SUAKAONLINE.COM – Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Agama Nomor 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola menjadi kontroversi. Pasca surat edaran ini terbit pada 18 Februari lalu, polemik terus bergulir di masyarakat. Kemajemukan bangsa yang mulai terancam akibat intoleran jadi alasan Kemenag memberlakukan pengaturan pengeras suara masjid demi kerukunan dan kedamaian.
Ketua Dewan Keluarga Masjid (DKM) Iqomah UIN SGD Bandung, Bachrun Rifa’i memandang surat edaran ini sebagai hal positif dan toleran. Menurutnya, pedoman ini lebih menekankan ketertiban masjid. “Bukan mengatur adzan, jadi mengatur suara sebenarnya, menertibkan volume suara speaker masjid,” ungkapnya saat ditemui di Masjid Iqomah UIN SGD Bandung pada Rabu (9/3/2022).
Hanya saja menurut Bachrun dalam edaran ini terdapat hal yang cukup disayangkan, terutama mengenai pengajian yang tidak lagi menggunakan speaker luar. Sehingga tidak dapat lagi dinikmati dari rumah sendiri. Serta aturan maksimum penggunaan volume 100 desibel yang membuat repot, khususnya para takmir masjid yang awam akan pengukuran volume tersebut.
Beliau juga menambahkan, jika masih berbentuk pedoman ia setuju jika digunakan dalam rangka menertibkan. Pun menurutnya tidak harus benar-benar taat atas edaran ini sebab tidak adanya sanksi dan insentif pemerintah untuk perbaikan speaker masjid yang kurang memadai.
Demi menertibkan masjid, usaha untuk menerapkan dan memberlakukan edaran ini tetap dilakukan, khususnya di Masjid Iqomah sendiri. Namun dalam praktiknya, Bachrun mengatakan bahwa hal ini lebih mengacu pada kesadaran moral dan normatif setiap masjid. “Toleran itu menurut saya jangan melihat yang lain, tapi memperbaiki dan membenahi dari rumah sendiri,” tambahnya.
Berbeda pendapat dengan Bachrun, salah satu mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, M. Ihsan Sanusi menuturkan bahwa pedoman pengeras suara masjid hanya akan membebani serta menyulitkan adzan sebagai panggilan shalat sampai kepada umat Islam. “Jangan terlalu membebanilah, jangan membatasi umat Islam untuk meninggikan agamanya sendiri,” ungkapnya.
Meski demikian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengklaim bahwa adanya pedoman tersebut untuk meminimalisir gangguan yang ditimbulkan dari pengeras suara masjid. Jika dalam satu wilayah terdapat beberapa masjid dan berbunyi dalam satu waktu bersamaan, bisa dibayangkan betapa menjadi gangguan bagi lingkungan sekitar.
Akan tetapi, lewat penuturan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan, Fenisia menyatakan tidak pernah merasa terganggu dengan suara toa masjid saat adzan tiba meskipun bukan pemeluk Islam. Ia menuturkan bahwa sudah terbiasa mendengar suara adzan. Begitupun di tempat tinggalnya sekarang yang dekat dengan masjid, ia mengaku merasa nyaman.
Namun ia juga menambahkan bahwa penggunaan speaker masjid akan mengganggu jika dalam praktiknya disalahgunakan. “Kecuali kan banyak yah kayak anak kecil pas mereka ngaji mainin mic nya gitu kan, itu menurut aku ganggu sih kalau disalahgunakan. Tapi untuk hal-hal yang positif itu ya oke-oke aja sih karena itu ibadah gitu kan,” pungkasnya.
Reporter : Anisah, Hamzah Akmal, Annisa Ariyanti, Gisa Awlia / Magang
Redaktur : Fitri Nur Hidayah