Oleh : Ade Alwi Anwar
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusast pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresivitas mereka dalam merespon gejala sosial daripada kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Namun fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat insitusionalisasi, transpolitisi dan depolitisi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercabut dari realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyarakatan yang semestinya diambil. Mahasiswa pun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya, karena disamping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis masyarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal seperti itu, semestinya mahasiswa-mahasiswa dapat mengambil peran kemasyarakatan yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus dan masyarakat.
Sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan dan dalam setiap kabangkitan pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Mahasiswa sebagai simbol dari kehidupan pemuda dengan corak kebudayaan yang otonom dengan sendirinya akan membedakan dirinya dengan masyarakat lainnya. Mahasiswa adalah kelompok lapisan masyarakat yang dalam jajaran stratifikasi sosial memiliki kelas khusus. Kalau diperbincangkan senantiasa menjadi tema menarik dan aktual.
Simbol kemahasiswaan yang melekat pada dirinya akan membawa ciri khas tersendiri untuk tampil di tengah-tengah masyarakat. Piramida Maslow dalam posisi yang ideal dimana mahasiswa tersebut menjadi jembatan atas aspirasi dari kaum akar rumput (masyarakat bawah) dengan penentu kebijakan yaitu kaum elitis. Oleh karena itu, jelas bahwa keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi mengemban tanggung jawab sosial dari masyarakat.
Posisi mahasiswa sangat strategis untuk dimanfaatkan, di mana mahasiswa mempunyai peluang untuk menjadi salah satu control power terhadap kebijakan-kebijakan kaum elitis dalam memberikan respon terhadap aspirasi masyakat awam. Sangat dipahami bahwa terkadang kebijakan elitis yang lahir tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Perlu diingat bahwa tanggungjawab sosial mahasiwa dalam mengontrol berbagai kebijakan elitis bukan hanya pada aspek politis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu mengakomodir dan memberikan respon secara general terhadap keseluruhan peraturan dalam berbagai aspek kehidupan.
Mahasiswa harus peka dan tanggap terhadap setiap kebijakan yang ada. Namun tafsiran peran tersebut mengalami kekeliruan. Aspirasi kepentingan selalu disalurkan dalam bentuk demonstrasi dan terkesan anarkis. Gerakan dalam rangka pembaharuan dan perubahan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat adalah sesuatu yang sah, akan tetapi satu hal yang perlu diingat oleh mahasiswa adalah bahwa dalam menyampaikan aspirasi harus senatiasa berdasarkan pada azas logika, etika dan estetika.
Secara keseluruhan, tidak semua mahasiswa bisa mengemban tanggung jawab sosial seperti yang telah dikemukakan di atas. Penyebabnya adalah karena karakteristik dari setiap mahasiswa itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran untuk memposisikan diri bukan semata-mata sebagai seorang egaliter yang sangat egois terhadap status yang melekat pada dirinya sebagai mahasiswa yang harus dilayani oleh orang tuanya dan masyarakat yang memberikan amanah kepada mereka. Akan tetapi lebih dari itu seorang aktifis dan akademisi harus mampu memadukan antara kepentingan dirinya sebagai aksentuasi dari amanah orang tuanya dengan realitas di luar dirinya.
Dalam proses perubahan sosial dan kebudayaan mahasiswa memiliki posisi dan peranan yang essensial. Ia sebagai transformator nilai-nilai dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya dan merintis perubahan dalam rangka dinamisasi kehidupan dalam peradaban yang sedang berjalan. Sebagai langkah taktis dan preferensi pengembangan ke depan, mahasiswa harus memiliki empat kekuatan di antaranya Kekuatan Moral, kekuatan kontrol sosial, kekuatan intelektual dan kekuatan profesional proforsional.
Oleh karena itu mahasiswa harus berani mengambil peran-peran strategis tersebut. Sebagai kekuatan moral dan Kontrol sosial, mahasiswa harus mampu bersentuhan dengan aksi-aksi pembelaan kaum tertindas. Pada tataran mikro secara aktif menjadi kelompok penekan terhadap kebijakan refresif di tingkat kampus. Pada tingkat makro mampu melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terpinggirkan.
Mahasiswa sebagai kekuatan intelektual harus mampu melakukan pengembangan dan pembangunan komunitas intelektual dengan melakukan kajian-kajian strategis dan membentuk kelompok-kelompok studi sebagai basis pembentukan reading and intellectual society serta penciptaan kultur akademis dengan menciptakan hubungan yang egaliter antara dosen dan mahasiswa.
Mahasiswa sebagian dari intellectual community yang menduduki posisi strategis dalam keterlibatannya melakukan rekayasa sosial menuju independensi masyarakat, dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam posisinya sebagai komunitas terdidik, mahasiswa merupakan salah satu kunci penentu dalam transformasi menuju keadilan dan kemakmuran bangsa, di samping dua kelompok strategis lainnya yaitu kaum agamawan dan masyarkat sipil yang mempunyai kesadaran kritis atas situasi sosial yang sedang berlangsung saat ini.
Secara sederhana posisi mahasiswa bisa digambarkan sebagai sosok yang berada di tengah level. Di masyarakat menjadi bagian masyarakat, di kalangan intelektual mahasiswa juga dianggap berada di antara mereka. Dengan kata lain keberadaan mereka di tengah-tengah level apapun mempunyai nilai strategis.
Ketika mahasiswa dikatakan Dewa Pelajar secara tidak langsung mahasiswa masa kini harus lebih peka karena identitas kemasyarakatan sekarang lebih bagaikan dalam dunia seni : sosok baru dan karya baru yang akan tampil tak akan pernah terramalkan (Apabila teramalkan bukan lagi seni, bukan lagi masyarakat). Namun segala kebaruan pun tak punya arti hanya karena ia baru. Dan sebaliknya, segala tradisi bernilai tidak hanya karena ia tradisi. Kebermaknaan selalu membutuhkan pergumulan antara anak dan ayah.
Dalam dunia teknologis macam saat ini betapa pun juga konsep identitas kemasyarakatan banyak ditentukan oleh interaksi ketat antara teknologi dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, di mana masyarakat adalah teknisi sekaligus laboratoriumnya, pengeksperimennya. Ilmu-ilmu kemasyarakatan saat ini adalah konfigurasi baru dari reflektivitas jaman dahulu yang kini karakter sudut pandang dan tendensinya lain.
*Penulis adalah mahasiswa Bahasa Sastra Arab dan aktif di Keluarga Mahasiswa Jawa Tengah (Bandung Raya)