Kolom

Pemerintah Indonesia dan Segala Problematik Klasik

Ilustrasi: Rini Zulianti/Suaka

Oleh: Fadhilah Rama*

Hiruk-pikuk kehidupan modern kadang melelahkan dan Tuhan sepertinya mendengarkan doa orang-orang yang tinggal di perkotaan, “izinkan kami rehat barang sejenak.” Sampailah kita pada masa krisis saat ini, pemerintah menutup ruang publik pasca pandemi COVID-19 yang menyeruak di sudut-sudut wilayah di bumi.

Ditemani segelas teh hangat untuk berbuka sambil mendengarkan lantunan lagu-lagu dari pustaka digital di gawai. Penulis mengikuti berita terkini dari linimasa, sepertinya kondisi di luar sana begitu parah. Istilah-istilah asing mulai familiar mewarnai kehidupan masyarakat. Social distancing, lockdown, hinggga Work From Home (WFH). Itu imbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk melakukan perkerjaan dari rumah (WFH).

Namun, penulis menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk penanganan wabah COVID-19 ini tidak begitu signifikan. Banyak hal-hal yang perlu diperhatikan, bukan cuman sekedar memberikan imbauan semata, namun bagaimana sepatutnya negara harus bisa hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Gravitasi Birokrasi

Apakah pernah punya pengalaman buruk ketika berhadapan dengan birokrasi? Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini bagaimana sistem birokrasinya masih sangat kolot dan lamban. Masyarakat seakan sudah kebal dengan watak para pegawai birokrasi, uang menjadi pelicin bagi mereka yang sudah jengah dengan gelagat mereka. Ini menjadi sebuah masalah fundamental di dalam tubuh pemerintah yang menjadi sekelumit cabang dari permasalahan lainnya.

Diskursus dan berbagai masalah di tubuh birokrasi ini adalah akibat dari gagalnya mengeliminasi diri dari kepentingan elite penguasa. Melalui Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2004, Pemerintah sejatinya telah menetapkan aturan larangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk bergabung dengan Partai Politik. Padal pasal 2 termaktub, “Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”.

Kalau dilihat dari subtansi adanya peraturan ini adalah dalam rangka menjaga netralitas para abdi negara supaya terhindar dari pengaruh partai politik sehingga dapat memberikan pelayanan yang emansipatif kepada masyarakat. Maka kiranya perlu para PNS ini tidak hanya sekedar dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik, namun juga secara integral harus dijamin dan terjamin agar terlepas dari seluruh praktik politik praktis. Sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu oleh kepentingan-kepentingan yang lain apalagi kepentingan penguasa.

Woodrow Wilson dalam bukunya “The Study of Public Administration” menerangkan bahwa administrasi publik harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari segelintir kepentingan politik.  Melalui konsep dikotonomi politik administrasi, memilah secara tegas batas-batas kewenangan politik dan kewenangan administrasi dalam mewujudkan tujuan negara dan pemerintahan. Keduanya tidak boleh saling mencampuri, tetapi memiliki hubungan kontinum yang langgeng.

Kemudian melansir dalam jurnal Akbar Susilo  yang dikenal public, private, people, and partnership (P-4), penelitian ini mengenai birokrasi dan pembangunan sektor dan bidang sinergis ini mengkritik dinamika yang ada pada birokrasi Indonesia. Salah satunya adalah mentalitas dari para pegawai-pegawai sipil. Sikap pengabdian yang mulia kepada masyarakat telah terkooptasi oleh mental apatis dan oportunis. Sebagaimana sering kita jumpai disampaikan di hadapan publik seperti:

“Saya memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan layanan prima kepada masyarakat, karena hal itu telah menjadi orientasi dan fokus yang dicanangkan oleh pimpinan. Tetapi perlu diingat bahwa pemerintah memiliki keterbatasan, di mana peningkatan kapasitas pemerintah bagai deret tambah, sedangkan dinamika tuntutan masyarakat bagai deret ukur.”

Pernyataan tersebut tidak sepatutnya keluar dari mulut para aparatur sipil karena sama sekali tidak menunjukkan perlambang inisiatif dan kesungguh-sungguhan dalam mengemban amanat publik yang seharusnya melekat pada diri tiap aparatur. Melalaikan sebuah mentalitas yang oportunis karena hanya menurunkan harga dirinya karena lebih dipengaruhi oleh tata pikir subjektif. Dan, sangat tidak elegan untuk menyatakan keterbatasan yang mengakibatkan tiadaannya atau menurunnya mutu pelayanan publik.

Model Birokrasi Bersifat Konvergen atau Terpusat

Selain permasalahan idealisme yang menjadi bahaya laten bagi keberlangsungan pelayanan publik di Indonesia, model birokrasi juga masih cenderung tradisional secara holistik. Dengan mengesampingkan kualitas dari para pegawai yang ada di tubuh birokrasi saat ini, arketipe dari birokrasi di Indonesia ini sangat-sangat berdampak besar bagi penyelesaian masalah-masalah yang ada, bagaimana letak geografis juga mempengaruhi pelayanan publik kepada masyarakat.

Di Indonesia model birokrasi bersifat konvergen atau terpusat, padahal Indonesia merupakan sebuah negara kontinental yang memiliki cakupan wilayang yang luas. Model tata kelola tersentralisasi seperti ini jelas menghambat laju pergerakan informasi dan keputusan. Selain itu tingkat kemajemukan yang tinggi di Indonesia mencakup faktor-faktor ekologis membuat dibutuhkannya sebuah arketipe yang fleksibel – disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di suatu daerah.

Dalam hal ini Akbar Susilo menuliskan; perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan berbeda dan menuntut program pembangunan yang berbeda pula. Berdasarkan kemajemukan yang ada maka penting kalanya untuk menggeser paradigma dari pendekatan ideografi ke nomotetik, dan dari pendekatan struktural ke pendekatan ekologi. Sejalan dengan itu, maka sistem birokrasi di bagian-bagian wilayah di Indonesia mesti beradaptasi dan merespon karakteristik daerahnya sendiri sesuai kearifan lokalnya, mencakup gatra : geografis, demografis, kekayaan alam, politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Mengutip dari Fred W. Riggs dalam Prismatic Society, sebuah istilah  yang menggambarkan kondisi masyarakat saat ini dimana terjadi sebuah evolusi peradaban. Yang mengubah masyarakat yang memiliki karakteristik tradisional menjadi masyarakat modern, masa transisi ini adalah peralihan dari masyarakat post-agraris menuju masyarakat pra-modern.

“Ada tiga ciri utama pada masyarakat prismatik yakni; heteroginitas, overlapping, dan formalisme. Ketiganya membentuk sebuah struktural fungsional atau biro pemerintahan yang membentuk pola perilaku mendasar. Apabila satu struktur menjalankan sejumlah besar fungsi, maka stuktur tersebut ‘tersebar secara fungsional’ atau dikenal dengan model berpencar (diffracted). Jika struktur tersebut menjalankan fungsi hanya sebagian kecil, maka struktur tersebut ‘terkhusus secara fungsional’ atau disebut juga model memusat (fused).”

Setali tiga uang, Akbar Susilo mengembang konsep birokrasi kontekstual dengan pendekatan desentralisasi. Munculnya industri-industri di perkotaan menyebabkan timbulnya urbanisasi. Menurutnya, semakin dekat episentrum birokrasi pada suatu wilayah masyarakat yang dilayani, birokrasi akan semakin bermakna dan akomodatif dalam memberikan pelayanan kepada publik. “Model ini juga berarti lebih menonjolkan faktor ekologis terdekatnya secara eksternal serta penguatan dimensi budaya organisasi secara internal yang terbentuk dari kearifan lokalnya.”

Patologi di dalam birokrasi inilah yang membuat perlu adanya skema reformasi birokrasi secara holistik dan secara global, agar pelayanan birokrasi bisa meningkat. Penulis percaya hal ini memanglah tidak mudah, daripada menjaganya hanya bertekun utopia, pemerintah harus me-reformnya menjadi protopia yang sedikit demi sedikit terbentuk.

Ilusi Kapitalisme

Penjabaran sistem kapital sangatlah luas, dimulai dari permulaan abad di Indonesia hingga hari ini. Tidak ada satu orang pun yang tau bilmana dan kemana ujung dari sistem yang menghisap keringat layaknya lintah darat ini akan berakhir. Sepertinya tidak cukup hanya bertahan hidup dengan menunggu revolusi menjemput dan berharap keadilan yang merata berada di pihak kita.

Bagaimanakah ‘kakek beton’ dan ‘nenek minyak’ dari negeri yang makmur itu akan berhenti mendatangi negeri kita bak ksatria menawarkan segenggam kemakmuran yang fana. Belanda memang sudah lama angkat kaki dari Bumiputra, namun kebiadabannya masih terasa bahkan berlipat ganda. Tak butuh waktu lama sampai negeri meratapi dan menyadari bahwa kemerdekaan hanyalah ilusi dan sampai menyadari pribumi menindas pribumi. Pola pikir kolonialisme beranak-pinak menyebar ke seluruh pelosok negeri.

Berangkat dari tulisan Suakaonline mengenai Hubungan Wabah Penyakit, Industrialisasi dan Omnibus Law, terlihat jelas bagaimana korelasi antara negara, lingkungan, dan juga sistem kapital yang ada. Yang menarik adalah sirkulasi kapital tidak terjadi begitu saja, ada banyak elemen dibelakangnya yang menopang, namun secara simplistik yang bercokol kapitalisme. Sulit rasanya mengkodifikasinya menjadi satu elemen besar tanpa mengetahui hal-hal kecil yang berkesinambungan, karena untuk bisa mengenalinya dengan betul haruslah dari hal-hal kecil tersebut.

Kapitalisme saat ini sedang diuji untuk bisa seberapa tangguh ia bisa bermanuver. Salah satu teori tentang ekonomi, Teori Keynes. Populernya teori ini sekaligus menandai berakhirnya Teori Laissez-Faire, suatu keyakinan bahwa negara tidak perlu ikut campur dalam menopang perekonomian makro. Maka, Teori Keynes berpendapat sebaliknya bahwa negara harus melakukan intevensi guna menjaga stabilitas pasar.

Teori Keynes merupakan salah satu penguat kapitalisme. Dalam bukunya Marx Vol 1 yang menjelaskan mengenai arus akumulasi modal yang difokuskan pada surplus kapital, ada relasi dengan pekerja. Dalam Teori Keynes tersebut dijelaskan, pemerintah perlu meningkatkan pengeluarannya. Uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga masyarakat akan terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaanya. Dengan begitu permintaan agregat akan bertambah.

Dalam masa pandemi COVID-19 ini membuat perputaran yang cepat namun aktivitas akumulasi kapital terhambat. Akibatnya, surplus value sulit terwujud di pasar. Untuk mengatasi hal ini, mulailah para pemodal membujuk pemerintah untuk mengeluarkan regulasi. Di sini peran pemerintah hadir untuk melakukan proteksi ekonomi agar pasar tidak kolaps.  Lalu apa salahnya? Memperkuat ekonomi sama dengan menjaga kemanusiaan bukan? karena manusia bergantung pada ekonomi.

Ekonomi memang mempengaruhi kehidupan sosial. Maka dari itu Karl Marx menaruhnya dalam gatra struktur (di bawah superstruktur) menjadi landasan dasar. Namun, itu hanyalah ilusi semata. Satu-satunya yang diuntungkan dari penjagaan ekonomi makro ini hanyalah kaum borjuis yaitu para pemodal. Kapitalisme hanya peduli dengan pangsa pasar dan tentang kemanusiaan itu hanyalah bonus. Kita tidak bisa menyelamatkan kemanusiaan dengan rumus atau teori ekonomi.

Dalam memperlihatkan jati diri yang sesungguhnya, seperti halnya dikutip dari Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo tempo lalu, sebelum akhirnya ia memutuskan lockdown untuk kawasan metropolitan Accra dan Kumasi, Nana mengatakan “We know how to bring the economy back to life. What we don’t know is how to bring people back to life.”

Lagi dan lagi negara tunduk dihadapan kapitalisme. Interior masyarakat diperkedil, “kamu manusia apabila kamu memiliki materiil (uang, harta), dan non-manusia jika tidak memiliki properti”. Di atas kertas tak semua berkilau sebegitu indahnya untuk bisa menjalani WFH. Karena ini masalah kemanusiaan, yang beruntung tutup mata sambil dengan pongahnya kampaye #dirumahaja lewat gawai cerdas dengan pendingin ruangan diatas sofa yang empuk.

Pandangan ini amatlah dipengaruhi oleh pemikiran John Rawls dan Immanuel Kant bahwa ketidaksetaraan hanya diperbolehkan jika ia memberikan keuntungan untuk pihak terlemah yang ada di masyarakat. Bukan para budak, bukan kaum hamba (serf), bukan kaum pengrajin, bukan juga kaum pekerja manufaktur, melainkan kaum proletariat.

Dari sedikit hal-hal diatas tak Esanya membentuk belenggu pada masyarakat kelas menengah kebawah, yang setotoknya menciptakan kemiskinan terstruktur. Bagaimana jika ternyata kita telah miskin karena sistem yang cacat ini? Malang sekali nasib kita. Mereka terjembab ke dalam lubang-lubang ekonomi, setahun berhasil keluar dari lubang tersebut kemudian mendapati yang lainnya secara bergantian masuk ke dalam lubang.

Mungkin masih banyak hal yang perlu didiskusikan bersama, melingkar tak hanya kaum elite tapi juga pelbagai spektrum masyarakat. Namun yang terpenting adalah membangun semangat dalam tubuh pemerintahan, karena jantung perbaikan adalah mereka yang memiliki akses diplomatis.

Seperti dalam lirik lagu Nosstress Bali, yang judulnya Semoga, “Semoga ya hari ini lebih baik dari hari kemarin”. Semoga tidak hanya menjadi ke-semogaan belaka dan melalui pandangan yang terus berulang. Genggamlah kehidupan dan katakan “Ya” pada segala kompleksifitas manusia (Ja Sagen). Karena sejak awal penulis percaya, Tuhan menata baik dunia ini. Dan sekarang kami berharap pada pemerintah, tidak ada yang lebih berharga dari masa depan yang lebih baik.

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Teknik Elektro semester 6 dan Pengurus LPM Suaka bidang IT Development

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas