
Salah satu peserta aksi menyampaikan orasinya dalam aksi Tolak UU TNI di bawah Flyover Pasupati, Jl. Taman Sari, Kota Bandung. Kamis (20/3/2025). (Foto: Ghaiza Nurlaili Afiqoh/Magang)
SUAKAONLINE.COM – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Puan Maharani mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-Undang (UU) TNI dalam Rapat Paripurna. Pengesahan ini memantik masyarakat untuk turun aksi dengan tajuk Tolak UU TNI di depan Gedung DPRD Jawa Barat (Jabar), Kota Bandung, Kamis (20/3/2025).
Dalam sidang paripurna, RUU TNI telah disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025 lalu. Pengesahan RUU ini dilakukan setelah Puan Maharani bertanya sebanyak dua kali kepada seluruh fraksi yang hadir dalam sidang. “Kami menanyakan sekali lagi kepada seluruh anggota apakah RUU tentang perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU? Setuju,” ucapnya kemudian dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR, Kamis (20/3/2025).
Pengesahan UU TNI ini memperoleh kritik masyarakat. Salah satu orator aksi, Ainul Mardiyah menanggapi proses pengesahan UU TNI dalam orasinya. Ia menjelaskan bahwa RUU TNI disahkan menjadi UU dengan tempo waktu yang cepat. “Bentuk konkret dari watak penindasan adalah sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan UU TNI tanpa persetujuan kita semua,” paparnya, Kamis (20/3/2025).
Hal ini ia sampaikan berdasarkan RUU Revisi UU TNI yang baru disahkan sebagai RUU prioritas pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 pada 18 Maret 2025 lalu yang seharusnya sudah diagendakan pada awal masa keanggotaan DPR. Dilansir dari pshk.or.id, hal tersebut tidak mengikuti mekanisme yang sesuai dengan Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR).
Ancaman Militerisme dan Pupusnya Demokrasi
Dilansir dari detik.com, RUU TNI pada dasarnya mengubah sejumlah pasal mengenai tugas pokok TNI, seperti dalam Pasal 3 tentang kedudukan TNI dalam Struktur Pemerintahan, Pasal 7 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP), Pasal 47 tentang prajurit aktif di instansi sipil, dan Pasal 53 tentang usia pensiun TNI.
Ainul menilai bahwa RUU ini diselundupkan untuk mengamankan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Dengan disahkannya RUU ini menjadi undang-undang, jelas bahwa militer berperan sebagai tameng segala kebijakan yang kontroversial. “Adagium ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’ semakin dibungkam. Jelas kedepannya hak kita bersuara semakin dibatasi, dengan adanya militerisme ini semakin membungkam demokrasi,” pungkasnya.
Di samping itu, koordinator lapangan sekaligus orator, Ahmad Sidik, mengatakan bahwa peran TNI dalam jabatan sipil dapat membahayakan demokrasi, karena potensi represi terhadap masyarakat sipil semakin besar. “Sekarang TNI dididik untuk membunuh rakyat, dengan TNI menduduki jabatan sipil berarti sama saja sipil menenteng senjata,” tegasnya.
Selain itu, Sidik juga menyoroti pasal yang dinilainya kontroversial, yaitu pasal 47 dan pasal 53 yang menurutnya dengan adanya kedua pasal tersebut TNI semakin leluasa menduduki jabatan sipil. “Tugas utama TNI menjaga ketahanan negara, bukan malah masuk ke ranah sipil, dan bukan ke ranah kabinet atau partai politik.” tegasnya.
Lebih lanjut, Ia menyamakan kondisi demokrasi Indonesia di masa yang akan datang sama seperti masa orde baru, semua kritik yang ditujukan pada pemerintah akan dibungkam dengan dalih keamanan masyarakat. “RUU ini sudah sangat bahaya, karena kita berkaca pada tahun 90-an kritik mahasiswa itu dibungkam oleh Soeharto kala itu,” ujarnya saat diwawancarai.
Seruan Pencabutan UU TNI
Ainul berharap agar RUU TNI yang telah disahkan menjadi UU TNI ini dicabut. Selain itu, ia juga bertekad untuk terus menghimpun massa agar banyak yang sadar akan isu ini. “Setelah aksi ini kita akan konsolidasi kembali karena ingin menghimpun masa agar terus mengawal keputusan ini,” tutupnya.
Sejalan dengan Ainul, untuk tindak selanjutnya Sidik dan masyarakat lain akan meminta Mahkamah Konstitusi untuk dilakukannya judicial review tentang undang-undang tersebut.
Salah satu warga, Asep, berharap pemerintah lebih hati-hati dalam memutuskan regulasi, terlebih yang berkaitan dengan kepentingan publik. “Jangan sampai keputusan yang dikeluarkan menimbulkan kegaduhan di masyarakat,” tuturnya.
Reporter: Muhamad Seha/Magang
Redaktur: Mujahidah Aqilah/Suaka