Infografik

Polemik Gelar Pahlawan Soeharto dalam Bayang-Bayang Luka dan Otoritarianisme

SUAKAONLINE.COM, Infografis – Setiap peringatan Reformasi 1998, riuh selebrasi selalu dibarengi gema gugatan. Di antara suara-suara yang bersahutan, satu isu kembali mencuat dan mengiris nalar publik, yaitu usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, figur sentral Orde Baru yang identik dengan represi, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Wacana ini bukan sekadar kontroversial, ia adalah pengingat getir bahwa luka sejarah belum benar-benar sembuh.

Kementerian Sosial bersikukuh bahwa Soeharto telah memenuhi segala syarat administratif, lengkap dengan rekomendasi dari keluarga. Namun, kepatuhan administratif tidak serta-merta menutup borok sejarah. Sementara Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengingatkan bahwa heroisme tak cukup dilihat dari pembangunan fisik semata, tetapi mesti menyeluruh, mencakup rekam jejak moral dan hak asasi.

Lebih jauh, Hendardi dari SETARA Institute menyebut Soeharto tidak layak secara yuridis, sebab tak memenuhi unsur berkelakuan baik sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Gelar Pahlawan. Sejarah mencatat, Orde Baru menormalisasi pembungkaman, kooptasi hukum, dan pelanggengan kekuasaan dengan aparatus militer, warisan yang masih terasa hingga hari ini.

Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia juga lantang menolak. Baginya, catatan hitam kejahatan kemanusiaan Soeharto tidak boleh dipoles jadi medali kehormatan. Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya pengkhianatan terhadap korban, tapi juga upaya sistematis memutihkan dosa rezim.

Polemik ini bukan sekadar soal gelar, ia menyimpan pertanyaan eksistensial bagi bangsa ini, tetapi apakah kita benar-benar telah keluar dari belenggu Orde Baru, atau justru tengah kembali digiring masuk ke dalam cengkeraman lamanya? Narasi yang terus diproduksi negara, dibungkus dalam bahasa stabilitas dan pembangunan, kerap menjadi kamuflase dari praktik-praktik otoritarianisme yang mulai mencuat ke permukaan.

Simak saja revisi UU TNI. Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin membantah bahwa langkah ini sebagai bentuk nostalgia Orde Baru. Ia berdalih, penguatan militer dilakukan demi menjawab tantangan zaman, bukan untuk merehabilitasi romantisme masa lalu.

Dua dekade lebih setelah Soeharto lengser, reformasi masih gamang. Orde Baru boleh saja mati secara formal, namun arwahnya menitis dalam institusi, regulasi, bahkan kultur birokrasi. Oligarki tumbuh subur, hukum tumpul ke atas, dan ekonomi digerogoti ketimpangan. Reformasi, dalam banyak hal, tak lebih dari kosmetika demokrasi.

Sebagian pihak mungkin masih berharap bahwa demokrasi kita sedang dalam fase transisi. Tapi transisi macam apa yang berjalan tanpa arah selama seperempat abad? Kalimat reformasi belum selesai sering digaungkan, padahal barangkali ia memang tak pernah benar-benar dimulai.

Reformasi tidak akan pernah utuh jika terus dikaburkan oleh amnesia kolektif dan glorifikasi pada warisan otoritarianisme. Kini, tugas generasi penerus bukan sekadar memperingati reformasi, tetapi menjaganya tetap hidup dengan keberanian menolak lupa.

Peneliti: Nabila Rahma Hidayat/Magang

Redaktur: Sabrina Nurbalqis/Suaka

Sumber: Berbagai Sumber

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas