Kampusiana

Pementasan Gegar Geram Gila: Horor dalam Pikiran

Polisi dan sipir menanyakan permintaan terakhir Umar dan Magot sebelum menjalani hukuman mati di pementasan Gegar Geram Gila di Aula Abdjan Soelaiman, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Kamis (28/12/2023). (Foto: Kinanthi Zahra/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – “Hidup saja sudah tragedi!” kata yang diucapkan oleh seorang narapidana. Dialog-dialog penyesalan digemakan kepada para penonton di Aula Abdjan Soelaiman, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Kamis (28/12/2023). Pementasan berjudul “Gegar Geram Gila” oleh Robbi Bayan ini ditampilkan dalam rangka Milad ke-5 Teater Eltra.

Gegar Geram Gila menceritakan tentang pertemuan tiga narapidana, yakni Umar, Magot dan Bara yang membawa berbagai latar belakang kejahatan di dalam satu sel penjara. Umar melakukan aksi terorisme dan merasa yakin akan balasan surga. Magot membalas dendam pada orang-orang yang menyakiti ibunya. Bara membunuh kekasihnya dalam hubungan yang tidak sehat.

Drama ini dibuka dengan adegan pembacaan vonis penjara bagi Bara, menampilkan dirinya yang terpukul dan dikelilingi sosok-sosok seram yang merupakan visualisasi dari penyesalan. Selanjutnya, dialog jenaka penuh konflik antara Umar dan Magot di sel penjara, di mana mereka sering mendapat perlakuan kasar dan arogan dari polisi.

Akhir cerita menghadirkan dua sisi dari Umar dan Magot. Umar yang teguh pada keyakinannya dan tidak merasa bersalah menjalani hukuman mati, sementara Magot yang telah sadar dan ingin bertaubat. Bara, di sisi lain, dihantui bayang-bayang yang merusak jiwanya.

Penulis naskah, Robbi Bayan menjelaskan bahwa Teater Eltra berusaha memberikan nuansa menegangkan dari tema horor, tanpa menghadirkan sosok-sosok hantu yang mistis di masyarakat. “Saya buat ini menjadi horor psikologi, dimana hantu-hantu itu ternyata hanya ada di dalam pikiran,” ungkapnya saat diwawancarai Suaka, Kamis (28/12/2023).

Sementara, proses penulisan memerlukan waktu dua bulan, dengan dua minggu masa riset yang melibatkan tiga orang researcher. Objek riset melingkupi isu-isu yang hendak diangkat, seperti hubungan remaja, terorisme, hingga pemberlakuan hukum.

“Kami melakukan wawancara ke mahasiswa yang mengalami kekerasan dalam hubungan, dan anak (mahasiswa) hukum. Juga mengenai terorisme, bagaimana pemikiran-pemikiran dan dalil-dalil yang mereka gunakan. Saya juga melibatkan satu anggota kepolisian untuk berkonsultasi, bagaimana pembawaan sipir dan bentuk penjara untuk kejahatan kelas tinggi di Indonesia,” tutur Robbi.

Sutradara, Azizah Zita menceritakan tantangan yang dihadapi dalam proses eksekusi naskah yang secara orisinil ditulis untuk pementasan kali ini. Salah satunya ialah karakter-karakter tokoh yang berbeda dengan kepribadian para aktor. Baginya, penting untuk memastikan para pemeran memahami naskah dan mendalami peran saat meninterpesentasikannya ke dalam adegan-adengan.

“Misalnya, karakter Umar yang memiliki latar belakang keagamaan, menggunakan kata-kata seperti panggilan ‘ana-ente’ serta (mengutip) Al-Quran dan hadist. Di sisi lain, Magot yang cenderung sentimental, terlihat dari cara dia memunculkan karakter premannya. Sedangkan untuk Bara, penting untuk mengeksplorasi perasaan psikis yang tak terkendali untuk menggambarkan keadaannya,” jelasnya.

Reporter: Kinanthi Zahra/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas