Cerpen

Puisi Terakhir

Oleh Indra Nugraha
Malam begitu larut. Namun matanya masih belum terpejam. Sesekali suara jangkrik di luar rumah bersahutan dengan desau angin memecah keheningan. Sebatang rokok kretek yang terjepit mesra di tangannya ia hisap perlahan.  Entah sudah batang rokok keberapa yang ia hisap, ia sendiri tak tahu. Rasa penat yang melanda jiwa memaksanya untuk terus menghisap puluhan batang rokok. Asap mengepul di udara. Kamar kontrakannya yang hanya berukuran empat kali empat meter itu, seketika menjadi pengap. Jendela kamar ia buka, angin dingin masuk menyelinap. Menyapu wajahnya yang letih. Rasa pengap itu perlahan hilang.

“Ning, dua tahun telah berlalu… Luka di hatiku belum sirna. Aku takut tak bisa merawat Sum dengan baik…” Lirih. Nadanya terasa berat.  Matanya menengadah ke atas, menatap atap kamar kontrakan. Sepi, tak ada jawaban.

Dua tahun yang lalu istrinya Ning, meninggal dunia. Kanker di otaknya telah merenggut nyawa perempuan yang sangat disayanginya itu. Sejak saat itu, dia lah yang harus banting tulang untuk membesarkan Sum. Anak perempuan semata wayangnya. Sendiri, berperan sebagai ayah sekaligus ibu yang baik untuk anaknya.

Sum sudah tertidur lelap. Barangkali ia tengah berada di alam mimpi indahnya.  Bertemu dengan Ning di surga sana, seperti yang selalu ia harapkan.  Sebuah buku tulis yang kusam nan lecek mengalihkan perhatiannya. Buku tulis yang dipeluk mesra oleh kedua tangan Sum. Buku yang ia hadiahkan kepada Sum saat kenaikan kelas itu sekilas tampak biasa saja. Namun  naluri mengajaknya untuk segera mengambil buku itu. Ia mulai mengendap-endap, berharap anaknya tak menyadari bahwa ia mengambil buku tersebut.

Buku telah ia dapatkan,  Perlahan ia buka halaman pertama buku tersebut. Tulisan-tulisan Sum yang terangkai indah pada akhirnya telah menyita perhatiannya.

“Ayahku tercinta, tak cukup kata untuk menuliskan betapa aku mencintaimu. Bagilah beban hidupmu kepadaku. Biar sedikit meringankan bebanmu. …” hatinya bergetar hebat membaca tulisan itu.

Ia buka tiap halaman buku tulis itu. Isinya tak lain tulisan-tulisan Sum. Permata hatinya yang baru saja duduk di bangku kelas empat sekolah dasar.

Ayah, aku ingin membahagiakanmu

Tulisan-tulisan dalam buku itu sangat rapi. Terkesan seperti bait-bait puisi. Semuanya berisi tentang betapa Sum mencintainya. Tak terasa kedua matanya berair. Ia semakin gelisah akan masa depan anaknya.

Lama ia menatap wajah Sum. Penuh cinta ia kecup keningnya. Melepas lelah ia segera terbaring di samping Sum. Memeluknya erat. Mata tertutup sempurna, sebuah harapan akan hari esok terpatri dalam hatinya.

Aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, Anakku …

***

Sore hari ketika ia baru saja melepas lelah setelah seharian mengayuh becaknya. Mendapati Sum tak berada di kamar kontrakannya, membuatnya resah. Namun keresahan itu tak berlangsung lama. Matanya kini tertuju pada  sebuah kalender yang tergantung di kamar kontrakannya. Tepat di samping meja tulis tempat biasa Sum menulis puisi-puisinya.

Ia terdiam lama. Melihat coretan-coretan yang dibuat oleh Sum, tapi kemudian matanya terfokus pada sebuah angka di bulan Maret. Tak salah, tanggal lahirnya! Sum telah melingkari tanggal tersebut dan menulis catatan kecil di bawah bulatan itu; ulang tahun ayahku!

Terharu, tentu saja! Ayah mana pun akan merasa sangat bahagia jika anak yang begitu ia sayangi menaruh perhatian besar bagi dirinya. Matanya berkaca-kaca, hampir saja berair lagi. Namun dengan cepat ia tahan laju air yang keluar dari matanya.

Seperti hari-hari sebelumnya, setelah membaca sebait puisi Sum malam itu, ia tak pernah absen satu hari pun untuk membuka buku tulis usang milik Sum. Berharap menemukan bait-bait puisi baru yang diciptakan untuknya. Pada akhirnya, bait-bait puisi yang dibuat anaknya itu telah memberikan rasa candu pada dirinya. Candu untuk membaca bait-bait puisi itu. Lagi dan lagi.

Segera ia raih buku tulis Sum dan membuka halaman paling akhir. Yang dicari akhirnya ditemukan juga. Bukan bait puisi baru untuknya, tapi sesuatu yang membuat hatinya meloncat girang

“Seminggu menjelang hari lahir ayah, aku akan memberikan kejutan yang membuatnya bahagia! Biar semua orang di dunia tahu, betapa beruntungnya aku mempunyai ayah sepertinya. Ayah tanpa tandingan!”

Hatinya berdebar. Tak sabar menunggu kejutan yang dijanjikan. Matanya berair, kali ini tumpah membasahi kedua pipinya. Tentu saja, ini adalah tangis yang disertai oleh senyuman paling manis.

Lihatlah Ning! Anak kita semakin pintar … betapa bangganya aku padanya. Aku yakin, kau juga demikian …

***

“Bu! Puisiku harus terbit tiga hari lagi! Tolong aku ya bu, puisiku adalah kejutan buat ayahku …”

Semua tak disengaja! Baru saja ia mendengar rengekan Sum pada bu Tar. Niat awal kedatangannya ke sekolah Sum adalah untuk menjemputnya. Tak ada yang lain. Mengantarkan sekaligus menjemput Sum ke sekolah adalah rutinitas sehari-hari yang ia lakukan.

“Ini puisiku yang ke tiga puluh bu … aku mohon!”

“Ibu tidak bisa janji sama kamu Sum …”

“Suami ibu kan bekerja di Koran itu bu … ayolah …”

“Nanti, pada saatnya puisi kamu pasti dimuat Sum…”

“Aku mohon bu, aku ingin puisi-puisiku ada di Koran ketika ulang tahun ayahku …” Kedua mata Sum berair. Membasahi lesung pipinya.

Akhirnya ia tahu kejutan apa yang selama ini disiapkan Sum untuknya. Setelah berhari-hari terus bertanya mengenai kejutan itu, ternyata bait-bait puisi itulah yang ingin Sum berikan kepadanya. Puisi yang ingin Sum berikan kepadanya dengan cara yang lain. Dimuat di media massa! Biar semua orang sedunia tahu jika puisi itu dibuat penuh cinta hanya untuknya. Ah, betapa bahagianya ia jika hal itu benar-benar terjadi. Namun mendengar percakapan antara Sum dan bu Tar barusan, ia sama sekali tak mau berharap banyak.

Percakapan antara Sum dan bu Tar berakhir ketika ia menampakan tubuhnya di depan pintu kelas. Sum terlihat sangat kaget menyadari kehadirannya. Mata yang berair segera ia seka dengan tangannya. Sejurus kemudian melempar senyum manis kepada ayahnya. Senyum manis yang dipaksakan, tentu saja.

“Ayo kita pulang, nak..” Sum mengangguk. Segera membereskan buku-buku dan tasnya. Setelah mencium tangan bu Tar, mereka berlalu meninggalkan sekolah. Sepanjang perjalanan Sum terdiam. Tak ada pembicaraan antara keduanya.

***

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pagi hari yang buta ia mengayuh becaknya menuju pasar. Kejutan Sum yang sudah terlanjur diketahuinya itu, sama sekali tak ia harapkan menjadi kenyataan. Sum sudah berusaha untuk itu. Meski demikian, ia semakin menyayangi Sum dan menaruh rasa bangga terhadapnya

Becak segera ia parkir di depan pasar, setelah itu menunggu pelanggan. Tak seperti biasanya, pagi itu ia sengaja membeli  Koran. Membuka halaman demi halaman Koran tersebut. Berita-berita yang disajikan di dalamnya membuat keningnya berkerut. Apalagi kalau bukan soal politik dan hukum yang membingungkan. Sampai pada halaman kesepuluh, matanya terpaku pada kolom puisi anak.

Ya, kejutan itu akhirnya mewujud menjadi nyata! Lima bait puisi yang ditulis Sum untuknya dimuat dalam Koran itu. Hatinya meloncat girang bukan buatan.

“Jen, coba kau lihat ini! Puisi anakku Sum … ini puisi untukku, kado ulang tahun dari Sum!!!” senyum sumringah terpancar dari wajahnya. Koran yang ia pegang segera ia perlihatkan pada teman seprofesinya itu. Kepada pelanggannya, atau bahkan kepada orang-orang yang lewat di pasar itu. Seolah ingin menunjukan kepada dunia bahwa dialah manusia paling bahagia saat ini.

“Sum harus tahu kalau puisinya dimuat! Aku harus segera menemuinya!!!” ia bergegas menuju sekolah Sum, mengayuh becaknya penuh semangat. Penumpang yang tadinya hendak menaiki becaknya, tak ia hiraukan.

Kor
an yang tadi ia baca, ia pegang erat. Sementara tangan yang satunya lagi berusaha mengendalikan kemudi becak.Berkali-kali matanya kembali membaca puisi-puisi Sum, tanpa memperhatikan kemudi becaknya. Sementara becak terus melaju kencang. Seolah sampai detik ini, ia masih tak percaya puisi Sum akhirnya dimuat. perhatian matanya terbagi dua. Antara mengemudikan becaknya dan bait-bait puisi Sum.

Berkali-kali ia hampir menabrak trotoar. Namun semua tak ia pedulikan. Yang ada di bayangannya hanya Sum. Ia tak sabar melihat senyum sumringah Sum kala melihat puisinya di Koran yang ia pegang. Becak yang ia kemudikan  melaju secepat angin, sementara matanya kini benar-benar tersita hanya untuk bait-bait puisi itu.

Tanpa ia sadari, sebuah truk dari arah yang berlawanan oleng, tabrakan tak bisa dihindari. Sebuah episode hidup tentang dirinya tamat sudah. Darah segar mengalir dari tubuhnya. Orang-orang berkeribun melihat tubuhnya yang tergeletak tak bernyawa di atas aspal yang panas.

***

Sum, anak perempuan itu hanya terdiam melihat Koran yang memuat puisinya. Matanya berair deras, membasahi pipinya. Tak lama setelah itu, puisi yang susah payah ia ciptakan segera dirobek. Ia menangis sejadinya.

“Aku tak ingin lagi menulis puisi!”

***

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas