Lintas Kampus

Verifikasi Berita Menjadi Kunci Pemilih Muda Menghadapi Pemilu 2024

Pemateri dari Media Kompas Bayu Galih dan jurnalis Tempo Artika Farmita menyampaikan materi mengenai hoax pemilu 2024 pada webinar yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui platform Zoom, Kamis (16/11/2023). (Foto: Zidny Ilma/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyelenggarakan webinar bertajuk “Mengidentifikasi Mis-Disinformasi Pemilu, Panduan untuk Pemilih Pemula” pada Kamis (16/11/2023). Hal ini untuk mengajak pemilih peka terhadap faktor, pola dan bentuk- bentuk hoaks yang beredar menuju pemilu 2024.

Dibuka dengan pemaparan materi, editor CekFakta Kompas, Bayu Galih menjelaskan tentang mekanisme fake checker atau pengecekan fakta yang dianggap baru di dunia jurnalistik di Indonesia. Berbeda dengan negara di Eropa dan Amerika yang menggunakan fake checker sebelum artikel tayang. Bayu juga menyampaikan sejak 2016 banyak kabar-kabar bohong dan informasi keliru yang saling menyudutkan.

Lebih lanjut, ia mengatakan gangguan informasi yang harus diketahui oleh pembaca, diantaranya Disinformasi, Misinformasi dan Malinformasi pemilu. Misinformasi dan Disinformasi memiliki persamaaan penyebaran informasi yang keliru, namun bedanya pada misinformasi penyebar tidak mengetahui bahwa informasi tersebut keliru. Sedangkan Malinformasi adalah penyalahgunaan informasi yang benar tetapi disalahgunakan untuk tujuan tertentu Contohnya yaitu phishing dan doxing.

Selain itu, faktor gangguan informasi yang teratas adalah  jurnalisme yang lemah dalam corong gangguan informasi, ketika jurnalis yang melakukan kesalahan, hal tersebut akan menjadi corong yang suaranya paling terdengar kencang. Berkaca dari pemilu 2019, hoaks menjadi ancaman  karena sasaran berubah, tidak hanya kandidat tapi juga pihak penyelenggara. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan bagi beberapa pihak termasuk jurnalis dan penerima informasi.

“Misalnya di Israel dan Palestina ketika ada kabar memenggal 40 bayi itu kan sumbernya dari media presenter Israel gitu ya yang menyebut ada terhadap 40 bayi kemudian diambil mentah-mentah tanpa konfirmasi oleh media-media besar,” ujarnya, Kamis (16/11/2023).

Untuk itu, upaya agar terhindar dari bencana informasi, diantaranya adalah kendalikan emosi dan jangan meningkatkan engagement dengan berkomentar dan share ulang. Apabila memiliki judul yang mencurigakan maka harus dicek kebenaran fakta dari informasi tersebut dan tindak dengan laporkan konten ke platform apabila ada informasi yang memprovokasi.

Menurut Trainer Google News Initiative (GNI) AJI sekaligus jurnalis Tempo, Artika Farmita mengungkapkan ciri-ciri dan pola hoaks biasanya mengandung berita bohong yang diadaptasi dari konten lain. Dan dibalut dengan teori konspirasi dan gambar yang mendukung narasi penyebar informasi. Berdasarkan polanya, penyebaran informasi hoaks Pemilu terbagi dalam tiga fase yakni fase kampanye, fase pemungutan suara dan fase pasca-pemungutan suara.

Lebih lanjut Artika menjelaskan, sama seperti pemilu 2019, akan banyak hoaks tentang Pemilu yang beredar di tahun 2024 yang perlu pembaca waspadai. Diantara informasi hoaks yang tersebar dilampirkan narasi yang mengandung unsur PKI, Komunis, etnis dan ras tertentu, nama institusi, partai politik dan bahkan narasi tentang personal kandidat Capres atau Cawapres.

“Waspada siapa penyebarnya karena centang biru itu biasanya sudah banyak dipercaya ya di media sosial, tapi kita perlu tahu kalau sekarang itu centang biru itu berbayar jadi karena centang biru tidak mencerminkan apa suatu akun itu layak dipercaya kita harus cek,” jelasnya.

Reporter: Zidny Ilma/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas