SUAKAONLINE.COM – Persatuan Buruh Internasional menyurati Presiden Joko widodo terkait RUU Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). RUU tersebut dinilai tidak sesuai bagi kepentingan rakyat umum. Selain itu, Undang-Undang ini diklaim akan membuka minat investor untuk berinvestasi di Indonesia, akan tetapi berpotensi pula menjadi boomerang bagi Pemerintah sendiri.
Surat tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Umum Federasi Pekerja Kayu dan Bangunan Internasional (BWI), Ambet Yuson; Sekretaris Umum Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC), Sharon Burrow; Sekretaris Umum Federasi Pekerja Transportasi Internasional (ITF), Stephen Cotton; dan lainnya.
Mereka menyayangkan keputusan DPR RI atas perubahan kebijakan ekonomi ketika seharusnya pemerintah berfokus pada krisis kesehatan publik. Kemudian diperburuk dengan peringkasan perundang-undangan mengenai investasi dan buruh juga kurangnya anggaran pada layanan publik. Hal tersebut, tambah mereka, juga mengancam proses demokrasi publik, khususnya pada saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dijalankan.
Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) pada suratnya mengatakan, “Pemerintah harus mencabut undang-undang tersebut dan mengadakan diskusi yang konstruktif dengan serikat pekerja Indonesia tentang perubahan apapun yang dibuat terhadap ketentuan ketenagakerjaan dalam undang-undang.”
Surat tersebut juga menggaris bawahi kebijakan pemerintah yang kurang sesuai dengan kondisi. Alih-alih berfokus pada penghentian cluster-cluster yang menjadi sumber penyebaran virus COVID-19 yang salah satunya juga berpusat pada pabrik-pabrik. Keputusan yang terburu-buru ini dapat berpotensi meningkatkan penyebaran atas ketidakpedulian mereka terhadap keputusan yang berpihak pada masyarakat.
Hal tersebut dapat terjadi, karena mau tidak mau, masyarakat, khususnya serikat buruh harus turun aksi untuk memprotes pengesahan kebijakan tersebut. Itu dapat dilihat dari 15 kelompok aktivis yang dengan tegas menolak keputusan yang kemudian menyatakan seruan untuk aksi turun lapangan. Lebih lanjut, laman resmi BWI menegaskan, “UU Cipta Kerja mengesampingkan hak dan kesejahteraan pekerja yang bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” Selasa (6/10/20).
Surat dari Global Union ini berisi lima tuntutan utama kepada Pemerintah: (1) mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, (2) menjamin kebijakan mendatang tidak mengurangi hak dan kepentingan pekerja yang telah diatur pada UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, juga standar buruh Internasional, (3) menegosiasikan dan membuka diskusi konstruktif dengan Serikat Pekerja Nasional untuk membahas isu apapun yang tidak tercantum pada UU sebelumnya.
(4) menghormati UUD dan putusan MK No 111/PUU-XII/2015 yang melindungi energi sebagai barang publik dan layanan yang dikendalikan negara, (5) dan memulai perundingan yang melibatkan serikat pekerja, perwakilan komunitas, dan gerakan sosial dalam mengembangkan rencana pemulihan dampak Covid-19 yang dirancang untuk memperbanyak pekerjaan yang layak, layanan umum yang berkualitas dan pembangunan yang sustainable.
Selain dari Serikat Buruh internasional, investor global yang mengatur perputaran uang sebanyak 4.1 Triliun Dollar Amerika di Indonesia juga menunjukkan perhatiannya atas RUU Cipta Kerja bahkan sebelum Paripurna dilaksanakan. Reuters melansir surat yang berisikan keresahan dari 35 investor termasuk Aviva Investors, Legal and General Investment Management, the Church of England Pensions Board, Robeco dan Sumitomo Mitsui Trust.
“Meskipun kami sadar akan pentingnya reformasi hukum bisnis di Indonesia, kami juga khawatir atas pengaruhnya (Omnibus Law, UU Cipta Kerja) atas beberapa kebijakan perlindungan lingkungan yang ada”, ujar Senior Engagement Specialist Robeco, Peter van der Werf pada Reuters, Senin (5/10/2020). Mereka juga khawatir UU tersebut dapat menghambat upaya melindungi hutan Indonesia sehingga memungkinkan merusak usaha global dalam mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati dan memperlambat perubahan iklim.
Reporter: Diyanah Nisa dan Chamid Nur Muhajir/Suaka
Redaktur: Awla Rajul/Suaka