Infografik

Tantangan Pemberantasan Kekerasan Gender Berbasis Online di Indonesia

SUAKAONLINE.COM-Infografis- Semakin pesatnya arus perkembangan teknologi informasi dan keterjangkauan internet yang sangat luas, memungkinkan terjadinya beragam modus kejahatan baru salah satunya yaitu KBGO. Menurut SAFEnet, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah tindak kekerasan yang memiliki niatan dan maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual yang difasilitasi teknologi.

Setidaknya terdapat beberapa bentuk tindakan yang termasuk dalam KBGO, yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), penguntitan (online surveillance), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), media buatan (morphing), dan mengirim/mengunggah gambar bernuansa seksual (sexting).

Mirisnya tindak KBGO ini semakin meningkat dari tahun sebelumnya, masih melansir organisasi yang sama, jumlah aduan di triwulan 1 2024 naik empat kali lipat dari periode yang sama di tahun 2023 lalu. Korban perempuan masih sangat besar yaitu mencapai 2/3 aduan, disusul korban laki-laki dan non biner. Sedangkan untuk korban usia anak kurang dari 18 tahun menjadi usia terbanyak kedua setelah golongan usia produktif 18-25 tahun.

Maraknya kasus KBGO menurut Koordinator Awas KBGO, Wida Arioka menjelaskan bahwa di zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu yaitu seseorang merasa semakin mudah mengeluarkan ujaran berbau seksual secara frontal di sosial media karena dapat menyembunyikan identitasnya yaitu dengan menggunakan akun yang anonim. Sehingga pelaku merasa aman untuk mengejek dan berkomentar dengan bahasa yang tidak senonoh tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Adapun Undang-Undang yang mengatur problem tersebut yaitu UU No. 12 Tahun 2022. UU tersebut mengatur tentang Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) yang masih memiliki irisan dengan KGBO. Salah satu poin penting dalam UU tersebut ialah penetapan hukuman bagi yang melakukan KSBE. 

Seperti pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) bagi mereka yang tanpa hak melakukan tiga hal terlarang. Pertama, melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar.

Kedua, mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual. Dan yang ketiga adalah melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Namun dalam praktiknya, penegakan hukum dinilai belum maksimal dalam melindungi masyarakat. Karena masih banyak masyarakat yang merasa ragu untuk mencari keadilan melalui proses hukum apalagi harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Ditambah ketika proses pelaporan yang terkadang memerlukan waktu lama sehingga masyarakat memilih untuk bungkam.

Selain itu terdapat tantangan lain yang membuat kasus KBGO ini belum menemukan akar solusi yang menjamin, yaitu aparat penegak hukum yang dinilai belum sepenuhnya siap dalam menangani kasus-kasus KBGO terutama ketika pelaku memanfaatkan fitur anonim di media sosial untuk melancarkan aksinya. Hal ini disebabkan karena akses pada alat pelacakan atau digital forensik dan kapasitas SDM yang belum merata terkait penanganan kasus KBGO.

Minimnya pengetahuan masyarakat terkait alur pelaporan kasus KBGO juga masih menjadi batu pengganjal hingga saat ini. Karena masyarakat akan merasa mudah ketika sudah tahu kemana ia harus melapor. Oleh karena itu sosialisasi mengenai alur pengaduan harus terus digencarkan supaya masyarakat menjadi paham dan tidak lagi kebingungan.

Melansir dari berbagai sumber, terdapat beberapa lembaga yang menerima aduan kasus KBGO, diantaranya adalah Komnas Perempuan, SAFEnet dan kantor polisi. Apabila korban ingin pelaku diproses secara hukum terdapat tiga proses hukum yang dapat ditempuh yaitu, mediasi, somasi dan pelaporan ke polisi.

Adapun pihak korban juga agar segera mendapatkan pendampingan yaitu layanan psikologi yang akan membantu proses pemulihan korban dari trauma yang dihadapi. Hal ini tidak bisa dianggap remeh karena di titik tertentu ditemukan beberapa kasus, yaitu korban sampai memiliki pikiran untuk memilih mengakhiri hidupnya daripada harus menanggung bahaya yang mereka hadapi.  

Sumber: safenet.or.id, awaskbgo.id, narasi.tv, bpk.go.id

Peneliti: Silmi Hakiki/Suaka

Redaktur: Faiz Al Haq/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas