Kampusiana

Sejarah Hitam di Balik Kopi

Dosen jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN SD Bandung, Tolib Rahmatullah (pemateri paling kanan) saat memberi materi diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK). Dengan tema “Proyeksi Kebudayaan dalam Secangkir Kopi” yang digelar dalam rangka Milangkala LPIK XX di aula lantai 1 Student Center, Selasa (10/5/2016). (Ayu Isnaini / Magang)

Dosen jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN SD Bandung, Tolib Rahmatullah (pemateri paling kanan) saat memberi materi diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK). Dengan tema “Proyeksi Kebudayaan dalam Secangkir Kopi” yang digelar dalam rangka Milangkala LPIK XX di aula lantai 1 Student Center, Selasa (10/5/2016). (Ayu Isnaini / Magang)

SUAKAONLINE.COM,– Tradisi menikmati secangkir kopi telah menjelma menjadi gaya hidup di kalangan modern. Kini kedai kopi, workshop tentang kopi, barista dan hal-hal terkait lainnya tengah menjamur di mana-mana. Namun, maraknya tradisi minum kopi, tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang kopi itu sendiri. Ada sejarah hitam dibalik kopi yang ada di Indonesia sekarang.

“Masyarakat kala itu berkorban keringat dan darah untuk dapat menanam biji tersebut,” ujar dosen jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN SD Bandung, Tolib Rahmatullah saat memberi materi  diskusi  yang digelar oleh Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) di aula Student Center, Selasa (10/05/2016). Diskusi dengan tema “Proyeksi Kebudayaan dalam Secangkir Kopi” tersebut digelar dalam rangka Milangkala LPIK XX.

Tolib menjelaskan, sebagai negara penghasil kopi terbesar ketiga setelah Brazil dan Vietnam, perkembangan kopi di Indonesia menyimpan cerita pilu, salah satunya dari masyarakat Priangan. Di masa penjajahan kolonial Belanda, Priangan merupakan salah satu tempat pembudidayaan kopi. Bahkan banyak masyarakat Priangan yang kabur dari tanah kelahiranya untuk menghindari penanaman kopi.

Kopi menjelma sebagai produk agrikultur yang membuat sengsara masyarakat Priangan. Hal ini bukan tanpa sebab, Priangan sempat diisolasi oleh VOC dengan alasan untuk menjaga produksi kopi yang ditanam di sana. Selain itu petani dibayar sebesar 3,2 gulden oleh pihak VOC dan dijual kembali dengan harga sekitar 50 gulden.”Wajar saja kalo orang sunda geleuh sama kopi,” ungkap Tolib.

Sistem penanaman kopi yang panjang menjadikan para petani kelaparan, dan memilih untuk menjualnya sebelum memetik hasilnya. Sehingga memberikan keuntungan lebih besar pihak VOC saat itu. Selama kurang lebih seratus tahun, masyarakat Priangan dituntut oleh bangsa elit untuk membudidayakan kopi.

Mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya Unpad, Muri Iryanti mengatakan, meskipun ia bukan pecinta kopi, tetapi melalui diskusi ini ia mendapatkan banyak pengetahuan mengenai kopi. “Dari bahasan tadi yang disampaikan, saya mendapatkan gambaran bahwa di balik pahitnya kopi itu juga ada pekatnya hidup orang-orang yang ada dibalik industri kopi sendiri, terutama petani,” ungkap Muri saat ditemui di akhir diskusi.

Reporter : Ayu Isnaini & Fitri Febrianti M. K. / Magang

Redaktur : Edi Prasetyo

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas