SUAKAONLINE.COM – “Berikutnya kami akan menanyakan lagi kepada anggota, apakah RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” ucap Ketua DPR RI, Puan Maharani. “Setuju,” saut anggota parlemen seraya menjawab pertanyaan Puan, juga diiringi tepuk tangan dari peserta sidang.
Setelah perjalanan panjang perjuangan perempuan di Indonesia melawan kekerasan dan pelecehan seksual, akhirnya mendapat kabar baik. Pada selasa 12 April 2022 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang diketuai oleh Puan Maharani mensahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pindana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang (UU).
UU TPKS merupakan upaya pencegahan dari banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual yang berdasar pada pengalaman hidup perempuan di Indonesia. Tentu saja ini menjadi sebuah momen bersejarah dan kemenangan kecil bagi para penyintas yang kerap kali mendapat pelecehan dan kekerasan seksual, baik itu dilingkungan keluarga, pertemanan, masyarakat, bahkan kampus.
Ketua Panitia Kerja (panja) RUU TPKS sekaligus Wakil Ketua Legislasi DPR, Willy Aditya mengatakan UU ini mencakup sembilan jenis tindak kekerasan seksual.
“Cakupan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, disepakati ada sembilan jenis, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik,” ungkap Willy di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 12 April 2022.
Menanggapi hal ini, Dosen Studi Islam dan Gender, Nina nurmila mengungkapkan rasa senangnya atas pengesahan RUU TPKS. Meski mengalami banyak hambatan dari penentangan kaum konservative hingga proses pembahasan yang terkesan lamban.
Nina mengatakan pada tahun 2019, RUU TPKS mengalami kekalahan yang telak, sehingga ditahun 2020 RUU ini dikeluarkan dari prolegnas prioritas. Lalu, di tahun 2021 RUU masuk lagi untuk prolegnas dan akhirnya setelah sepuluh tahun penantian, RUU ini dapat disahkan.
Kendati demikian, menurutnya perjuangan masih jauh, mengingat belum adanya hukum acara yang berpihak kepada korban dalam UU TPKS. Dalam hukum acaranya, tindak pidana kekerasan seksual diharapkan memberi kenyamanan saat korban melapor ke pihak berwajib, seperti mendapat pendampingan, diberikan ruangan tertutup, sampai merekam percakapan secara audio atau video.
“Sehingga kemudian hakim ketika perlu keterangan korban itu ia hanya perlu memplay (memutar -Red) menonton rekamannya (percakapan) tersebut, sementara korban ketika sudah melapor itu ia harus diberikan (hak -Red) pemulihan, penggantian, dan kerugian atas kerusakan dan kesakitan tubuh yang di alami (korban -Red),” ungkap Nina saat diwawancarai Suaka via Zoom Meeting, Jumat (15/4/2022).
Senada dengan Nina, Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono menilai setelah disahkannya UU TPKS perlu pengawalan terhadap korban dan pelaku. Ia mengungkapkan sebelum disahkannya UU TPKS terdapat kekosongan dalam narasi hukum pengaduan pelecehan seksual.
“Tapi pasca sudah adanya peraturan undang-undang ini bisa mengisi kekosongan teresbut. Bagaimana peraturan perundang-undangan ini lebih spesifik terhadap undang-undang kekerasan seksual. Sehingga ini bisa menjadi pijakan bagi teman-teman pendamping pelecehan seksual,” tuturnya saat dihubungi Suaka, Rabu (13/4/2022).
Menjadi payung hukum bagi para penyintas
Permasalahan dari tahun ke tahun kasus kekerasan seksual ini tidak menemukan titik jera. Berdasarkan laporan Forum Pengada Layanan (FPL) mengidentifikasi tahun 2015 terjadi 15 jenis kasus kekerasan seksual. Nina mengatakan bahwa penanganan kasus tersebut mentok, karena tidak ada payung hukum dari beberapa kasus yang terjadi.
“Itu penanganan kasus mentok, karena tidak ada dasar hukumnya atau tidak ada payung hukum, misal terjadi perbudakan seksual penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, atau pemaksaan perkwinan, itu semua belum diatur dalam UU hukum pidana,” ungkap Nina yang pernah menggawangi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Lebih dari itu, menurutnya dalam UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), definisi kekerasan seksual sangat sempit, yaitu hanya sebatas pemerkosaan dan pencabulan, terbatas pada fenetrasi penis ke vagina. Jadi kalau sebuah kasus kekerassan seksual tidak mencangkup dua hal tersebut, maka korban tidak akan mendapat keadilan. Hal ini menandakan bahwa hukum masih lemah dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual.
Dilain sisi setelah disahkan UU TPKS, Heri menerangkan sisi baik dari UU TPKS ini terhadap pendampingan kepada korban. Yang pertama ialah, bisa mengakomodir tindakan kekerasan seksual yang berpihak kepada korban, kedua bisa memenuhi kebutuhan korban yang berbasis pada pandangan kebutuhan korban, dan yang ketiga masyarakat sipil dapat mendorong penegak hukum untuk memberikan tindakan-tindakan seusai dengan penjelasan pidana.
“Dengan adanya tindakan kekerasan seksual ini, yang kalo kita bandingkan dengan undang-undang sebelumnya KUHP, itu kan hanya kata pelecehan saja. Tapi ini (UU TPKS) lebih menyeluruh kalo kita melihat dari spesifik, baik itu secara fisik atau non fisik, bahkan pelecehan yang berbasis elektronik,” Jelas Heri.
Selain itu upaya lainnya diungapkan Nina, berupa pencegahan melalui edukasi UU TPKS ini, bahwa pelaku pelecehan bisa berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakannya.
Penguat pencegahan kekerasan seksual di civitas akademik
Ketua Umum Women Student Center (WSC) UIN SGD Bandung Shella Syifa, ia mengaku sangat senang dan bersyukur karena perjuangan seluruh lapisan masyarakat dapat membuahkan hasil. Pasalnya ia dan kawan-kawannya di WSC sering mengkampanyekan pengesahan RUU TPKS ini di lingkungan kampus.
“kita semua dari jaringan masyarakat sipil pembela para korban kekerasan seksual memperjuangkan UU TPKS ini yang berawal dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dirubah sampe jadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Semuanya ini adalah buah dari perjuangan kita semua dengan berbagai macam halangan dan rintangannya,” katanya saat diwawancarai Suaka melalui WhatsApp, Kamis (14/4/2022).
Kendati demikian, Shella mengatakan implementasi prosedur penanganan pelecehan di lingkungan kampus masih terbilang belum maksimal. Lantaran, beberapa korban masih kebingungan dalam menjalankan prosedur penanganan pelecahan seksual.
Ketua WSC tersebut menungkapkan dalam UU TPKS ini telah diatur bahwa korban kekerasan seksual dapat melaporkan ke lembaga layanan yang concern di bidang kekerasan seksual. Kemudian, lembaga tersebut wajib melaporkan ke kepolisian paling lambat 3 x 24 jam sejak korban melapor, serta kepolisian wajib menerima laporan tersebut.
UU TPKS ataupun SK Dirjen Pendis dan Permendikbud belum dapat diimplementasikan di dalam lingkungan kampus UIN SGD Bandung, Shella mengatakan aturan tersebut belum bisa digunakan karna SK Rektor yang mengatur tentang kekerasan seksual belum juga disahkan.
Hal itu dibenarkan oleh Guru Besar Studi Islam & Gender, UIN SGD Bandung, Nina. “Kalau misalnya kampus bisa menangani akan lebih baik, tapi kampus kita ini sampai sekarang belum berhasil mengimplementasikan SK dirjen dalam bentuk SK Rektor,” ujarnya.
Advokat LBH Bandung pun mengatakan dengan disahkan UU TPKS ini, seharusnya dapat memperkuat SK Dirjen Pendis dan Permendikbud. “kalo dari saya sih sebenernya, seharusnya idealnya dengan adanya undang-undang PKS ini, permendikbud bisa lebih dikuatkan. Sehingga pembentukan satgas, tindakan penindakan itu bisa terealisasi,” Ujarnya.
Dalam keadaan seperti ini, yang bisa dilakukan adalah menunggu SK Rektor tentang kekerasan seksual. Shella mengatakan ketika sudah turun SK Rektor maka segala keputusan penanganan dapat dikembalikan kepada korban.
”Tapi ketika memang sudah turun SK Rektornya itu balik lagi ke keputusan korban seperti apa, klo ingin ada sanksi administrasi dari kampus bisa melaporkan itu ke pihak kampus dimulai dari jurusan pelaku, dekanat, rektorat,” Ujarnya.
Ia berharap setelah disahkanya UU TPKS dapat diimplementasikan dengan baik, khususnya kepada aparatur penegak hukum, juga kepada para korban bisa lebih berani untuk melapor.
“Semoga juga dengan adanya UU TPKS ini untuk para korban bisa berani untuk speak up karena kita sudah punya payung hukum mengenai KS ini. Jadi para korban pun bisa memperjuangkan keadilan untuk mereka disegi hukumnya,” tutupnya.
Reporter : Hizqil Fadl Rahman & Auliya Umayna Andani/Suaka
Redaktur : Yopi Muharam/Suaka