Oleh: Mr. Kurtubee Dakeh *)
Pattani termasuk di antara tiga negeri Melayu yang menggunakan gelar “Darussalam” di belakang namanya. Dua negeri Melayu lain yang menggunakan gelar ini adalah Aceh dan Brunei. Ketiga negeri darussalam ini ditakdirkan memiliki sejarah dan perjalanan politik yang sangat jauh berbeda.
Brunei Darussalam merdeka sebagai sebuah negara yang kaya dan mewah. Sedangkan Aceh, meski gagal mendapatkan kemerdekaannya sendiri seperti yang pernah diperjuangkan rakyatnya, namun ia tetap di bawah kekuasaan negeri serumpun: Indonesia. Selain itu, Nangroe Aceh Darussalam memperoleh keistimewaan dengan menikmati beberapa kekuasaan dan hak-hak khusus, lebih daripada wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Di antara keluarga Darussalam ini, hanya Pattani yang bernasib malang. Ia harus rela dikuasai oleh bangsa Thai yang asing dan di luar rumpun Melayunya. Pattani Darussalam juga tidak mendapat otonomi maupun status istimewa dalam bidang-bidang yang menjadi haknya, seperti masalah kehidupan beragama atau pun soal penggunaan bahasa dan adat resmi Melayu. Ya, seluruh sistem yang berlaku di Pattani memang berpusat di Bangkok.
Ironisnya, istilah Darussalam bermakna “Negeri yang Aman”, “Negeri Keselamatan”, atau “Negeri yang Sejahtera”. Tidak diketahui pasti, siapa yang memberi gelar ini kepada Pattani. Namun, yang jelas, nama ini sudah dipakai sejak lama. Nama ini pun tersebut pula dalam Hikayat Pattani, seperti yang disebutkan dalam naskah karangan Prof. A. Teeuw dan D. K. Wyatt (Martinus Nijhoff: 1970).
Hanya Allah yang mengetahui, apakah hikmah dan rahasia di balik nasib Pattani yang seperti ini. Hampir tidak pernah ada yang menduga, jika negeri sebesar Pattani –dengan kuasa dan peran uatamanya sebagai benteng penyekat ekspansi bangsa Siam—tiba-tiba menjadi korban dalam permjainan tawar menawar antara Inggris dan Siam pada awal abad kedua puluh dan pasca-Perang Dunia Kedua.
Rasanya, benarlah kata-kata seorang pedagang asal Pattani yang mengatakan jika Pattani layaknya seorang kakak yang terpaksa berkorban bagi menyelamatkan empat saudaranya. Keempat saudaranya yang terletak di kawasan selatan ini yaitu Kedah, Perlis, Klantan dan Trengganu. Selaku kakak yang letak geografisnya paling dekat dengan Siam, Pattani telah mengorbankan dirinya sendiri demi melepaskan adik-adiknya dari cengkraman bangsa Siam.
Nasib baik rupanya tak memihak pada Pattani. Saat berjuang membebaskan diri dari Siam, berkali-kali Pattani kehilangan peruntungannya. Pada hakikatnya, bukan hanya Pattani yang dikalahkan Siam. Kedah dan Klantan pun termasuk negeri yang kalah. Namun, di antara sekian banyak negeri Melayu yang takluk, hanya Pattanilah yang paling tidak ingin dilepaskan oleh Siam.
Dalam perundingan antara Inggris dan Siam yang menghasilkan Perjanjian Bangkok 1909, kedaulatan Pattani seakan tidak diacuhkan. Padahal, saat itu Inggris ingin membahas soal kedudukan Pattani. Namun, wakil perunding Kerajaan Siam, Edward Strobell menjawab keras: “If that is to be the game, I think we had better abandon the negotiation at once. I am having sufficent difficulty with the king about Kedah, and I am not prepared to go further than the three state I originally named. There are considerable settlements of Siamese in setol, and it might not possible to include the state. As for Pattani it is out the question. As The Siamese Government will never concent to it’s session,”
Peluang untuk merdeka sempat terbuka pada tahun-tahun pertama selepas Perang Dunia Kedua, jika saja bangsa Siam –yang selama perang berlansung, memihak Jepang dan menentang sekutu— ikut dihukum karena kejahatan perang. Sayangnya, hubungan diplomatik masih saja menguntungkan Siam. Saat itu, Inggris terpaksa harus melupakan tuntutannya pada Pattani karena mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan juga ditawari beras cuma-cuma oleh Siam. Selain itu, Inggris juga memang merasa harus terus menjaga hubungan baik dengan Siam terkait peristiwa darurat di tanah Melayu yang meletus tidak lama setelah perang dunia berakhir.
Maka, tinggallah Pattani yang hidup dalam ketidaksejahteraan. Hanya ada kedzaliman, tanpa ada keadilan. Hingga kini, orang Pattani masih tidak bisa menerima hakikat keberadaannya di bawah kekuasaan Siam, yang kini bernama Thailand. Justru, rakyat Pattani masih merasa perlu berjuang untuk mendapat kemerdekaannya.
Harapan saya, semoga tulisan ini bisa menjadi informasi bagi seluruh civitas akademik di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sebuah informasi yang menyatakan jika di suatu tempat yang tak jauh dari kita, ada bangsa yang sedang berjuang memperoleh kemerdekaan atas jajahan Thailand.
*) Penulis adalah mahasiswa jurusan Administrasi Negara//Alih bahasa ke Bahasa Indonesia oleh Fikri Fauzan Hasan