Kampusiana

Perkembangan Teknologi, Pengaruhi Pasang Surut Media Cetak

Budayawan, Hawe Setiawan (kiri) dan Pemimpin Perusahaan Tribun Jabar, Pitoyo (kanan) saat mengisi diskusi yang bertemakan “Kematian Media Cetak”, di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung, Selasa (17/5/2016). Diskusi yang berlangsung selama dua jam tersebut berhasil menyita perhatian civitas akademika Fakultas Dakwah dan Komunikasi khususnya dosen pengampu Ilmu Komunikasi. (SUAKA / Ridwan Alawi)

Budayawan, Hawe Setiawan (kiri) dan Pemimpin Perusahaan Tribun Jabar, Pitoyo (kanan) saat mengisi diskusi yang bertemakan “Kematian Media Cetak”, di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung, Selasa (17/5/2016). Diskusi yang berlangsung selama dua jam tersebut berhasil menyita perhatian civitas akademika Fakultas Dakwah dan Komunikasi khususnya dosen pengampu Ilmu Komunikasi. (SUAKA / Ridwan Alawi)

SUAKAONLINE.COM – Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann Guternberg di Jerman, media cetak semakin melebarkan sayapnya. Kemunculan radio dan televisi dibeberapa tahun berikutnya, tidak membuat media cetak begitu saja gulung tikar, kenyataannya ketiganya hidup secara berdampingan. Ironinya, perkembangan teknologi yang pesat membuat eksistensi media cetak terombang-ambing. Pasang surut kehidupan media cetak, tidak hanya dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang pesat, namun berbagai variabel lain membuat fenomena media cetak menuju ajal muncul.

Hal ini disampaikan Pemimpin Perusahaan Tribun Jabar, Pitoyo dalam diskusi terbuka dengan tema “Kematian Media Cetak” yang diadakan oleh sivitas akademika Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung pada Selasa, (17/5/2016). Menurut Pitoyo, yang menguatkan keberadaan media cetak hingga saat ini adalah iklan dan konvergensi.

Meskipun khalayak menganggap media cetak hendak menghampiri ajalnya, Pitoyo beranggapan, tidak semua media cetak akan bangkrut, karena masih terdapat media cetak yang sedang naik rating salah satunya Kompas. “Market Confidence is Back, akan ada harapan baru bagi media cetak. Karena salah satu tujuan iklan untuk membangun kebutuhan baru bagi khalayak,” tambah Pitoyo.

Menurut Pitoyo, pada era modern seperti saat ini, sistem online dituding sebagai awal redupnya media cetak di Indonesia. Kebanyakan, media cetak yang tidak kuat terbit dikarenakan tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Industri media meluncurkan berbagai strategi untuk mengungguli segmentasi pasar. “Redupnya media cetak dan kian marak perusahaan media cetak yang bergabung dengan perusahaan media elektronik, menjadi alasan timbulnya konglomerasi media pada era digitalisasi saat ini,” lanjut Pitoyo.

Ketika industri media cetak berbondong-bondong mencari iklan, Pitoyo menganalisis dalam prospek bisnis media cetak, iklan bukan satu-satunya pendapatan atau pintu masuk uang. Strategi dalam meningkatkan eksistensi media cetak, industri harus menemukan cara masyarakat terbiasa membaca produk yang biasa dijual.

Berbeda dengan Pitoyo, Budayawan sekaligus dosen Ilmu Seni dan Rupa Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Hawe Setiawan menjelaskan bahwa masa depan media cetak akan suram. Hal tersebut berdasarkan fakta hidup manusia yang dikelilingi ekologi media. Hawe menggambarkan media ibarat perkakas yang dibutuhkan sehari-hari dan kebudayaan sebagai tiga elemen yang terdiri dari teks, suara dan gambar. “Kebudayaan kita hari ini kian bergantung kepada media online. Hidup kita sehari-hari dibentuk dari teks, suara dan gambar,” tambah Hawe.

Selanjutnya, di masa pra-digital, manusia semacam tool making animal, dimana manusia selalu berdaulat diatas media yang diciptakan. Semakin hari, para ahli mulai mencurigai determinasi teknologi, yang akhirnya kini terbutkti secara perlahan media mulai mengatur manusia.

Kedepannya, masyarakat semakin menjadi manusia yang tidak sabar, dan tidak ada konsentrasi dalam sajian media cetak. Hal tersebut menjadi dampak kebudayaan yang timbul akibat mengkonsumsi informasi melalui sistem digitalisasi. “Tidak tahu kapan mati, tapi ada perubahan yang signifikan akibat dari pergaulan perkakas yang kita ciptakan. Apa yang baik untuk kebudayaan belum tentu baik untuk alam,” pungkas Hawe.

Hawe menjelaskan, hasil riset majalah Fortune pada 2015 lalu menjabarkan bahwa kegiatan mengkonsumsi media cetak akan terus menyurut disekitar angka 5% setiap tahunnya. Bahkan sejak 2010 hingga 2015 tercatat  25% minat membaca masyarakat di Amerika turun. Data tersebut semakin menguatkan bahwa penurunan minat membaca media cetak tidak hanya terjadi di Indonesia.

Reporter : Awallina Ilmiakhanza / Magang

Redaktur : Edi Prasetyo

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas