Oleh Roni Tabroni*
Kata mengunyah biasanya digunakan untuk aktivitas makan. Tapi beberapa tahun ke belakang, saya sesekali mendengar kata ini dari senior inspiratif saya, Kang Hendar Riyadi. Ia suka menggunakan kalimat “mengunyah-ngunyah wacana lama”.
Kalimat ini bagi saya seperti kritik halus yang menjelaskan orang yang suka mengulang-ulang pembicaraan atau pemikiran yang itu-itu juga. Orang-orang yang tidak bisa move on dari cara berpikir lama. Selalu mengulang pembicaraan lama. Yaitu orang-orang yang tidak menawarkan sesuatu yang baru.
Bahkan, mengunyah-ngunyah wacana lama ini juga terkadang diwariskan pada generasi selanjutnya. Cara berpikir kolot dan pro kemapanan ini dilestarikan dengan mendoktrinkannya pada generasi berikutnya. Mau yang tua atau yang muda, isi pembicaraannya sama.
Cara berfikir seperti ini tentu saja tidak pro terhadap perubahan. Tidak berkemajuan. Jumud. Tidak siap dengan wacana baru bahkan terobosan baru.
Mungkin juga orang selalu mengunyah-ngunyah wacana lama karena tidak pernah mendapat asupan gizi berupa pemikiran baru. Tidak mendapat input alternatif narasi, kurang piknik, atau merasa ,bahagia dengan keadaan yang sedang dijalaninya.
Celakanya, kejumudan berfikir seperti ini ternyata berlaku dalam politik praktis. Alih-alih membangun alternatif perspektif yang membawa harapan baru, wacana hari ini tidak bedanya kita berada di waktu lima tahun ke belakang.
Waktu seolah tidak berjalan. Berhenti, dan kita mengulang apa yang sempat terjadi. Mungkin ini juga yang disebut dejavu. Dari mulai aktor, saluran, sampai konten pembicaraannya tidak ada yang berbeda. Mungkin publik bosan, tapi inilah faktanya.
Bumbu-bumbu memang ada, tetapi itu bukan substansi narasinya. Membicarakan sukses tidaknya kepemimpinan Jokowi, benar-tidaknya pembicaraan Prabowo (Indonesia akan bubar tahun 2030), sebenarnya bukan pokok pembicaraan. Persoalannya masih dalam konteks siapa mendukung siapa.
Nyatanya, jagoan-jagoan politik tanah air semuanya ngumpet dan tidak ada yang berani menepuk dada. Para pendekar politik semuanya bersembunyi di ketiak Jokowi dan Prabowo. Pembicaraan yang berbusa-busa di berbagai kesempatan, semuanya mengarah pada dua sosok ini. Paling banter para elit berani mengajukan posisi dua. Seperti halnya zaman Orde Baru yang tabu mewacanakan posisi RI 1.
Harapan itu sebenarnya sempat berlabuh di partai-partai baru yang digawangi negerasi muda bangsa. Tetapi sementara ini pupus karena ternyata muda hanya dalam usia. Cara berpikirnya sama dengan orang tua. Tidak ada alternatif narasi dan gerakan politik baru yang ditawarkan kepada publik. Masih muda tetapi sudah berpikir zona nyaman. Berkuasa secara instan dengan mendukung inkamben, atau sebagiannya diam menunggu keadaan, mencari waktu tepat untuk menentukan sikap yang menguntungkan.
Ternyata yang baru hanya nama partainya dan sebagian orangnya, tetapi cara berpikirnya tetap sama. Lucunya bahkan ada yang sejak beberapa tahun lalu sudah menyatakan kalah sebelum berlaga, mendeklarasikan posisi RI 2, bukan menggantungkan cita-citanya setinggi bintang — seperti kata Sukarno.
Situasi ini seperti normal, tetapi sesungguhnya menunjukkan gagalnya demokrasi, sebab tidak bisa nelahirkan calon-calon pemimpin baru yang memberi harapan baru. Persis seperti beberapa daerah yang hanya menawarkan calon tunggal. Partai politik perlu melihat kedalam, selain fungsi pendidikan politik yang minim terhadap publik, ini juga isyarat kaderisasi politik yang stagnan.
Tetapi bumi masih berputar, waktu terus berjalan. Itu artinya dalam hitung waktu singkat situasi politik bisa saja berubah. Mungkin saja besok, mungkin lusa, akan ada kejutan politik yang membuka harapan bagi publik, agar tidak terpagar oleh wacana dan tawaran lama yang sudah usang.
Selama waktu masih tersisa, para elit politik masih punya kesempatan untuk mengambil keputusan strategis yang memang tidak mudah. Namun, di antara sekian banyak pertimbangan politik itu, penting diperhatikan agar jangan sampai publik kehilangan harapan, yang ujung-ujungnya nyinyir terhadap politik bahkan apatis.
*Penulis adalah Alumnus Unversitas Gadjah Mada, Dosen STKIP Dharma Kusuma, serta Penulis buku, salah satu karyanya adalah buku “Komunikasi Politik di Era Multimedia”.