Opini

Jangan Sampai Demokrasi Kampus Mati, Sebabnya Jangan Intervensi

Ilustrasi: Desty Rahmawati/Suaka

Oleh: Mohammad Toha*

Demokrasi menjadi cita-cita tinggi untuk dapat diterapkan sebagaimana konseptualnya. Bahwa asas paling primer dalam sistem penyelenggaraan kekuasaan ini adalah kedaulatan rakyat. Dalam konteks kampus, maka asas utamanya adalah mahasiswa.

Pelaksanaan demokrasi di dalam kehidupan mahasiswa atau kampus memang dapat dikatakan belum ideal. Hal ini, ada banyak faktor yang mempengaruhinya, baik di dalam tubuh internal mahasiswa sendiri yang juga ternyata kerap menggunakan paradigma “kalah-menang” sebagaimana disinggung Alfan Alfian dalam bukunya Demokrasi Pilihlah Aku.

Paradigma kalah-menang adalah suatu paradigma yang hanya menitikberatkan bahwa pelaksanaan demokrasi hanya tentang urusan perebutan, mempertahankan dan memperluas kekuasaan tanpa kemudian berupaya agar supaya demokrasi sampai ke ranah substansinya, hal yang kemudian dapat juga disebut akuntabilitas demokrasi.

Di dunia kampus, mahasiswa-mahasiswa kerap menghalalkan segala cara agar kemudian dapat menang. Hal ini dikarenakan, dalam paradigma tersebut; menang artinya kemuliaan, kesucian, meskipun dilakukan dengan cara-cara yang “dihalalkan” meskipun tidak bermoral. Sedangkan, kalah dimaknai sebagai suatu jenis kehinaan, ketidakberdayaan dan hal-hal yang menjijikan lainnya. Makanya, banyak mahasiswa tidak mau kalah akhirnya memanfaatkan alat-alat tertentu, tak terkecuali memanfaatkan struktur birokrasi yang diisi oleh senior organisasi.

Karena mahasiswa yang berparadigma seperti ini kerap kali menghalalkan segala cara agar kekuasaan di internal kampus digenggamnya. Dalam praktiknya, mereka kemudian memanfaatkan jaringan senior yang sudah menduduki jabatan strategi di kampus atau pun melakukan hal-hal ekstrim lainnya yang sangat menyimpang jauh dari pelaksanaan demokrasi yang sehat.

Pemanfaatan jaringan senior ini biasanya dilakukan mahasiswa-mahasiswa yang bereskalasi secara politik di kampus untuk melanggengkan status quo atau pun menolak hasil keputusan pemilihan yang telah dilaksanakan sebagaimana aturan mainnya. Apalagi, jika senior yang duduk mengisi jabatan strategis di kampus tersebut tidak menjunjung tinggi profesionalitas dalam bekerja. Maka, ketika sang junior kalah dalam kontestasi politik, senior turun tangan.

Seolah berkait-kelindan, senior yang dimaksud akan menerima begitu saja “permintaan bantuan” dari junior-junior manisnya, yang tentunya (hipotesis saya) akan dibarengi dengan transaksi-transaksi politis, misalnya saat berkuasa nanti, maka kritisisme mahasiswa terhadap jajaran birokrasi akan diredam sedemikian rupanya.

Hal ini tampak misalnya di dalam konstelasi politik kampus yang sedang hangat terjadi di jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang ramai akhir-akhir ini. Dugaan pengebirian demokrasi mahasiswa dengan kentara dilakukan oleh Wakil Dekan III FISIP.

Bahkan, perlawanan terhadap upaya penggembosan demokrasi yang dilakukan birokrasi ini telah menjadi semacam gerakan sosial baik di dalam jaringan maya (media sosial) atau pun gerakan-gerakan di lapangan.

Mereka, yang merasa dikerdilkan haknya dalam berdemokrasi ini telah membentuk suatu gerakan yang disebut Aliansi Mahasiswa Ilpol Bergerak. Sekurang-kurangnya, saat tulisan ini ditulis, aliansi tersebut meminta agar proses demokrasi dalam hal ini pemilihan ketua baru Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) yang telah sesuai dengan prosedur dan aturan main yang ada di sahkan.

Namun, nampaknya pihak birokrasi terlalu pongah, gagap dan gugup dalam mengambil sikap di tengah kekisruhan di Ilmu Politik. Hal ini, karena ada indikasi dugaan jika wakil dekan III berada dalam situasi dilematis antara berpihak pada profesionalisme pekerjaan atau berpihak pada hal-hal lain yang akan berdampak pada kemunduran di laboratorium politik tersebut.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tentunya harus memberikan kesan baik sebagai laboratorium pendidikan politik baik bagi mahasiswa atau pun ke Masyarakat luas. Peristiwa yang tengah terjadi, tampaknya dapat menjadi preseden buruk bagi demokrasi di kampus.

Tentunya, hari-hari ini kita sedang muak dengan bagaimana konflik kepentingan ini tengah menjamur mengisi relung-relung kehidupan demokrasi-politik tanah air. Dimulai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang ternyata mereduksi makna demokrasi yang malah membuka ruang-ruang saluran otoritarianisme suatu keluarga tertentu.

Mahasiswa UIN Bandung, ternyata harus memperoleh penderitaan lebih berat dari udara yang menyesakan tersebut dengan adanya konflik kepentingan dan intervensi politik dalam kebebasannya menciptakan kehidupan demokrasi yang sehat di kampus.

Semua pihak, pada akhirnya perlu berbenah, paradigma kalah-menang sebagaimana dimaksud di atas yang juga beberapa pihak mahasiswa menggunakannya untuk menghalalkan tujuan-tujuan politiknya meskipun dilakukan dengan cara kotor harus diubah menjadi paradigma ksatria.

Alfan Alfian, tegas mengatakan bahwa berparadigma ksatria juga bukanlah sebuah persoalan dan kehinaan. Nilai-nilai etis dan moral di dalam pelaksanaan demokrasi mahasiswa harus mulai dilakukan oleh mahasiswa sendiri. Menerima kekalahan dalam kontelasi elektoral kampus bukanlah sebuah kehinaan, tetapi bentuk kedewasaan dalam berpolitik.

Selain itu, pihak kampus dalam hal ini birokrasi jangan sampai pula menjadi pongah, gagap dan gugup dalam memutus suatu perkara peristiwa elektoral mahasiswa. Berikan kepercayaan dan kebebasan mahasiswa dalam berdemokrasi di kampus.

Jangan sampai demokrasi mati di tangan intervensi birokrasi-birokrasi kampus. Jangan sampai, peristiwa di Ilmu Politik terjadi kembali di belahan-belahan prodi lainnya. Hakikatnya, sebagai pengayom, pelaksana jalannya kampus yang kondusif, di mana semua pihak bergandengan tangan untuk berkolaborasi, maka upaya pengebirian kebebasan dan kesetaraan di kalangan mahasiswa jangan pupus dengan ketidakprofesionalan oknum birokrat yang hanya banyak mendatangkan mafsadat. Wallahualam.

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan menggunakan nama pena

2 Komentar

2 Comments

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Ke Atas