Kolom

Perempuan dan Hantu-Hantu Problematik Klasik

(Dok.Suaka)

Oleh Annisa Dewi Anggri Aeni*

Perkembangan zaman yang semakin kritis membuat perempuan jelas tidak cukup berada diranah domestik. Karena sejatinya, peran perempuan dan laki – laki itu sama, baik dalam ranah publik maupun domestik. Sudah menjadi karakter kehidupan manusia dimana manusia adalah mahluk zoon politicon. yang jelas menunjukkan adanya relasi dirinya hidup dengan sejumlah individu, masyarakat, baik dalam desa atau kota, keduanya merupakan ranah publik. Dilematis tentu muncul disatu sisi watak kehidupan manusia telah mengkonstruksi manusia menjalani hidup yang menhkhususukan dirinya untuk hanya berkiprah di rumah, diantara keluaraga yang menganggap wilayah domestik.

Stereotip peran gender yang melekat di masyarakat  memang sulit diruntuhkan, dari lingkungan terkecil seperti keluarga misalnya. Apabila dalam satu keluarga memiliki anak laki–laki terlebih anak sulung, maka beban tanggung jawab akan lebih besar. Sering kita mendengar ”kamu anak laki–laki mesti jadi tulang punggung keluarga, kamu laki–laki harus bisa segala hal”. Padahal, baik laki–laki maupun perempuan memiliki peran yang sama. Diskrimanasi yang kerap terjadi menjadikan posisi perempuan semakin terlihat lemah.  Kita tahu bahwa keluarga bukan suatu komunitas yang tertutup: isolasinya ditentukan oleh komunikasi yang dibentuk dengan kesatuan – kesatuan sosial lainya.

Terjadi imperialisme kultural disana, bahwa ada pemaksaan laki-laki dan perempuan untuk mengikuti kultur yang berkembang di masyarakat yang jelas-jelas bias gender. Pandangan umum soal gender yang berdiri tegak di kepala dan tertanam sejak lama sangat sulit diruntuhkan. Pemaksaan karakter yang membuat diri bisa saja mandek untuk berkembang dan beraktualisasi diri. Ada batasan- batasan yang diciptakan untuk mendomestikasi perempuan, sehingga mengurangi partisipasi dan keproduktivitasan. Di era yang fleksibel seperti sekarang, kita dituntut untuk bisa bergerak cepat dan berkarya.

Perempuan yang bekerja seringkali digugat eksistensinya, mengandalkan dalih jenis kelamin dan tingkat emosional semakin mengkerdilkan perempuan di ranah publik, apalagi bila  kemudian hari banyak posisi yang strategis didudukinya. Namun, stereotip gender masih saja melekat, perempuan dianggap terlalu membawa perasaaan, mengedapankan emosianal sehingga lupa dengan kerja struktural. Menyalahkan jenis kelamin bukan cara yang tepat untuk mengkritisi kinerja perempuan. Pun dengan memuji, bila masih berputar di sekitar fisik artinya masih menganggap perempuan sebagai mahluk sensual padahal perempuan dan laki laki mestinya berelasi untuk saling menghormati tanpa memandang sebelah mata yang lain.

Sebab lainya adalah dianggap tidak becus melakoni pekerjaanya. Wacana tersebut dinilai sebagai wacana usang yang tidak dapat dibuktikan secara nyata tidak dapat dipungkiri  banyak perempuan yang juga mengambil bagian penting di ranah produktif. Meskipun pada tataran kenyataan, perempuan masih saja dilekatkan dengan tiga hal; sumur, dapur dan kasur, yang artinya, dari hal tersebut, muncul anggapan bahwa perempuan belum mampu keluar secara utuh tanpa tendensi apapun.

Pelekatan pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki sudah sejak lama diyakini kebenarannya. Perempuan dianggap bidadari rumah yang mestinya melakukan pekerjan rumah, padahal laki–lakipun sama membereskan rumah, mencuci piring atau sekadar menyapu. Sialnya memandang rendah laki–laki karena hal tersebut terus mengalir, jika ditelaah lebih lanjut bukankah memang sudah menjadi kewajiban bersama.

Bukan berarti perempuan tidak bisa berkiprah di luar, terjun di politik misalnya. Sekarang tersedia jatah 30% di parlemen, angka yang tidak lebih dari setengahnya dari presentase yang ada. Nyinyiran bahwa perempuan sumber masalah masih berlangsung hingga sekarang. Di suatu acara diskusi di UIN SGD Bandung yang diadakan oleh UKM WSC (Women Study Centre) sebagai peringatan  hari Kartini, salah seorang pemateri mengatakan, untuk terjun di dunia politik bukan saja butuh kemampuan, tetapi materi yang tidak bisa disebut sedikit, bisa dilihat perempuan yang masuk dalam perpolotikan mereka yang sebelumnya menjadi publik figur, meski tidak semua.

Saat ini, ruag publik lebih dekat dengan karakter maskulin seperti tegas, berani, cekatan mengambil keptusan yang artinya sektor publik menjadi domain laki–laki. Kekuasaan publik yang sudah ada tidak memiliki karakteristik unggul dari feminitas berupa kesabaran, keuletan, kejujuran dan kesetiaan juga dianggap tidak perlu sementara di sisi lain politik identik dengan persaingan dan konflik.

Kiprah perempuan di ranah publik satu dekade terakhir telah menunjukan eksistensinya. terlihat bagaimana perempuan terlibat secara aktif di semua lini. dari mulai bidang sosial, politik hingga agama.Perempuan sudah dapat diandalakan sebagai sumber daya yang aktif dan handal di setiap lini. Meski, tak bisa dipungkiri masih banyak hal lain yang membelenggu perempuuan dalam kiprahnya di ranah produktif.

Mereka jauh dari ranah mitos dan jauh dari kata kompetensi yang sehat. Masih banyak pula anggapan bahwa perempuan yang bekerja di ranah publik akan lebih kesulitan dalam mengambil kebijakan dibanding dengan laki – laki sekalipun kemampuan dan kompetensinya di atas rata–rata.

*Penulis adalah Kepala Litbang LPM Suaka 2018

 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas