Terkini

Tak Sekadar Mematuhi Etika Berbusana UIN

Transformasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung pada 2005 lalu, memunculkan beberapa pertanyaan dari segelintir pihak tentang tata tertib yang kini berlaku. Tata tertib ini terutama berkaitan dengan masalah jilbab atau kerudung.

Ada segelintir pihak yang menganggap tata tertib memakai jilbab di lingkungan kampus UIN tidak lagi relevan dengan perubahan IAIN menjadi UIN. Spekulasi terjadi karena mereka menganggap universitas lebih bersifat universal, sehingga tidak lagi terikat dengan berbagai macam xx1toto aturan keislaman seperti saat masih berbentuk institut.
“Ini kan statusnya udah universitas. Jadi, harusnya aturan UIN pun harus lebih universal, misalnya meniadakan aturan berjilbab,” ujar seorang mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang enggan disebutkan namanya.
Spekulasi ini terus berkembang, karena hingga tahun 2007, belum ada kejelasan aturan terkait hal ini. Hingga akhirnya turunlah Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor Dj.I/225/2007 tentang Tata Tertib Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Di dalam SK ini, tercantum pula aturan-aturan mengenai etika berbusana di seluruh PTAI.
Tata Tertib Mahasiswa PTAI menyebutkan aturan ini dalam Bab III tentang Kewajiban dan Hak Mahasiswa. Pada pasal 3 ayat 6, disebutkan jika mahasiswa wajib berpakaian sopan, rapi, bersih dan menutup aurat terutama pada saat kuliah, ujian dan ketika berurusan dengan dosen, karyawan maupun pimpinan. Khusus mahasiswi, wajib berbusana muslimah sesuai dengan syari’at Islam.
Hal ini dipertegas oleh Bab IV mengenai Larangan. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan, mahasiswa dilarang memakai kaos oblong/tidak berkerah, celana atau baju yang sobek, sarung dan sandal, topi, rambut panjang dan/atau bercat, anting-anting, kalung, kalung, gelang (khusus laki-laki) dan tato dalam mengikuti kegiatan akademik, layanan administrasi dan kegiatan kampus. Khusus bagi mahasiswi, dilarang memakai baju dan/atau celana ketat, tembus pandang dan tanpa berjilbab dalam mengikuti kegiatan di kampus.
Mengenai transformasi IAIN menjadi UIN, Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Endin Nasrudin menilai hal tersebut hanya mengacu pada perubahan tataran kelembagaan, penataan administrasi akademik dan penataan kurikulum. Jadi, mengenai aturan berbusana, tata tertibnya tak jauh berbeda dengan sebelumnya. “Itu artinya, aturan memakai jilbab tetap berlaku,” kata Endin di ruang kerjanya, Senin (13/12).
Etika Berbusana UIN Bandung, kata Endin, merupakan nilai soal mengenakan pakaian yang baik, benar, sopan, layak dan patut yang mencerminkan syariat Islam. Endin menilai tata tertib dari Dirjen sudah sangat rinci mengatur etika berbusana untuk laki-laki dan perempuan. “Ketika ada aturan dari pusat, maka kita harus melaksanakannya. Kita sudah sangat sepaham. Pada dasarnya, UIN juga punya aturan seperti itu. Namun, dengan adanya aturan dari Dirjen, maka menjadi lebih bagus dan kuat,” katanya.
Senada dengan Endin, Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi Ujang Saefullah mengatakan, transformasi IAIN menjadi UIN mempunyai visi dan misi, yaitu wahyu memandu ilmu. Jadi, wahyu harus menjadi ruh dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar di UIN, termasuk cara berpakaian. “Ini harus menjadi pedoman bagi pimpinan, karyawan dan mahasiswa, karena UIN harus mempunyai karakter yang berbeda dengan universitas umum,” katanya.
Ujang menambahkan, kewajiban memakai jilbab atau kerudung bukan hanya kewajiban kelembagaan, tapi kewajiban pada Allah SWT. Kewajiban ini telah diatur dalam surat An-Nur ayat 31 tentang kewajiban menutup aurat. “Terlepas dari kita ini jurusan matematika, kimia atau fisika. Tapi karakternya harus karakter seorang muslim, berjilbab bagi perempuannya dan laki-lakinya tidak menyerupai perempuan dengan memakai anting.”
Menurut Ujang, jilbab itu benteng pertahanan pertama bagi tiap muslimah. Walaupun sesungguhnya tidak semua orang yang berjilbab mempunyai karakter yang baik. “Mungkin ada satu-dua yang nakal, tapi pada umumnya orang yang berjilbab itu baik karena orang yang berjilbab punya kesadaran beragama,” katanya.

Tim Penegak Sanksi
Untuk menjaga stabilitas soal etika berbusana di kampus ini, maka pihak rektorat membentuk Tim Penegak Sanksi. Tidak banyak mahasiswa yang tahu mengenai tim ini. Tim Penegak Sanksi adalah tim yang bertugas dan berwenang menegakkan tata tertib, termasuk etika berbusana bagi keamanan dan kenyamanan mahasiswa di lingkungan kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Pada tingkat universitas, tim ini dipimpin oleh Pembantu Rektor III. Sedangkan pada tingkat fakultas, pemimpinnya adalah Pembantu Dekan III, dan Ketua Jurusan sebagai anggotanya. Tim Penegak Sanksi inilah yang menyosialisasikan tata tertib kepada seluruh civitas akademik, termasuk Dewan Mahasiswa (Dema), Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
Khusus mengenai jilbab, Endin mengaku sampai saat ini Tim Penegak Sanksi belum pernah melaporkan tentang pelanggaran tidak memakai jilbab. “Yang berkaitan dengan pakaian tidak pernah masuk pada tingkat atas karena cukup ditangani oleh pembantu dekan saja,” katanya.
Begitu pun dengan yang dikatakan Ujang. Ia mengatakan belum pernah ada laporan mengenai pelanggaran tidak memakai jilbab dilingkungan Fakultas Dakwah dan Komunikasi kepada Pembantu Dekan III. “Selama ini yang pernah dilaporkan hanya kasus dengan pelanggaran berat seperti narkoba dan seks diluar nikah. Tapi kalau ada yang melaporkan soal etika busana ini, tentunya akan kami tindak lanjuti,” kata Ujang.
Menurut Ujang, pelanggaran tidak memakai jilbab termasuk pelanggaran ringan sehingga sanksi yang diberikan hanya berupa teguran lisan. Namun, Ujang tidak akan segan-segan menskorsing mahasiswanya jika terus-menerus melanggarar aturan yang dianggap ringan tersebut.
Ujang menyatakan, perlu adanya kesadaran dari semua pihak bahwa tata tertib memakai jilbab tidak hanya menjadi aturan dari kelembagaan saja, karena ini juga berhubungan dengan kesadaran beragama. “Kita mencari ilmu itu tidak hanya untuk dunia saja, tapi untuk akhirat juga. Jadi, jangan hanya sekedar formalitas. Contohnya saja di UPI, dalam kelembagaan tidak ada aturan untuk berjilbab, tapi karena ada kesadaran beragama dengan sendirinya para mahasiswanya berjilbab,” kata Ujang mengakhiri. [] Aida Kania Lugina, Ikhmah Umaida/Suaka.

4 Komentar

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas