita yang diadakan Komunitas Photo’s Speak di Thee Huis, Taman Budaya Jawa Barat, Senin (15/3/2021). (Syifa Nurul/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Komunitas Photo’s Speak mengadakan pameran photo story bertajuk “PARADIGMA” di Thee Huis, Taman Budaya Jawa Barat, Senin (15/3/2021). Acara ini mempertunjukkan 62 karya dari sembilan pameris dengan proses penggarapan foto selama tujuh bulan. Acara yang berlangsung sejak Minggu (14/3/2021) hingga Kamis (18/3/2021) ini dapat dinikmati secara online melalui Artsteps.

Ketua Pelaksana sekaligus salah satu Pameris Robby Fathan menyampaikan, pameran ini merupakan agenda tahunan yang rutin dilakukan. Adapun pemilihan tema Paradigma untuk menyampaikan pandangan yang belum diketahui atau pandangan yang berbeda terhadap suatu hal kepada masyarakat melalui karya visual.

“Paradigma itu sendiri kan bagaimana cara kita memandang akan sesuatu hal. Kita mengangkat paradigma ini ingin menyampaikan pandangan-pandangan, mungkin dalam masyarakat itu belum mengetahui tentang pandangan itu atau berbeda pandangan dalam menyikapi suatu hal. Nah, kita memvisualisasikannya melalui foto,” ungkapnya di sela pameran.

Robby memamerkan enam karya foto cerita berjudul “Disrupsi Budaya”. Pergeseran nilai budaya Ondel-ondel dari Betawi menjadi alasan ia memilih judul tersebut. Masyarakat Betawi dahulu meyakini Ondel-Ondel merupakan benda sakral, alat untuk mengusir roh halus dan dipakai di acara-acara adat atau kebudayaan Betawi. 

Namun, karena perkembangan zaman dan modernisasi kebudayaan ini mulai ditinggalkan. Sekitar tahun 2016, orientasi dari Ondel-Ondel berubah. Ondel-Ondel digunakan untuk mencari nafkah atau mengamen, sebagaimana dapat kita temui jika berkunjung ke daerah Jakarta. “Tapi di balik cerita itu, ada dua pandangan berbeda. Pandangan dari pengamen, mereka menampilkan Ondel-Ondel di jalanan, mencari nafkah karena ingin menunjukkan kembali budaya yang hilang. Tapi pandangan lain, Ondel-Ondel ini budaya sakral, jadi gak boleh dipakai sembarangan. Kecuali acara-acara kebudayaan,” ungkap Robby.

Meski sudah peraturan yang mengatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI No. 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, Robby mengamini adanya peraturan tapi belum maksimal dalam penegakan. “Makanya yang ingin saya tampilkan di sini bahwa ada dua pandangan yang berbeda tentang Ondel-Ondel ini. Ada yang pro untuk mengamen dan kontra,” bebernya lagi.

Pameris lainnya, Siti Mareta mengambil judul yang berbeda. Siti Mareta memamerkan enam foto dengan judul Unalome. Unalome adalah simbol Budha yang berarti perjalanan hidup menuju pencerahan. Pemilihan judul itu sejalan dengan cerita yang ingin ia bagikan, yaitu perjalannya mencari jati diri (self love). Dalam enam foto tersebut, ia menceritakan tentang body positivity, me time, who am I, overthinking, human error dan self healing.

Misalnya foto body positivity, Siti Mareta berangkat dari pengalaman ketika dulunya ia menjadi korban perundungan karena memiliki badan yang gendut dan tidak proporsional. “Yang ini me time, ini ceritanya adalah saya yang lagi nangis berbicara sama yang lagi senyum, yang gembira. Ini berangkat ketika saya sedang down-downnya. Saya mau telpon temen, tiba-tiba terbersit kenapa saya harus telpon temen saya, kenapa saya gak tanya aja ke diri sendiri, “lo itu kenapa?”,” ungkapnya kepada Suaka sambil menunjukkan fotonya sendiri yang diambil sendiri menggunakan timer.

Salah satu Pameris lainnya, Fakhri Fadlirrahman menceritakan tentang pertambangan di Padalarang. Paradigma masyarakat ketika membahas pertambangan kebanyakan mengarah pada kerusakan alam. Namun, jika dilihat lebih dekat, ada orang-orang yang menggantungkan hidup pada pertambangan. Fakhri meyebutnya sebagai paradoks, satu sisi pertambangan merusak alam, namun di lain sisi ada orang yang hidup dari pertambangan.

“Aku pengen kasih tau ke orang-orang, kalau di balik dampak kerusakan yang ada dari pertambangan itu ada orang-orang yang hidup loh dari sana. Kalau misalkan tambang itu ditutup, orang-orang ini mau kerja apa? Sedangkan lapangan pekerjaan semakin susah kan. Jadi emang ada seperti paradoks.” Pungkasnya sambil bercerita di depan karya fotonya yang diberi judul “Angkaribung.

Selain pameran foto yang dilaksanakan secara offline dan online, Komunitas Photo’s Speak turut menghadirkan ragam diskusi yang dilaksanakan secara online membahas pembuatan Foto Zine, Diskusi fotografi bersama Pameris dan diskusi tentang “How Photo tell Story”.

Reporter: Awla Rajul/Suaka

Redaktur: Fauzan Nugraha/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas