Kampusiana

Menyelamatkan Hak Pendidikan di Desa Moro-moro

Suasana diskusi tentang pendidikan di Moro-moro, Mesuji Lampung yang diseenggarakan oleh LPM Suaka, DPR Society dan Suar Alterasi, Selasa (15/12/2015) di DPR UIN SGD Bandung. (Suaka/Adi Permana).

Suasana diskusi tentang pendidikan di Moro-moro, Mesuji Lampung yang diselenggarakan oleh LPM Suaka, DPR Society dan Suar Alterasi, Selasa (15/12/2015) di DPR UIN SGD Bandung. (Suaka/Adi Permana).

SUAKAONLINE.COM – Pendidikan sejatinya bisa dirasakan oleh setiap orang. Akan tetapi sampai sekarang masih ada di beberapa daerah pelosok tanah air yang sulit mendapatkan akses pendidikan. Salah satunya yakni terjadi di Desa Moro-moro, Kabupaten Mesuji, Lampung.

Di tempat itu, akses pendidikan untuk pelajar masih sulit. Saat ini di Moro-moro terdapat empat sekolah dasar, namun dua diantaranya ditutup karena terjadi sengketa lahan dengan perusahaann swasta. Sementara dua lagi juga terancam akan ditutup.

Atas dasar itulah, LPM Suaka, DPR Society, Rumah Bintang dan Suar Alterasi menggelar aksi solidaritas untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak di Desa Moro-moro, Selasa (15/12/2015) di Bawah Pohon Rindang (DPR) UIN SGD Bandung.

Warga Moro-moro sendiri merupakan transmigrasi dari Jawa dan Bali ke Lampung sejak 1996. Di sana mereka menempati tanah negara yang hak kelolanya dimiliki oleh perusahaan bernama PT Sylva Inhutani sejak 1917, namun perusahaan itu mengalami kebangkrutan saat krisis moneter. Warga kemudian menempati lahan itu dan mendirikan perkampungan, salah satunya adalah Desa Moro-moro.

Proses pendidikan di Moro-moro sudah berlangsung sekitar 14 tahun dengan menghasilkan banyak lulusan siswa SD. Namun konflik agraria dan pembentukan daerah otonomi baru  yang terjadi pada 2006 hingga 2011 berimbas pada pendidikan di Moro-moro, yakni soal perindukan SD ke sekolah lain. Akan tetapi proses perindukan itu tidak terlaksana, karena persoalan birokrasi.

“Namun siswa SDN Moro Dewe 2 dan SD Moro Dewe malah diminta menandatangani perjanjian seluruh siswa Moro Dewe akan belajar di SDN 2 Bokoposo dan sekolah jarak jauh (penginduk) tidak diperbolehkan,” kata press release yang diterima Suaka.

Alasan tidak diperkenankannya yakni karena jika mengajar di kawasan Moro-moro dianggap melanggar UU no 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantas perusakan hutan. Juga UU no 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan bupati yang akan menerima jika ada keputusan surat dari Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup terkait ijin pelayanan hutan.

Menurut Niki, Volunteer Rumah Bintang sekaligus orang yang menginisiasi gerakan penyelamatan pendidikan di Mora-mora mengatakan persoalan tersebut termasuk kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Karena kan pendidikan itu harus dinikmati oleh setiap orang, nah di Mora-mora ada anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan karena sengketa itu,” ucapnya.

Ia mengatakan akibat dari permasalahan itu membuat siswa di kedua SD tersebut tidak jelas dan proses belajar mengajar pun tidak terlaksana. Oleh karenanya dirinya bekerjasama dengan semua pihak mengupayakan untuk mengaktifkan sekolah tersebut. “Kita sudah melakukan audiensi,” katanya.

Selain itu kabar lain bahwa masalah perindukan dua SD lainnya yakni SDN Sukamakmur dan Moro Seneng juga terancam ditutup. Sambil menunggu peroses berakhirnya persoalan itu, Niki pun berusaha mendirikan rumah belajar di lokasi tersebut untuk tetap menyediakan ruang belajar untuk siswa yang akses pendidikannya terhambat. “Kita mengumpulkan donasi berupa buku-buku, uang dan materi lain,” ujarnya.

Niki berencana untuk membuat sebuah petisi di change.org untuk menghimpun dukungan lebih masif. Dan berharap agar proses perindukan sekolah bisa terselesaikan. “Sambil menunggu itulah makanya kita bikin rumah belajar,” ucapnya.

Reporter: Adi Permana

Redaktur: Robby Darmawan

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas