Kampusiana

#PersmaMasih Rentan: Beragam Represi di Balik Berita 

Ilustrasi: Viriliya Putricantika/Bandung Bergerak

SUAKAONLINE.COM – 20 November 2013 siang. Telepon salah satu reporter Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka berdering. Panggilan datang dari Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung Ali Ramdhani. Ketika itu LPM Suaka sedang bersiap merilis majalah bertajuk ‘Yang Tersangkut di Gedung Rektorat’.

Reportase utama majalah bergambar sampul wajah rektor tersebut mengangkat isu penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan UIN SGD Bandung dalam kurun 2010-2012. Terungkap adanya indikasi kerugian keuangan negara senilai 1,81 miliar rupiah.

“Lebih baik jangan diterbitin dulu lah,” ungkap Ali di sambungan telepon.

Berselang beberapa hari, Ali meminta reporter Suaka untuk langsung menemuinya. Ia kembali meminta penundaan penerbitan liputan Suaka. 

Sudahlah, kalau bisa tahan dulu (berita) LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan BPK) itu,” ujar Ali saat ditemui di ruangannya di Gedung Rektorat lantai dasar.

Pemimpin Redaksi LPM Suaka periode 2013, Iqbal Lazuardi, menceritakan dirinya dan enam reporter Suaka mendapatkan dua kali tindak intimidasi. Pertama, tiga hari sebelum majalah terbit, ia dan Pemimpin Umum Suaka saat itu, Salman, diminta untuk menemui Ali di kediamannya. Di sana, lagi-lagi awak Suaka diminta untuk tidak menerbitkan majalah. Kedua, setelah majalah terbit, ia disuruh untuk menarik seluruh majalah yang sudah disebarluaskan.

Tidak cukup sampai di sana. Setelah penerbitan, enam reporter Suaka yang terlibat dalam penggarapan majalah dipanggil untuk menemui rektor, yang sayangnya hanya diwakili oleh jajarannya. 

“Di sana kami diancam akan di-DO (drop out), orang tua akan dipanggil,” ujar Iqbal yang ketika itu datang bersama enam reporter, saat ditemui, Jumat (7/4/2023) siang.

Alih-alih mengindahkan ancaman dari pihak rektorat itu, awak Suaka justru menjual majalah tepat di pelataran gedung rektorat. Sikap Suaka untuk tetap tidak mencabut majalah bersandar pada keyakinan bahwa reportase telah menyertakan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, permasalahan itu selesai tanpa ada anggota yang di-DO dan tanpa pemanggilan orang tua oleh pihak kampus.

Berselang satu tahun, Suaka kembali mendapatkan tindakan represif. Kali ini datang dari pihak office boy (OB) dan pihak keamanan kampus. 

Hal ini bermula dari peliputan mengenai keresahan mahasiswa yang merasa keberatan saat dipatok tarif oleh OB dan pihak keamanan ketika hendak menyelenggarakan acara di kampus. Pungutan itu dianggap terlalu mahal. Suaka melakukan peliputan yang kemudian dituangkan ke dalam tabloid edisi Maret 2015 berjudul ‘Menyibak Sekat Upah dan Lelah’. 

Pada 11 Maret 2015, sekitar pukul dua dini hari, sejumlah OB mendatangi sekretariat Suaka dan mengajukan beberapa pertanyaan tentang keberadaan tabloid tersebut. Bukan tindak represif, tapi lebih sebentuk intimidasi halus. 

“Mereka mengajak diskusi. pada saat itu saya tidak sendiri. Ada Rizal sebagai kepala Litbang,” tutur Pemimpin Umum Suaka periode 2014, Muhammad Faisal Al-ansori, dalam wawancara, Kamis, (30/3/2023) lalu. 

Pada pagi harinya, melalui panggilan telepon, rekan Faisal mengabarkan bahwa ternyata tumpukan tabloid di Sekretariat sudah diambil oleh pihak OB. Sebanyak 200 eksemplar tabloid raib. 

Di hari yang sama, Suaka bertemu dengan pihak keamanan yang juga menyatakan keberatan terhadap isi tabloid yang membahas perihal pungutan liar (pungli) tersebut. “Namun hal ini tidak bersifat ancaman, hanya sebatas tensi,” kata Faisal.

Pada siang harinya Suaka mengadakan audiensi yang juga dihadiri oleh kawan-kawan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB). Ketegangan dengan petugas OB dan satuan pengamanan itu akhirnya selesai lewat diskusi. Sebanyak 200 eksemplar tabloid yang dirempas, dikembalikan. 

Serupa di Bandung Raya

Desain: Triska Yulianti/Suaka

Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) mencatat total 38 Lembaga Pers Mahasiswa di kawasan Bandung Raya. Tak hanya di kampus UIN SGD, tindak represi terhadap pers mahasiswa nyatanya juga dirasakan oleh banyak LPM lain di berbagai kampus. Pelakunya bukan hanya dari pihak kampus, tapi juga sesama mahasiswa dan pihak eksternal kampus serta aparat.

Murujuk hasil survei yang dihimpun secara kolaboratif oleh Bandungbergerak.id dan enam LPM di Bandung Raya dari Mei hingga Juni 2023, tercatat total 34 kasus yang menimpa pers mahasiswa di Bandung Raya dalam rentang waktu 10 terakhir. Dari 34 kasus tersebut, teridentifikasi sejumlah 61 tindak represi dalam berbagai macam bentuk. Mulai dari kekerasan lisan, tuntutan pencabutan berita, hingga ancaman ke ranah hukum. 

LPM Jumpa di Universitas Pasundan mengalami beberapa kali tindakan represif, baik oleh birokrat kampus maupun oleh pihak-pihak lain yang ada di dalam kampus. Salah satu tindakan represif teranyar berkaitan dengan pemberitaan mengenai kebersihan di lingkungan kampus khususnya di Fakultas Teknik yang dituliskan oleh Anggota Muda. Tidak butuh waktu lama bagi artikel yang tayang di website dan akun Instagram itu untuk memanen komentar. Tidak sedikit mahasiswa Fakultas Teknik yang tidak terima dengan judul dan isi artikel Jumpa itu. Komentar-komentar yang bernada intimidasi bertebaran. 

“Yang paling sulit itu, saya takut ada hal-hal yang tidak saya inginkan terjadi kepada anggota pengurus LPM Jumpa lainnya karena saat pertemuan juga mereka beberapa kali melayangkan perkataan yang bernada ancaman,” ucap Ketua Umum LPM Jumpa periode 2022/2023, Dhiva Prastian, Kamis (20/7/2023).

Meski sudah menawarkan hak jawab, awak LPM Jumpa terus mendapatkan ancaman. Pihak mahasiswa Fakultas Teknik menolak tawaran itu karena menganggap persma telah bersalah dan merugikan mereka. Masalah ini sampai ke telinga birokrat kampus. Dalam pertemuan yang dimediatori oleh Biro Kemahasiswaan kampus, tiga tuntutan muncul ke permukaan, yakni pencabutan berita, penulisan klarifikasi oleh LPM Jumpai, serta penyelenggaraan konferensi pers oleh LPM Jumpa.

Awak LPM Jumpa kemudian melakukan komunikasi dengan FKPMB. Juga menyiapkan langkah-lanngkah advokasi dengan menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung. Namun pada akhirnya, dengan mempertimbangkan keselamatan anggota, LPM Jumpa sepakat untuk mencabut berita dari website dan akun Instagram.

Cerita lain datang dari KM sEntra di kampus Universitas Widyatama. Sentra pernah vakum hingga tidak berani menerbitkan karya jurnalistik. Semua bermula dari konflik yang bersumber berita tentang seorang mahasiswa yang meninggal ketika mengikuti ospek anggota baru Barisan Mahasiswa Pecinta Alam Widyatama (Bramatala) pada tahun 2013.

Pemimpin Umum PKM sEntra 2018, Nindi Ayu menceritakan bahwa ketika itu sEntra dianggap telah merusak nama baik Bramatala. Nama kampus juga disebut turut terbawa jelek atas pemberitaan tersebut. Dalam berita yang menyebar luas ke luar kampus itu, sEntra dianggap sudah menusuk Bramatala dari belakang karena isinya disebut menyalahkan sesama organisasi mahasiswa tersebut. 

Sebagai sanksi, aktivitas sEntra dibatasi. Mereka tidak lagi mengerjakan kerja-kerja jurnalistiknya. Vakum. Yang kemudian disajikan ke publik mahasiswa di kampus adalah karya puisi atau cerita pendek. 

“Ya gak ada yang berita-berita gitu deh karena gak berani,” tutur Nindi. 

Kekerasan di Luar Kampus

Kinerja jurnalistik persma tidak hanya memberitakan kejadian dan isu yang berkaitan dengan kampus. Tidak jarang persma juga turun langsung dalam peliputan aksi unjuk rasa atau juga tindak penggusuran permukiman warga. Dalam beberapa kasus, reporter persma kerap disamakan dengan peserta aksi. Mereka rentan menjadi korban tindak represif aparat meski menunjukkan identitasnya sebagai persma.

Reporter LPM Suaka Iqbal mengalami tindak kekerasan ketika melakukan peliputan tindak penggusuran di Tamansari pada Kamis, 12 April 2018. Aksi siang itu ricuh dan berujung keributan antara pihak kepolisian dan massa aksi. Iqbal mencoba mendekat ke lokasi kerusuhan untuk memotret, tapi bentakan dari aparat kepolisian yang justru ia peroleh. Ketika bentork kedua kubu semakin parah hingga massa aksi dipukuli oleh aparat kepolisian, Iqbal turut menjadi korban. 

“Saya dapat bogem mentah dari polisi sebanyak dua kali, mengenai pelipis mata hingga memar,” cerita Iqbal saat ditemui Suaka, Jumat, (3/3/2023). 

Menuntaskan kasus kekerasan yang ia alami, Iqbal mendapatkan bantuan advokasi oleh AJI Bandung. Pihak kampus sama sekali tidak terlibat.

Tidak hadirnya perlindungan kampus bagi persma ketika melakukan peliputan aksi massa, juga dialami oleh LPM Jumpa. Dalam peliputan aksi menolak Omnibus Law, mpa mengalami tindak kekerasan dari aparat. Padahal ketika itu ia berseragam lengkap dengan identitas sebagai persma. 

Ketua Umum LPM Jumpa periode 2020, Rizaldi Nugraha menceritakan, Angga, reporter di aksi massa itu sempat hilang kontak ketika aksi mulai ricuh. Menjelang malam, kabar sang reporter masih belum diketahui. Awak LPM Jumpa mulai menyebarkan foto-foto Angga ke akun media sosial dengan menyebutkan keterangan bahwa Angga telah hilang.

Ketika itu, muncul kecurigaan bahwa Angga telah ditangkap aparat kepolisian. Dan benar saja! Ia dianggap sebagai bagian dari massa aksi yang memicu kerusuhan. Menurut kesaksian Angga, ada luka-luka yang diakibatkan pukulan aparat. 

Rizaldi menyebut, kampus sama sekali tidak terlibat dalam upaya membebaskan Angga dari kantor polisi. Semua dikerjakan secara mandiri oleh pengurus LPM Jumpa, alumni, serta LBH Bandung. Ada dosen yang mengaku-aku berperan aktif dalam pembebasan Angga, tapi bukan itu fakta di lapangan. 

Seinget aku itu kontakan sama Kemahasiswaan, cuman mereka bilang ‘nitip ya’,” ucap Rizaldi. “Udah gitu doang.” 

Komitmen Melindungi

Rektor UIN Bandung sekaligus penanggung jawab langsung LPM Suaka, Rosihon Anwar menyadari bahwa payung hukum Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidak secara spesifik menyebutkan perlindungan langsung bagi pers mahasiswa. Namun, ia meyakini bahwa persma merupakan bagian dari kerja-kerja jurnalistik yang mesti dilindungi dari tindakan-tindakan intimidatif. Rosihan merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi untuk berkomitmen melindungi pers mahasiswa. 

“Sudah barang tentu saya selaku pimpinan akan berkomitmen melindungi civitas akademika UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bukan hanya persma,” ujar Rosihon saat dihubungi, Selasa (7/11/2023).

Menurut Rosihan, pers mahasiswa perlu menjadi watchdog atau penjaga keberimbangan di kampus. Ia harus mengawal birokrasi kampus agar transparan dalam setiap kegiatannya. Rosihan bahkan mengaku akan mendukung persma memberitakan setiap penyelewengan yang dilakukan civitas kampus agar menjadi ruang diskusi di kampus. 

Mitigasi dan Advokasi 

Sampai hari ini pers mahasiswa masih rentan menjadi sasaran tindakan represif baik dari dalam kampus maupun dari luar kampus. Merujuk Annual Report Lembaga Bantuan Hukum Pers 2022, ada tiga alasan mengapa persma terus direpresi, yakni kurangnya penghormatan dan pemenuhan terhadap kebebasan berekspresi dalam lingkungan kampus, belum adanya perlindungan secara komprehensif terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh persma dalam lingkup kampus, serta belum adanya mitigasi risiko yang dilakukan oleh anggota persma. 

Kepala Divisi Kampanye LBH Bandung Heri Pramono mengatakan bahwa salah satu hambatan bagi persma untuk memasuki tahap advokasi ketika mengalami represi adalah statusnya sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Artinya, pertanggungjawaban kinerja persma berada di bawah naungan rektorat atau instansi pendidikan, yakni kampus.

Hambatan lain bagi advokasi persma adalah banyaknya orang atau institusi yang menganggap persma bukan media pers konvensional sehingga kerap kali dipandang sebelah mata. Padahal, meski jadi bagian dari kampus, banyak persma telah menjalankan prinsip kerja jurnalistik dengan bertanggung jawab. LPM juga melengkapi diri dengan struktur keredaksian yang kokoh. 

Buat meyakinkannya itu mau gak mau temen-temen persma harus berjejaring, harus mendapatkan informasi bahwa kita punya hak untuk meliput dan melakukan pemberitaan,” tutur Heri, Jumat (21/7/2023).

Koordinator Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Bandung, Ahmad Fauzan Sazli berpendapat, meskipun persma berada di bawah naungan kampus, mereka harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan kritik dan masukan kepada kampus. Pihak kampus semestinya menerima laporan faktual itu, bukan malahan menolak dan melontarkan ancaman. 

“Ancaman pihak kampus terhadap persma menurut saya itu sebuah keangkuhan dunia akademik,” ungkapnya.

Menimbang dilema posisi persma, Fauzan menekankan pentingnya mitigasi risiko dalam setiap peliputan. Terlebih dalam liputan isu sensitif atau peristiwa melibatkan massa, seperti unjuk rasa dan konflik. Setiap anggota persma wajib memahami dan mempraktikkan langkah-langkah mitigasi. Juga kemauan untuk memahami situasi dan lokasi peliputan. 

“Mitigasi yang paling utama adalah temen-temen mematuhi kode etik jurnalistik,” ujar Fauzan.  

*Liputan ini merupakan kolaborasi bersama BandungBergerak.id, LPM Suaka Universitas Islam Negeri Bandung, LPM Jumpa Universitas Pasundan Bandung, BPPM Pasoendan Universitas Pasundan Bandung, LPM Aksara Universitas Telkom Bandung, LPM dJatinangor Universitas Padjadjaran, dan LPM sEntra Universitas Widyatama berkat dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara melalui Project #PersmaMasihRentan

Penulis: Fitri Nur Hidayah dan Yopi Muharam/Suaka

Crew Liput: Arie R Prayoga dan Hizqil Fadl Rohman/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas