SUAKAONLINE.COM – Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) menggelar diskusi terbuka bertajuk ‘Rumpi Ririwa’ yang dilaksanakan di Koperasi Mahasiswa (KOPMA) UIN SGD Bandung, Student Center Lantai 1, Rabu (15/2/2017). Diskusi ini mengusung tema ‘Kebebasan Pers Perspektif Sejarah dan Sosial-Budaya’. Dengan pemateri Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Adi Marsiela dan Wartawan Tribun Jabar, Tarsi.
Diawal pembahasan, Wartawan Tribun Jabar, Tarsi membahas terlebih dahulu mengenai sejarah pers di Indonesia. Menurutnya, pers di Indonesia telah melalui berbagai rangkaian perjalanan yang cukup panjang. Pada zaman orde lama dan orde baru, pers tidak memperoleh kebebasan, karena segala pemberitaan harus sesuai dengan kehendak pemerintah. Jika tidak sesuai, maka akan diberedel oleh pemerintah.
Hingga saat reformasi, barulah pers mulai dapat menghirup udara kebebasan. Hal ini ditandai dengan berdirinya Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Pemerintah reformasi menjamin terhadap kebebasan pers, tapi ini bukan berarti kebebasan yang sebenarnya namun bebas yang bertanggung jawab, barulah pers mendapatkan hak dan mampu menjalankan peran sebagaimana mestinya.
Saat ini, kebebasan pers banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan. Di Indonesia, hampir semua media dimiliki oleh politikus. Sehingga, kini media dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan. “Kita bisa lihat ya, hampir semua pemilik media adalah orang-orang pemilik bendera,” ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Adi Marsiela.
Menurut Adi, hal inilah yang kemudian menjadikan kebanyakan pers tidak berlaku netral, banyak wartawan yang tertekan karena adanya hubungan kerja dengan pemilik media tempat mereka bekerja. Sebuah media tidak akan berani memberitakan hal-hal yang dapat merugikan si pemilik media tersebut, karena akan terjadi pemecatan terhadap wartawan yang bekerja di media tersebut.
Banyak masyarakat yang saat ini mudah percaya dengan berita-berita yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena diperoleh dari media sosial. Mudah sekali saat ini bagi siapa saja menjadi pewarta, namun yang harus diperhatikan adalah kebenarannya. “Hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya bukanlah suatu berita, karena yang namanya berita itu sudah pasti melewati suatu proses jurnalistik yang teman-teman jurnalistik pasti sudah paham,” tambahnya.
Dalam membuat berita, seorang jurnalis perlu melalui proses yang cukup panjang, karena tidak semua berita yang diperoleh dapat disebarluaskan ke masyarakat. Informasi yang dapat disebarluaskan ke masyarakat hanyalah informasi yang mempunyai bukti autentik di lapangan saja, karena sebuah berita haruslah dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, berita bohong yang banyak dimuat di media sosial menurut Adi tidaklah dapat disebut sebagai berita.
Selanjutnya, Wartawan Tribun Jabar, Tarsi menambahkan bahwa dalam menyampaikan beritanya, seorang wartawan juga tidak boleh menambah unsur subjektivitas. Banyak sekali berita saat ini yang dicampuri oleh unsur-unsur tersebut. Selain itu, adanya intervensi dari pihak- pihak aparatur negara seperti polisi banyak ditemukan. Hal ini dikarenakan ada kaitannya dengan keamanan yang melibatkan wartawan itu sendiri.
Reporter : Muhammad Mufti/ Magang
Redaktur : Hasna Salma