Aspirasi

Semangat Reformasi Dalam Bayang-Bayang Orde Baru

reformasi

Ilustrasi Muhammad Kaisa Alhaq/Magang

Oleh: Ighna Karimah Nurnajah*

Reformasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai perubahan besar-besaran terhadap suatu sistem yang memiliki tujuan untuk memperbaiki atau mengevaluasi nilai-nilai yang telah diselewengkan. Tentunya, reformasi di Indonesia tidak hadir dengan sendirinya, reformasi lahir di atas tubuh-tubuh yang hilang karena suara lantangnya menginginkan Indonesia yang baru.

Pidato kenegaraan Soeharto pada 16 Agustus 1967 menyebutkan bahwa Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang menyandarkan kembali segalanya pada kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru lahir untuk melakukan koreksi total terhadap penyelewengan yang dilakukan di Orde lama, seperti hilangnya hak asasi manusia, hukum yang tidak berpihak pada rakyat dan penggunaan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi.

Namun ironi, 32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto, mayoritas tekad dan janjinya di masa Orde Baru hanya menjadi angin lalu. Akhirnya, sejarah penyelewengan orde lama terulang kembali. Absolutisme kekuasaan negara seakan berkata bahwa kebebasan itu milik pemerintah, rakyat ikut saja apa yang diperintah. Begitulah kiranya kediktatoran memberangus hak-hak masyarakat yang seharusnya sudah terbebas dari belenggu penjajah, tetapi dijerat kembali oleh bangsanya sendiri.

Orde Baru Berakhir Reformasi Telah Lahir

Kehancuran dinasti politik Soeharto dimulai dari carut marutnya perekonomian negara karena krisis moneter. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran, tingginya harga barang pokok, hutang luar negeri yang membengkak dan berbagai dampak lainnya yang membuat masyarakat semakin terjepit. Situasi ini melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan rezim Soeharto, masyarakat menilai langgengnya kekuasaan Soeharto harus segera diakhiri apabila pembaharuan ingin terjadi.

Salah satu bagian dari buku berjudul “Suara-Suara Perih Masyarakat Indonesia” menjelaskan keluhan dari penjual Warung Tegal (Warteg) di Era Orde Baru yang dituntut untuk menjadi solusi dalam mengatasi kelaparan dengan menghidangkan makan gratis bagi para pekerja yang di PHK. Tetapi pemilik warteg tidak didanai sesuai kesepakatan awal pemerintah, karena dananya masuk kembali ke saku pejabat setempat. Lagi-lagi masyarakat harus dihadapkan dengan solusi yang berujung merugi.

Masyarakat yang menjadi korban dan masyarakat pula yang dilarang melawan. Pelanggaran HAM berat ala Orde Baru kembali melancarkan aksinya dengan menculik beberapa penggerak masyarakat yang vokal menyatakan keresahannya. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 12 aktivis hilang sejak 1997-1998 dan hingga kini belum ditemukan.

Tak hanya itu, perlakuan tidak manusiawi turut terjadi pada etnis Cina. Tim Gabungan Pencar Fakta (TGPF) Mencatat 150 laporan pemerkosaan terjadi di tahun penuh kekejaman ini. Momen mencekam masih tercetak jelas dalam bayangan korban yang hingga kini pelakunya belum diadili. Dilansir dari bbc.com, kasus pemerkosaan tidak hanya terjadi pada orang dewasa, melainkan anak-anak yang masih berusia 11 tahun meninggal akibat peristiwa tragis ini.

Setelah kedaulatan masyarakat dirampas, demokrasi mati karena hak-hak bersuara ditakut-takuti dan masyarakat kehilangan identitas sebagai makhluk yang merdeka, akhirnya kegagahan Soeharto dengan gaya militeristik-nya kalut karena gerakan masif masyarakat yang ‘merangsek’ ke sendi-sendi kekuasaannya,  21 Mei 1998 Soeharto resmi bertekuk lutut atas kelanggengan jabatannya. Selamat datang reformasi, masa di mana kemerdekaan masyarakat seharusnya dapat terealisasi.

Sudahkah Reformasi Dimaknai Sebenar-benarnya?

Pasca tandasnya kekuasaan Soeharto, kepemimpinan setelahnya menawarkan berbagai janji-janji penghapusan otoritarianisme dengan tujuan menciptakan iklim demokrasi yang lebih humanis. Agenda reformasi seperti penghapusan dwifungsi ABRI, pemberantasan KKN, dan memberi peluang seluas-luasnya untuk berserikat memang telah tercantum secara yuridis. Namun sudahkah cita-cita reformasi tersebut terpenuhi?

Menilik fenomena sosial yang tengah terjadi, seperti politik identitas yang berakhir pada tindakan radikal, kasus korupsi di jajaran para menteri dan tindakan penyelewengan reformasi lainnya seakan mengamini suatu persepsi bahwa masyarakat sejatinya telah gagal menafsirkan makna reformasi. Konsep penyelarasan tujuan kini terpecah, aksi solidaritas pada 1998 silam hanya menjadi dongeng yang tidak berkelanjutan. Jajaran stakeholder yang dulunya berteriak “Indonesia baru” kini kembali mengulang produk kesalahan Orde Baru.

Bagi para penguasa, hadirnya reformasi menjadi sebuah peluang untuk meraup simpati warga, beragam janji mengenai usut tuntas tragedi 1998 telah digaungkan selama beberapa periode kepemimpinan. Aksi Kamisan masih tetap dilaksanakan di depan Istana Negara, tetapi pemerintah tidak melakukan aksi konkret terhadap penyelesaian kasus ini.

Begitu pun dalam hal demokrasi, apabila dilihat sekilas, demokrasi di era Reformasi terkemas secara apik. Masyarakat bebas beraspirasi tanpa bayang-bayang nanti akan terbangun di ruangan antah berantah untuk disiksa dan dicecar dengan beribu pertanyaan. Tetapi kebebasan aspirasi yang dirasakan masyarakat saat ini tidak berbuah apa-apa, semua bebas berbicara dan pemerintah tetap tidak akan melakukan apa-apa. Rentetan RUU yang merugikan rakyat akan selalu disahkan meskipun aksi masa memuncak. Demokrasi di masa ini nyatanya menuli.

Akan tetapi pelabelan “gagal” juga tampaknya kurang tepat untuk menggambarkan kondisi reformasi saat ini, berbagai kegaduhan dan buruknya hubungan antara masyarakat dan pemerintah masih dapat diperbaiki dengan diadakannya kembali kesadaran penuh masyarakat mengenai isu-isu kenegaraan secara menyeluruh. Hal ini selaras dengan pandangan Sri Bambang Pamungkas yang tertuang dalam buku berjudul “Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi”, ia menyebutkan bahwa solidaritas masyarakatlah yang menjadi penggerak bangsa sesungguhnya.

Pada intinya, semangat reformasi hanya dapat terealisasi dengan persatuan dan kesadaran masyarakat akan semangat reformis yang sempat terkubur bertahun-tahun karena terlalu berkutat akan kepentingan-kepentingan pribadi. Kini, tidak ada kiri, tidak ada kanan, semuanya harus segera melebur kembali menjadi masyarakat Indonesia yang haus akan perubahan. Jadi, sudahkah kini reformasi kau maknai sebagai reformasi?

*Penulis merupakan mahasiswa UIN SGD Bandung Semester empat jurusan Ilmu Politik, serta anggota Magang LPM Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas