[Suakaonline]-Untuk kali kedua, setelah di Tasikmalaya, buku antologi puisi “Sakarotul Cinta” karya Matdon dibahas kembali, kali ini bersanding dengan buku antologi puisi “Matajaman” karya Budhi Setyawan, Jumari HS, dan Sosiawan Leak dalam diskusi interaktif bertajuk “Perang Puisi: Sakarotul Cinta vs Matajaman” di Rumah Dunia, Sabtu (21/01). Pembicara yang hadir yakni Toto ST Radik dan Bambang Q-Anees dengan moderator Rahmat Heldi. Dimulai sejak pukul 20.30 WIB sampai 23.00 WIB. Tidak kurang dari 50 peserta hadir di dalamnya.
Dalam acara tersebut juga turut hadir esais, Tandi Skober, beberapa penyair seperti Firman Venayaksa, Dian Veronica, Bunyamin Fasya serta novelis Gol A Gong dan Tias Tatanka, serta beberapa pejabat setempat. Acara yang digelar di halaman Rumah Dunia, Serang, Banten tersebut dibuka dengan sambutan dari Gol A Gong dan ketua pelaksana acara, penyerahan cinderamata berupa buku “Seribu Sujud Seribu Masjid” oleh penulisnya, Tandi Skober kepada Gol A Gong, serta pembacaan puisi dari Matdon, Budhi Setyawan dan Sosiawan Leak.
Di awal pembahasan, Toto ST Radik dalam pemaparannya tentang Matajaman, mengatakan bahwa antologi puisi ini merupakan kesaksian penulis terhadap peristiwa-peristiwa besar yang ditulisnya kembali ke dalam puisi.
“Antologi puisi Matajaman merupakan kesaksian penulis dalam merekam peristiwa-peristiwa (besar) yang dilihat oleh mata mereka, yang lantas disuarakan kembali kepada kita melalui puisi. Ketiga penyair ini dalam antologi tersebut sepakat untuk memberi kesaksian terhadap berbagai peristiwa di zamannya,” paparnya.
Toto memandang bahwa puisi-puisi yang terangkum dalam Matajaman menggambarkan kondisi negeri ini dalam sudut pandang penulisnya. “Barangkali memang benar bahwa negeri telah sungguh-sungguh sekarat dan sedang menuju kuburan, setidaknya jika kita membaca puisi-puisi yang terangkum dalam Matajaman. Barangkali pula, penyebabnya adalah karena saat ini kita tengah atau mengalami sakarotul cinta,” katanya.
Bambang Q-Anees, pembicara selanjutnya, menambahkan bahasannya tentang karakteristik puisi yang ditulis Matdon dalam “Sakarotul Cinta”.
“Matdon lari dari (realitas) dengan mengarahkan kesadarannya dan kemarahannya pada perempuan. Matdon seperti mengajak untuk melarikan diri dari situasi ini kepada cinta,” tuturnya.
Bambang menjelaskan, dalam jenis puisi pamflet, seorang penyair akan mencatatkan kemarahannya lewat puisi dengan tujuan menemukan pembebasan bagi para pembacanya. Kedua antologi tersebut, menurutnya tidak bisa dibandingkan untuk memilih mana yang lebih baik.
“Tidak semua orang sanggup mencatatkan kemarahannya. Namun seorang penyair mampu mencatatkannya dengan indah. Kita akan menemukan kebebasan ketika membacanya. Namun, saya fikir kedua antologi tersebut tidak bisa saya perbandingkan untuk memilih mana yang lebih baik.”
Meski dalam situasi “perang” kedua pembicara menilai bahwa dua kumpulan karya puisi yang dibahas berakhir “draw”. “Meski begitu, kita tidak berani karya (puisi) mana yang lebih baik. Atau jenis puisi seperti apa yang baik. Itu tergantung pembaca. Namun yang pasti keempat penulis ini telah sangat baik dalam merefleksikan kemarahannya terhadap realitas melalui puisi,” kata Toto.
Saat diwawancarai mengenai diskusi tersebut, Gol A Gong, yang juga pendiri Rumah Dunia, mengatakan bahwa diskusi berupa Perang Puisi ini adalah pertama kali di tahun 2012 ini. Meski konsep acara yang dibawakan agak berbeda. Namun acara serupa seperti membahas puisi, cerpen, teater dan karya lainnya secara rutin diselenggarakan oleh Rumah Dunia.
“Kegiatan tahun 2012 dibuka sama perang puisi, nanti ada tarung panggung teater, sebulan sekali. Dan tiap bulan itu ada dua kegiatan yang akan rutin, perang puisi dan tarung panggung, sifatnya nasional. Siapa aja boleh. Kegiatan ini selain dari kegiatan rutin seperti kelas menggambar untuk anak-anak, kelas menulis dan kelas puisi,” katanya.
Gol A Gong menitipkan pula pesan dalam hal menulis, “Menulislah karena kau akan hidup selamanya,” katanya. Diskusi berakhir dengan pembacaan puisi dan ditutup dengan Pesta Duren.[] Fauzan/SUAKA