
Salah satu pemantik sedang memaparkan materi dalam diskusi bertajuk “Perempuan dan Agama: Ruang Kebebasan atau Belenggu?” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Kota Bandung, Kamis (6/3/2025). (Foto: Zahra Zakkiyah/Magang)
SUAKAONLINE.COM – Dalam diskusi yang bertajuk “Perempuan dan Agama: Kebebasan atau Belenggu?” menghadirkan seorang Baha’I dan Buddhis sebagai pembicara di Perpustakaan Ujung Tembok, Kota Bandung, pada Kamis (6/3/2025). Diskusi ini membahas mengenai pengalaman khas mereka sebagai perempuan dalam umat beragama.
Pemateri Baha’i, Venus, berpendapat bahwa kebanyakan dari masyarakat melihat perempuan dan agama sebagai dua sisi yang berbeda sehingga berdampak pada kasus kekerasan atas nama agama yang menjadikan perempuan sebagai korban. “Hal itu yang membuat aku melihat bahwa kedua isu ini harus disatukan dan harus kita bahas,” ujar Venus saat diwawancara, Kamis (6/3/2025).
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Baha’i memandang perempuan itu setara dalam hal apapun. Namun, kerap kali dalam praktiknya terjadi ketimpangan akses terhadap kesempatan berekspresi di ruang publik maupun di sektor domestik. “Arogansi patriarki itulah yang kerap menjadi pembatas bagi perempuan untuk turut andil berkontribusi,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, pemateri dari kalangan Buddhis, Diantika Sujanta, menjelaskan bahwa Buddha sudah sedari dulu menggaungkan kesetaraan untuk perempuan karena Buddhis mengajarkan bahwa baik buruknya seseorang hanya ditentukan dari moralitas orang tersebut. “Dalam pandangan Buddhis, perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam memimpin termasuk dalam hal keagamaan seperti dalam memimpin sembahyang,” ujarnya.
Ia bercerita bahwa masyarakat dahulu sangat patriarki. Kemudian, Buddha memberikan ruang kebebasan pada perempuan, salah satunya ialah menjadi biksuni meskipun dalam penerapannya memiliki tantangan tersendiri.
“Setelah mengizinkan perempuan sebagai Biksuni lahir lah peraturan-peraturan yang melindungi perempuan. Salah satunya kalau dia tinggal di Vihara itu harus ada biksunya. Kemudian, seorang perempuan yang ingin jadi biksuni harus ditahbis oleh sangha biksuni dan itu menjadi tantangan sekarang dalam beberapa mazhab karena sempat terjadi kekosongan. Pada saat itu beberapa biksuni dibunuh sehingga sisa tiga dan susah untuk mentahbiskan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa semua ajaran menetapkan aturan terkhusus bagi perempuan. Namun, ia pun menyadari bahwa masyarakat memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyikapi aturan tersebut. Diantika pun menegaskan agar masyarakat lebih bijaksana dalam menyikapi kebebasan perempuan.
Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan. Mulai dari kalangan mahasiswa, pelajar, instansi, hingga masyarakat umum. Salah satu peserta diskusi dari Jaringan Advokasi Jawa Barat (JAJ), Arfi Pandu Dinata, mengapresiasi kegiatan diskusi yang mengangkat perspektif minoritas terhadap isu perempuan dan agama. “Saya melihat secara pribadi pembicaraan soal perempuan dan agama ini masih langka. Apalagi pemantik diskusinya dari dua penganut agama yang kurang populer di tengah perbincangan agama-agama, yaitu Buddhis dan Baha’i,” jelasnya.
Arfi juga menyayangkan mekarnya patriarki dalam sektor kehidupan yang mengakibatkan berbagai regulasi, tafsir ayat suci, dan pemikiran-pemikiran yang muncul cenderung ditafsirkan sekadar secara maskulin sehingga sering kali perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap. “Ya, saya pribadi kurang sejalan dengan pemahaman yang seperti itu karena agama itu bukan hanya milik laki-laki saja,” ungkapnya.
Ketua pelaksana sekaligus penggagas diskusi, Ucu Cintasi, berharap diskusi yang diselenggarakan mampu menampung pemikiran-pemikiran minoritas yang jarang didengar. Setiap perlakuan apapun itu terhadap perempuan pasti melibatkan banyak pihak terutama negara. “Saya menilai bahwa ketika negara mau memenuhi, melindungi, dan menghormati hak asasi perempuan maka perempuan akan mendapat kemerdekaannya sebagai warga negara yang utuh dalam beragama dan berkeyakinan,” tutupnya.
Reporter: Muhamad Seha/Magang
Redaktur: Mujahidah Aqilah/Suaka